Dakin Lima
Kian hari semakin banyak orang Bali yang kaya. Yang sudah kaya semakin kaya juga tidak sedikit.
Aryantha Soethama
Pengarang
Jika ditelusuri, orang-orang Bali yang kaya itu antara lain karena mereka menuai sukses di industri pariwisata. Mereka yang dulu pemandu wisata ingusan kini punya hotel. Yang dulu pedagang acung sekarang punya toko kesenian. Yang dulu sopir taksi nyambi jadi pemandu wisata tak berlisensi sehingga diuber-uber petugas, sekarang punya usaha travel biro dan perhotelan.
Tentu yang miskin jauh lebih banyak. Yang hidup pas-pasan, bisa menyekolahkan anak, dan tinggal di rumah kontrakan, tak kalah banyak. Orang miskin dan yang hidup pas-pasan ada yang sering mengeluh, ada pula yang menerima begitu saja takdir mereka. Yang sering mengeluh mengaku lidah mereka sampai kelu, karena itu akhirnya berhenti mengeluh.
“Baru setelah berhenti mengeluh lidah saya jadi lemas,” ujar beberapa orang yang dikenal jago keluh. Tak sedikit orang Bali yang memang sudah kaya turun temurun. Keluarga mereka punya banyak tanah warisan. Orang Bali menurunkan warisan itu kepada anak laki-laki. Jika si anak laki cuma semata wayang, ia akan mewarisi banyak harta. Jika paman si anak lanang ini tak punya anak laki atau tidak punya keturunan, tentu harta si paman akan menurun ke si anak laki satu ini. Harta tanah warisan di sana-sini itu menjadi miliknya semata.
Begitulah nasib kalau seseorang ditimpa kekayaan. Dia menjadi contoh orang yang kaya semakin kaya. Tetapi kekayaannya tidak diperoleh dengan kerja, apalagi dengan kerja keras, kerja ringan pun tidak, bahkan ia kaya tanpa bekerja. Tanah-tanah warisan itu letaknya di tempat-tempat bagus, di tengah kota yang harganya melambung terus. Atau di kawasan wisata. Memang itu tanah sawah, tapi menjadi mahal karena di pantai atau di tebing yang diincar pemodal hendak membangun resor wisata.
Ada satu lagi jenis orang kaya, yakni mereka yang memang kaya karena bekerja keras. Bahkan sangat keras, sangat ulet, menggeliat terus mengumpulkan benda. Mereka bekerja karena termotivasi memang ingin menjadi kaya, punya banyak harta. Hasrat orang macam ini tak hanya punya banyak uang, tapi punya usaha yang mengurus duit, seperti bank. Bangun tidur selalu uang, uang, uang ada di benaknya. Hendak tidur ia berharap bisa mendapat mimpi kiat-kiat melipatgandakan uang. Mereka ini merasa hidup hampa, sia-sia, jika sehari tidak menghasilkan uang. Isi kepalanya cuma siasat melipatgandakan kekayaan.
Dua tipe orang kaya tentu punya persamaan, sama-sama punya banyak harta. Tapi penilaian umum terhadap keduanya berbeda. Mereka yang kaya berkat kerja keras lebih dihargai publik karena memperoleh harta dari bekerja. Mereka yang memperoleh harta warisan acap dinilai sebagai orang yang bernasib baik dilahirkan di keluarga kaya. Mungkin akan ada yang berpendapat, “Ah, apa yang harus dibanggakan punya banyak harta dari warisan?” Walau harta warisan itu diusahakan, diolah, diurus dengan baik menjadi berpuluh kali lipat, tetap saja ada yang mencibir. “Jelas berlipat ganda dong, karena hartanya banyak. Coba kalau tak ada modal, mana mungkin?”
Seseorang yang sukses berkat harta turun temurun acap kurang pas dijadikan contoh keberhasilan. Mereka yang memulai dari nol, menjadi miliarder, itulah yang dijadikan panutan, pantas ditiru, layak dijadikan sumber inspirasi. Orang-orang semacam ini, oleh orang Bali disebut sebagai sosok-sosok yang kaya berkat dakin lima.
Daki berasal dari bahasa Bali berarti kotor. Ada ungkapan dakin basang yang berarti kemarahan. Basang berarti perut. Jika seseorang sedang marah, mengumpat-umpat, dan menyalahkan karyawannya yang teledor dan malas bekerja sehingga pesanan telat diselesaikan, misalnya, karyawan diam-diam akan berbisik dengan rekannya, “Wah, bos lagi mengeluarkan dakin basang habis-habisan.”
Tapi, ada daki yang sangat dihargai dan dibanggakan, itulah dakin lima. Lima itu bagi orang Bali punya pengertian bilangan lima, tapi juga berarti tangan. Seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mertua, pasti ingin pisah dan tinggal di rumah sendiri. Ia malu kalau rekan-rekannya mengatakan ia sudah punya rumah, di Mertua Indah. Kepada bini berulang ia bilang, “Aku ingin punya rumah dari dakin lima sendiri.”
Dakin lima kiasan yang berarti hasil jerih payah sendiri. Kiasan ini sering berarti usaha mengumpulkan uang, benda, harta, tapi juga sering dikiaskan sebagai pendapatan yang bukan harta atau bukan duit. Seseorang yang giat bekerja akhirnya bisa beli motor, dengan bangga dan wajah berseri-seri bilang kepada rekannya, “Jelek-jelek begini motor ini hasil dakin lima lho.” Ucapan ini ia sampaikan, misalnya, untuk menyindir rekannya yang dibeliin motor sama mertuanya.
