Komaneka Fine Art Gallery, Pamerkan Karya Wianta-Stephan
Pameran bertema ‘Between Chaos and Form’
Pameran
hiburan
Seniman Bali
Between Chaos and Form
Komaneka Fine Art Gallery
Made Wianta
Stephan Spicher
"Ini bukan pameran biasa, selain memang dua perupa ini sangat terkenal di jagat seni rupa dunia"
GIANYAR, NusaBali
Jejak kreatif Made Wianta (almarhum) benar-benar jadi magnet di jagat raya seni rupa. Sejumlah lukisan perupa kondang asal Tabanan ini akan dipamerkan di Komaneka Fine Art Gallery, Pantai / Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, 24 Januari - 7 Februari 2023.
Gallery Manager Komaneka Fine Art Gallery Wayan Sunartana mengatakan, pameran ini sangat khas karena karya-karya Wianta akan dipadukan dalam satu ruang pamer dengan karya perupa Stephan Spicher asal Swis. Pameran bertema ‘Between Chaos and Form’. ‘’Ini bukan pameran biasa, selain memang dua perupa ini sangat terkenal di jagat seni rupa dunia,’’ jelasnya, Minggu (22/1).
Kurator Jean Couteau membeberkan, pertemuan dua pelukis ini bukanlah hal baru. Ketika pelukis kelahiran 27 November 1950 di Basel, Swiss ini, pertama kali ke Bali, diperkenalkan kepada Made Wianta oleh mendiang Urs Ramseyer. Saat itu, Stephan segera menganggap Bali sebagai studio melukis baru. Dialog pemikiran dan dialog artistic pun terjalin di antarkedua seniman. Mereka saling menghormati dan berbagi pengalaman. Pengalaman seniman barat yang tinggal di Bali untuk Stephan, dan seniman Bali yang pernah tinggal di barat untuk Wianta.
Ketika di Bali, Stephan dan Wianta kerap bertemu di Apuan, Tabanan, kampung halaman Wianta. Stephan bermukim di situ berbulan-bulan, menghirup suasana budaya dan lingkungan alam setempat. Begitu halnya Wianta. Dari pengalamannya tinggal di Brussel, Belgia (1975-1977), dia sudah memahami cara berpikir serta kesenian dan budaya orang barat. Dia punya pengalaman tinggal dengan Stephan di Swiss. Lanjut, Stephan di Swiss dan Made Wianta di Bali, saling mengisi. Wianta kerap berdiskusi dengan Stephan terhadap beragam kegelisahan memandang Bali; bila barat adalah ‘mempertanyakan’, kini Wianta mempertanyakan Bali di dalam dialog dengan Stephan. Mereka selanjutnya menjadikan gagasan mereka aneka proyek berkesenian bersama.
Beberapa proyek yang mereka garap bersama di antaranya, di studio Stephan di Rancate, Ticino, dan Basel Swiss. Selain itu, Crossing Lines telah dipamerkan dengan baik di Bali (2001) maupun di Basel (2002), serta St. Petersburg dan Art Moscow Rusia (2005).
Wianta sudah wafat, lebih dari dua tahun yang lalu. Tetapi, pertemuan mereka berupa silang gagasan, berlanjut dalam satu pameran bersama. ‘’Ini bukan pameran biasa. Tapi, pameran dialogis antara suatu penggalian Bersama. Ini pula sebagai bentuk pertalian spirit yang tidak akan pernah berhenti walaupun Wianta telah tiada,’’ jelas Jean Couteau lagi.
Karya Wianta yang ditampilkan merupakan hasil proses kreatif di Rancate dan Basel Swiss serta di Bali. Begitu halnya karya-karya Stephan sebagian dibuat di Ticino, Basel, dan Bali. Jean juga menilai, pameran ini menggaungkan perihal keteraturan dan kekacauan, Order and Chaos, yang terjadi baik di barat maupun Indonesia. Tak ayal kemodernan membawakan keduanya, Order dan Chaos. Dialektika itu tampil dalam karya kedua seniman.
Baik karya Stephan maupun Wianta tidak hanya mempertanyakan makna, tetapi justru menawarkan pemaknaan baru yang hakiki. Bila Order berdialektika dengan Chaos, di mana sang makna itu sendiri. Bukankah budaya kehilangan arti. Bukankah kalau arti ‘luar’ tidak ada, bukankan satu satunya cara adalah mencari-cari arti di dalam dialog dengan diri sendiri. Tetapi juga, dan terutama, dengan ‘sang lain’ sebagai cermin diri.
