Dari Sekaa Manyi hingga Walter Spies
Sebelumnya angklung ini milik Sekaa Manyi. Karena sekaanya sudah bubar, angklungnya diserahkan ke banjar.
Jejak Angklung Ende di Banjar Tarukan, Mas, Ubud
GIANYAR, NusaBali
Seperangkat instrumen musik tradisional Bali berupa angklung umumnya identik dengan gambelan pengiring upacara Pitra Yadnya, baik Ngaben, Palebon atau kematian. Namun bagi seorang seniman, suara angklung yang memiliki ciri khas meneduhkan itu ternyata bisa untuk mengiringi sebuah tarian bahkan fragmentari.
Kolaborasi kesenian klasik angklung dengan fragmentari, salah satunya bisa ditemukan di Banjar Tarukan, Desa Mas, Kecamatan Ubud Gianyar. Di desa ini, gambalen tersebut dikenal dengan nama Angklung Ende. Angklung ini mengiringi Fragmentari Kupu-Kupu Carum. Sejak diciptakan sekitar tahun 1917 oleh Jero Mangku Beji I Wayan Musna, fragmen ini tetap mementaskan satu lakon saja berjudul "Petapaan Abimaniu". Kesenian klasik ini akan dibawakan oleh Sekaa Teruna Pandawa banjar setempat. Para generasi muda pelestari budaya Bali ini berjumlah 30 penabuh dan 15 penari. Kesenian klasik ini akan dipentas dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39, tepatnya Senin (19/6) pukul 11.00 Wita.
Keberadaan Angklung Ende dan Fragmentari Kupu-Kupu Carum ini, salah seorang cucu I Wayan Musna, Made Regug SPd MSi mengisahkan bahwa pernah vakum puluhan tahun. Upaya pelestarian kembali kesenian klasik ini pun telah dilakukan beberapa kali termasuk mengganti instrumen musiknya memakai gamelan gong. "Beberapa kali Kupu-Kupu Carum diiringi gong telah dipentaskan di bale banjar jika ada permintaan dari wisatawan yang tinggal di kampung turis Banjar Tarukan. Tapi lambat laun, kesenian ini kembali memudar," ujar lulusan Sendratasik IKIP PGRI Bali tahun 1997 ini. Beruntunglah Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar melirik keberadaan Angklung Ende dan Kupu-Kupu Carum, sehingga ditunjuk untuk tampil di PKB. "Gayung bersambut, upaya pelestarian ini mendapat dukungan dari pemerintah," terang guru Seni Budaya di SMPN 2 Ubud ini.
Dalam pementasannya nanti, akan dikisahkan pertapaan Abimaniu demi mendapatkan anugerah dari Dewa Indra berupa Wahyu Cakraningrat. Diceritakan, tatkala para Pandawa menjalani hukuman selama 12 tahun di hutan, Abimaniu putra Sang Arjuna dititipkan di Dwarawati. Sang Abimaniu pandai berhamba dan amat berbakti pada Prabhu Kresna. Suatu saat Prabhu Kresna mendapat sabda bahwa Dewa Indra akan memberikan hadiah kepada salah satu putra keturunan Pandawa. Mendengar hal tersebut, Prabhu Kresna meminta Abimaniu bertapa di Gunung Sangka Dwipa di pertengahan Gunung Himalaya sebelah tenggara.
Dalam pertapaan itu, Abimaniu mendapat banyak godaan dari widyadara-widyadari yang diwujudkan dalam bentuk Tarian Kupu-Kupu Carum. Godaan para bidadari ini tak menggoyahkan pertapaan Abimaniu. Lepas dari itu, godaan kembali muncul dengan kehadiran dua patih bernama Demang dan Tumenggung yang mengajaknya bertempur. Pertempuran pun terjadi, dan Abimaniu merasa kewalahan melawan dua patih ini sekaligus. Sehingga dirinya berubah menjadi Raja Burung. Melihat kejadian itu, Bhatara Diwanggeni turun untuk membantu Abimaniu sehingga kedua patih bisa dikalahkan. Saat kembali menjadi wujud semula inilah Abimaniu mendapatkan anugerah Wahyu Cakraningrat.
Mengenai cikal bakal terciptanya tari Kupu-Kupu Carum ini, Perbekel Desa Mas, I Wayan Gede Darmayuda mengungkapkan bahwa ada campur tangan seorang pecinta seni, Walter Spies. Hal tersebut diungkapkan berdasarkan sebuah catatan tertulis yang dituangkan seorang wartawan bernama Tjekeg pada tahun 1977 pada harian lokal pada waktu itu.
Dalam berita berjudul 'Wayan Musna Pencipta Tari Kupu-Kupu Carum' disebutkan, Mr Walter Spies yang kala itu tinggal di Campuhan, Ubud meminta kepada Wayan Musna untuk menciptakan sebuah tarian yang diiringi tabuh klasik. "Tuan Pis (maksudnya Walter Spies) ini sering datang ke desa-desa termasuk Desa Mas untuk bertemu dengan pelaku seni salah satunya Wayan Musna. Dimintalah Wayan Musna ini menciptakan sebuah tari diiringi angklung," jelasnya.
