Jean Couteau: Seniman Bali antara Pernyataan dan Pertanyaan
GIANYAR, NusaBali.com – Berbeda dengan pemikiran barat yang gemar mempertanyakan arti sebuah makna, pemikiran timur khususnya Bali masih berkutat pada representasi realitas dan pemaknaan.
Fenomena ini dapat dilihat di dalam khazanah seni rupa dua dimensi Pulau Dewata. Terdapat pola berulang-ulang yang digunakan para seniman untuk membentuk rupa dan cerminan dalam sebuah karya lukisan.
Kurator, sejarawan seni, dan akademisi Jean Couteau menyebutkan bahwa seniman pemikir di Pulau Dewata masih sangat langka. Pria asal Prancis dan sudah menetap di Bali sejak 1975 ini membeberkan bahwa seniman Bali masih terjebak dalam seni pernyataan.
“Di Bali itu selalu ada pola seni rupa, pola pikir. Pola ini bersifat berulang-ulang dan dapat ditemui dalam seni rupa. Misalnya, seperti bentuk mulut, kepala, dan bebungaan,” tutur Jean di sela-sela pameran lukisan Between Chaos and Form di Gianyar pada Selasa (24/1/2023) sore.
Penulis bidang budaya dalam beberapa rubrik surat kabar tanah air ini menyebutkan bahwa seni mempertanyakan sangat langka di Bali dan di Indonesia secara umum. Kebanyakan seniman memberikan pernyataan dalam bentuk memaknai karya yang mereka buat.
Sedangkan seni yang mempertanyakan adalah seni yang mengusung kegelisahan untuk mempertanyakan suatu isu permasalahan. Dalam seni rupa, seni mempertanyakan ini bukan makna yang terpenting tetapi arti dari makna yang menyisakan pertanyaan.
Jean mencontohkan satu seniman Bali yang benar-benar berideologi seni mempertanyakan, yakni Made Wianta. Seniman Bali yang radikal ini sudah berpulang pada akhir tahun 2020 silam. Berkat pengalamannya di Eropa, Wianta mempertanyakan kultur Bali dengan sudut pandangnya sebagai orang lokal.
Pada tahun 2002, Wianta pernah mencontohkan seni mempertanyakan ini. Pada kala itu, seniman asal Apuan, Tabanan ini menutup sebuah ruas jalan di Ubud untuk sebuah happening art bertajuk Street.
Langkah itu pun diprotes masyarakat Ubud karena menyebabkan akses jalan terputus dan berujung kemacetan. Lewat happening art tersebut, Wianta mempertanyakan isu kemacetan yang mungkin terjadi di Ubud. Padahal pada kala itu, Ubud belum berbicara soal kemacetan seperti apa yang dialaminya pada saat ini.
Pemikiran seniman seradikal Wianta, kata Jean, sangat langka di Indonesia. Sepeninggal Wianta, Jean belum bertemu dengan seniman semacam itu. Kalau pun ada seniman Bali yang beralih aliran dari gaya tradisional yang terpola ke gaya modern yang ‘berantakan’ dalam hal ini abstrak, mereka pun masih terpaku pada seni pernyataan.
“Seniman abstrak generasi 1990-an misalnya, bahkan mereka masih mempertahankan pernyataan mereka sebagai orang Bali dan Hindu. Ada Tri Murti (segitiga), mandala, ada pewarnaan rwa bhineda,” tutur dosen ISI Denpasar ini.
Dalam hal ini, sebagai pengamat seni dan budaya Bali, Jean bukan mendiskreditkan identitas orang Bali. Konteks pembicaraan yang ia angkat adalah penerus jejak Made Wianta sebagai seniman radikal yang terus memberikan pertanyaan sistematis dan mendalam lewat karya-karyanya.
Berkaca dari kondisi saat ini, pernyataan seni lebih banyak dianut oleh seniman Bali sehingga berputar pada pola yang sama dari masa ke masa. Seni pertanyaan tidak memiliki pola dan hadir dalam bentuk-bentuk yang berbeda dari satu bingkai ke bingkai yang lain.
Seni ini mampu menjadi kritik yang muncul bukan dari makna karya tetapi dari cara karya itu mempertanyakan sesuatu. *rat
Komentar