Stephan masih hidup. Baginya, kini, Wianta bukan hanya seorang teman dekat. Dia juga sang pemberi arti dan menggali ketakterhinggan dari Chaos dan Order.*lsa
Gallery Manager Komaneka Fine Art Gallery Wayan Sunartana mengatakan, pameran ini sangat khas karena karya-karya Wianta akan dipadukan dalam satu ruang pamer dengan karya perupa Stephan Spicher asal Swis. Pameran bertema ‘Between Chaos and Form’. ‘’Ini bukan pameran biasa, selain memang dua perupa ini sangat terkenal di jagat seni rupa dunia,’’ jelasnya, Minggu (22/1).
Kurator Jean Couteau membeberkan, pertemuan dua pelukis ini bukanlah hal baru. Ketika pelukis kelahiran 27 November 1950 di Basel, Swiss ini, pertama kali ke Bali, diperkenalkan kepada Made Wianta oleh mendiang Urs Ramseyer. Saat itu, Stephan segera menganggap Bali sebagai studio melukis baru. Dialog pemikiran dan dialog artistic pun terjalin di antarkedua seniman. Mereka saling menghormati dan berbagi pengalaman. Pengalaman seniman barat yang tinggal di Bali untuk Stephan, dan seniman Bali yang pernah tinggal di barat untuk Wianta.
Ketika di Bali, Stephan dan Wianta kerap bertemu di Apuan, Tabanan, kampung halaman Wianta. Stephan bermukim di situ berbulan-bulan, menghirup suasana budaya dan lingkungan alam setempat. Begitu halnya Wianta. Dari pengalamannya tinggal di Brussel, Belgia (1975-1977), dia sudah memahami cara berpikir serta kesenian dan budaya orang barat. Dia punya pengalaman tinggal dengan Stephan di Swiss. Lanjut, Stephan di Swiss dan Made Wianta di Bali, saling mengisi. Wianta kerap berdiskusi dengan Stephan terhadap beragam kegelisahan memandang Bali; bila barat adalah ‘mempertanyakan’, kini Wianta mempertanyakan Bali di dalam dialog dengan Stephan. Mereka selanjutnya menjadikan gagasan mereka aneka proyek berkesenian bersama.
Beberapa proyek yang mereka garap bersama di antaranya, di studio Stephan di Rancate, Ticino, dan Basel Swiss. Selain itu, Crossing Lines telah dipamerkan dengan baik di Bali (2001) maupun di Basel (2002), serta St. Petersburg dan Art Moscow Rusia (2005).
Wianta sudah wafat, lebih dari dua tahun yang lalu. Tetapi, pertemuan mereka berupa silang gagasan, berlanjut dalam satu pameran bersama. ‘’Ini bukan pameran biasa. Tapi, pameran dialogis antara suatu penggalian Bersama. Ini pula sebagai bentuk pertalian spirit yang tidak akan pernah berhenti walaupun Wianta telah tiada,’’ jelas Jean Couteau lagi.
Karya Wianta yang ditampilkan merupakan hasil proses kreatif di Rancate dan Basel Swiss serta di Bali. Begitu halnya karya-karya Stephan sebagian dibuat di Ticino, Basel, dan Bali. Jean juga menilai, pameran ini menggaungkan perihal keteraturan dan kekacauan, Order and Chaos, yang terjadi baik di barat maupun Indonesia. Tak ayal kemodernan membawakan keduanya, Order dan Chaos. Dialektika itu tampil dalam karya kedua seniman.
Baik karya Stephan maupun Wianta tidak hanya mempertanyakan makna, tetapi justru menawarkan pemaknaan baru yang hakiki. Bila Order berdialektika dengan Chaos, di mana sang makna itu sendiri. Bukankah budaya kehilangan arti. Bukankah kalau arti ‘luar’ tidak ada, bukankan satu satunya cara adalah mencari-cari arti di dalam dialog dengan diri sendiri. Tetapi juga, dan terutama, dengan ‘sang lain’ sebagai cermin diri.
Stephan masih hidup. Baginya, kini, Wianta bukan hanya seorang teman dekat. Dia juga sang pemberi arti dan menggali ketakterhinggan dari Chaos dan Order.*lsa
Komentar