Namun permintaan Spies tak serta merta bisa diwujudkan dalam waktu sekejap. Secara perlahan, Wayan Musna memulai memainkan imaginasinya. Idepun muncul saat menyaksikan segerombolan Kupu-Kupu yang hinggap kesana kemari di antara bunga pohon Carum. Imaginasinya kemudian berkembang ketika dalam sebuah kesempatan ia mendengarkan lantunan suara angklung yang dimainkan oleh I Menol dan I Purna di Banjar Juga, sebelah timur Banjar Tarukan, Desa Mas. Suasana malam yang gelap, tak menyurutkan niat Wayan Musna untuk melihat permainan Angklung Menol dan Purna ini. Bahkan Wayan Musna harus merayap-rayap dalam kegelapan malam hingga tiba di kediaman I Menol. "Zaman itu Banjar Tarukan belum punya angklung, sehingga ketika mendengar suara angklung di banjar sebelah, Wayan Musna langsung tergerak. Maka terjadilah kolaborasi," terangnya.
Kapan tepatnya kolaborasi ini tercipta, bahkan Wayan Musna dalam wawancaranya pada tahun 1977 itu pun tak mampu mengingat. Tertulis bahwa proses penciptaan Tari Kupu-Kupu Carum berikut musik pengiringnya ini terjadi setelah gejor atau gempa dahsyat tahun 1917 dan pada masa Walter Spies di Ubud sekitar tahun 1925-1930.
Terkait sebutan Angklung Ende, Darmayuda pun tak bisa berkomentar banyak. Sebab nama ini telah diwariskan secara turun temurun tanpa penjelasan lebih lanjut. "Sampai saat ini kami masih telusuri asal muasal nama Ende itu," ungkapnya.
Untuk seperangkat Angklung Ende yang kini bermarkas di Banjar Tarukan, Desa Mas, menurut Kelihan Banjar Tarukan Desa Mas, dr I Wayan Aryawan MM, sebelumnya angklung ini milik Sekaa Manyi di banjar setempat. "Karena Sekaanya sudah bubar, angklungnya diserahkan ke banjar," jelasnya.
Menjelang pementasan di PKB, pihaknya telah mematangkan segala persiapan. "Gladi bersih kami rencananya lakukan lagi sekali H-3 sebelum ke Art Center," ungkapnya.*nvi
GIANYAR, NusaBali
Seperangkat instrumen musik tradisional Bali berupa angklung umumnya identik dengan gambelan pengiring upacara Pitra Yadnya, baik Ngaben, Palebon atau kematian. Namun bagi seorang seniman, suara angklung yang memiliki ciri khas meneduhkan itu ternyata bisa untuk mengiringi sebuah tarian bahkan fragmentari.
Kolaborasi kesenian klasik angklung dengan fragmentari, salah satunya bisa ditemukan di Banjar Tarukan, Desa Mas, Kecamatan Ubud Gianyar. Di desa ini, gambalen tersebut dikenal dengan nama Angklung Ende. Angklung ini mengiringi Fragmentari Kupu-Kupu Carum. Sejak diciptakan sekitar tahun 1917 oleh Jero Mangku Beji I Wayan Musna, fragmen ini tetap mementaskan satu lakon saja berjudul "Petapaan Abimaniu". Kesenian klasik ini akan dibawakan oleh Sekaa Teruna Pandawa banjar setempat. Para generasi muda pelestari budaya Bali ini berjumlah 30 penabuh dan 15 penari. Kesenian klasik ini akan dipentas dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39, tepatnya Senin (19/6) pukul 11.00 Wita.
Keberadaan Angklung Ende dan Fragmentari Kupu-Kupu Carum ini, salah seorang cucu I Wayan Musna, Made Regug SPd MSi mengisahkan bahwa pernah vakum puluhan tahun. Upaya pelestarian kembali kesenian klasik ini pun telah dilakukan beberapa kali termasuk mengganti instrumen musiknya memakai gamelan gong. "Beberapa kali Kupu-Kupu Carum diiringi gong telah dipentaskan di bale banjar jika ada permintaan dari wisatawan yang tinggal di kampung turis Banjar Tarukan. Tapi lambat laun, kesenian ini kembali memudar," ujar lulusan Sendratasik IKIP PGRI Bali tahun 1997 ini. Beruntunglah Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar melirik keberadaan Angklung Ende dan Kupu-Kupu Carum, sehingga ditunjuk untuk tampil di PKB. "Gayung bersambut, upaya pelestarian ini mendapat dukungan dari pemerintah," terang guru Seni Budaya di SMPN 2 Ubud ini.