Kiasan dakin lima bagi orang Bali sesungguhnya sebuah motivasi agar setiap orang gigih, ulet bekerja, dan hidup mandiri. *
Jika ditelusuri, orang-orang Bali yang kaya itu antara lain karena mereka menuai sukses di industri pariwisata. Mereka yang dulu pemandu wisata ingusan kini punya hotel. Yang dulu pedagang acung sekarang punya toko kesenian. Yang dulu sopir taksi nyambi jadi pemandu wisata tak berlisensi sehingga diuber-uber petugas, sekarang punya usaha travel biro dan perhotelan.
Tentu yang miskin jauh lebih banyak. Yang hidup pas-pasan, bisa menyekolahkan anak, dan tinggal di rumah kontrakan, tak kalah banyak. Orang miskin dan yang hidup pas-pasan ada yang sering mengeluh, ada pula yang menerima begitu saja takdir mereka. Yang sering mengeluh mengaku lidah mereka sampai kelu, karena itu akhirnya berhenti mengeluh.
“Baru setelah berhenti mengeluh lidah saya jadi lemas,” ujar beberapa orang yang dikenal jago keluh. Tak sedikit orang Bali yang memang sudah kaya turun temurun. Keluarga mereka punya banyak tanah warisan. Orang Bali menurunkan warisan itu kepada anak laki-laki. Jika si anak laki cuma semata wayang, ia akan mewarisi banyak harta. Jika paman si anak lanang ini tak punya anak laki atau tidak punya keturunan, tentu harta si paman akan menurun ke si anak laki satu ini. Harta tanah warisan di sana-sini itu menjadi miliknya semata.
Begitulah nasib kalau seseorang ditimpa kekayaan. Dia menjadi contoh orang yang kaya semakin kaya. Tetapi kekayaannya tidak diperoleh dengan kerja, apalagi dengan kerja keras, kerja ringan pun tidak, bahkan ia kaya tanpa bekerja. Tanah-tanah warisan itu letaknya di tempat-tempat bagus, di tengah kota yang harganya melambung terus. Atau di kawasan wisata. Memang itu tanah sawah, tapi menjadi mahal karena di pantai atau di tebing yang diincar pemodal hendak membangun resor wisata.
Ada satu lagi jenis orang kaya, yakni mereka yang memang kaya karena bekerja keras. Bahkan sangat keras, sangat ulet, menggeliat terus mengumpulkan benda. Mereka bekerja karena termotivasi memang ingin menjadi kaya, punya banyak harta. Hasrat orang macam ini tak hanya punya banyak uang, tapi punya usaha yang mengurus duit, seperti bank. Bangun tidur selalu uang, uang, uang ada di benaknya. Hendak tidur ia berharap bisa mendapat mimpi kiat-kiat melipatgandakan uang. Mereka ini merasa hidup hampa, sia-sia, jika sehari tidak menghasilkan uang. Isi kepalanya cuma siasat melipatgandakan kekayaan.
Dua tipe orang kaya tentu punya persamaan, sama-sama punya banyak harta. Tapi penilaian umum terhadap keduanya berbeda. Mereka yang kaya berkat kerja keras lebih dihargai publik karena memperoleh harta dari bekerja. Mereka yang memperoleh harta warisan acap dinilai sebagai orang yang bernasib baik dilahirkan di keluarga kaya. Mungkin akan ada yang berpendapat, “Ah, apa yang harus dibanggakan punya banyak harta dari warisan?” Walau harta warisan itu diusahakan, diolah, diurus dengan baik menjadi berpuluh kali lipat, tetap saja ada yang mencibir. “Jelas berlipat ganda dong, karena hartanya banyak. Coba kalau tak ada modal, mana mungkin?”
Seseorang yang sukses berkat harta turun temurun acap kurang pas dijadikan contoh keberhasilan. Mereka yang memulai dari nol, menjadi miliarder, itulah yang dijadikan panutan, pantas ditiru, layak dijadikan sumber inspirasi. Orang-orang semacam ini, oleh orang Bali disebut sebagai sosok-sosok yang kaya berkat dakin lima.
Daki berasal dari bahasa Bali berarti kotor. Ada ungkapan dakin basang yang berarti kemarahan. Basang berarti perut. Jika seseorang sedang marah, mengumpat-umpat, dan menyalahkan karyawannya yang teledor dan malas bekerja sehingga pesanan telat diselesaikan, misalnya, karyawan diam-diam akan berbisik dengan rekannya, “Wah, bos lagi mengeluarkan dakin basang habis-habisan.”
Tapi, ada daki yang sangat dihargai dan dibanggakan, itulah dakin lima. Lima itu bagi orang Bali punya pengertian bilangan lima, tapi juga berarti tangan. Seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mertua, pasti ingin pisah dan tinggal di rumah sendiri. Ia malu kalau rekan-rekannya mengatakan ia sudah punya rumah, di Mertua Indah. Kepada bini berulang ia bilang, “Aku ingin punya rumah dari dakin lima sendiri.”
Dakin lima kiasan yang berarti hasil jerih payah sendiri. Kiasan ini sering berarti usaha mengumpulkan uang, benda, harta, tapi juga sering dikiaskan sebagai pendapatan yang bukan harta atau bukan duit. Seseorang yang giat bekerja akhirnya bisa beli motor, dengan bangga dan wajah berseri-seri bilang kepada rekannya, “Jelek-jelek begini motor ini hasil dakin lima lho.” Ucapan ini ia sampaikan, misalnya, untuk menyindir rekannya yang dibeliin motor sama mertuanya.
Kiasan dakin lima bagi orang Bali sesungguhnya sebuah motivasi agar setiap orang gigih, ulet bekerja, dan hidup mandiri. *
Komentar