Dalam pementasannya nanti, akan dikisahkan pertapaan Abimaniu demi mendapatkan anugerah dari Dewa Indra berupa Wahyu Cakraningrat. Diceritakan, tatkala para Pandawa menjalani hukuman selama 12 tahun di hutan, Abimaniu putra Sang Arjuna dititipkan di Dwarawati. Sang Abimaniu pandai berhamba dan amat berbakti pada Prabhu Kresna. Suatu saat Prabhu Kresna mendapat sabda bahwa Dewa Indra akan memberikan hadiah kepada salah satu putra keturunan Pandawa. Mendengar hal tersebut, Prabhu Kresna meminta Abimaniu bertapa di Gunung Sangka Dwipa di pertengahan Gunung Himalaya sebelah tenggara.
Dalam pertapaan itu, Abimaniu mendapat banyak godaan dari widyadara-widyadari yang diwujudkan dalam bentuk Tarian Kupu-Kupu Carum. Godaan para bidadari ini tak menggoyahkan pertapaan Abimaniu. Lepas dari itu, godaan kembali muncul dengan kehadiran dua patih bernama Demang dan Tumenggung yang mengajaknya bertempur. Pertempuran pun terjadi, dan Abimaniu merasa kewalahan melawan dua patih ini sekaligus. Sehingga dirinya berubah menjadi Raja Burung. Melihat kejadian itu, Bhatara Diwanggeni turun untuk membantu Abimaniu sehingga kedua patih bisa dikalahkan. Saat kembali menjadi wujud semula inilah Abimaniu mendapatkan anugerah Wahyu Cakraningrat.
Mengenai cikal bakal terciptanya tari Kupu-Kupu Carum ini, Perbekel Desa Mas, I Wayan Gede Darmayuda mengungkapkan bahwa ada campur tangan seorang pecinta seni, Walter Spies. Hal tersebut diungkapkan berdasarkan sebuah catatan tertulis yang dituangkan seorang wartawan bernama Tjekeg pada tahun 1977 pada harian lokal pada waktu itu.
Dalam berita berjudul 'Wayan Musna Pencipta Tari Kupu-Kupu Carum' disebutkan, Mr Walter Spies yang kala itu tinggal di Campuhan, Ubud meminta kepada Wayan Musna untuk menciptakan sebuah tarian yang diiringi tabuh klasik. "Tuan Pis (maksudnya Walter Spies) ini sering datang ke desa-desa termasuk Desa Mas untuk bertemu dengan pelaku seni salah satunya Wayan Musna. Dimintalah Wayan Musna ini menciptakan sebuah tari diiringi angklung," jelasnya.
Namun permintaan Spies tak serta merta bisa diwujudkan dalam waktu sekejap. Secara perlahan, Wayan Musna memulai memainkan imaginasinya. Idepun muncul saat menyaksikan segerombolan Kupu-Kupu yang hinggap kesana kemari di antara bunga pohon Carum. Imaginasinya kemudian berkembang ketika dalam sebuah kesempatan ia mendengarkan lantunan suara angklung yang dimainkan oleh I Menol dan I Purna di Banjar Juga, sebelah timur Banjar Tarukan, Desa Mas. Suasana malam yang gelap, tak menyurutkan niat Wayan Musna untuk melihat permainan Angklung Menol dan Purna ini. Bahkan Wayan Musna harus merayap-rayap dalam kegelapan malam hingga tiba di kediaman I Menol. "Zaman itu Banjar Tarukan belum punya angklung, sehingga ketika mendengar suara angklung di banjar sebelah, Wayan Musna langsung tergerak. Maka terjadilah kolaborasi," terangnya.
Kapan tepatnya kolaborasi ini tercipta, bahkan Wayan Musna dalam wawancaranya pada tahun 1977 itu pun tak mampu mengingat. Tertulis bahwa proses penciptaan Tari Kupu-Kupu Carum berikut musik pengiringnya ini terjadi setelah gejor atau gempa dahsyat tahun 1917 dan pada masa Walter Spies di Ubud sekitar tahun 1925-1930.
Terkait sebutan Angklung Ende, Darmayuda pun tak bisa berkomentar banyak. Sebab nama ini telah diwariskan secara turun temurun tanpa penjelasan lebih lanjut. "Sampai saat ini kami masih telusuri asal muasal nama Ende itu," ungkapnya.
Untuk seperangkat Angklung Ende yang kini bermarkas di Banjar Tarukan, Desa Mas, menurut Kelihan Banjar Tarukan Desa Mas, dr I Wayan Aryawan MM, sebelumnya angklung ini milik Sekaa Manyi di banjar setempat. "Karena Sekaanya sudah bubar, angklungnya diserahkan ke banjar," jelasnya.
Menjelang pementasan di PKB, pihaknya telah mematangkan segala persiapan. "Gladi bersih kami rencananya lakukan lagi sekali H-3 sebelum ke Art Center," ungkapnya.*nvi
Komentar