Kertha Desa Belum Tentukan Sikap Dalam Masalah LPD Ungasan
Untuk menyelesaikan persoalan LPD Ungasan, kertha desa berpatokan pada tiga hal.
MANGUPURA, NusaBali
Kertha Desa Ungasan belum menentukan tindakan apa yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah yang membelit Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung.
“Prioritas kami adalah menuntaskan masalah LPD. Hal itu sudah kami bicarakan bersama, namun belum mengambil tindakan. Hari ini (Sabtu lalu) baru menyusun tata tertibnya,” ujar Ketua Kertha Desa Ungasan Nyoman Mindra saat ditemui seusai sidang para kertha desa, Sabtu (27/5).
Mindra menjelaskan, untuk menuntaskan masalah LPD Ungasan, para kertha desa akan mengacu pada tiga hal. Pertama, pemutihan. Kedua, pengembalian atau penggantian kerugian. Jika langkah pertama dan kedua menemui jalan buntu, maka akan melakukan langkah berikutnya yaitu menempuh jalur hukum positif.
“Ketiga hal ini adalah aturan. Posisi kami (kertha desa) dalam awig-awig sebenarnya hanya memberikan dharma tetimbang. Tetapi dalam pertemuan tadi (Sabtu lalu) kami berposisi sebagai pengawas,” imbuh Mindra.
Pemutihan itu maksudanya yang bersangkutan (pelaku) tak dihukum. Dan belum tentu mengembalikan uangnya karena tergantung besar kecilnya potensi kerugian yang diakibatkan. Keputusan untuk mengambil jalan pemutihan itu ditentukan melalui paruman.
“Saya sebagi orang tua melakukan pendekatan dengan berbagai pihak agar masalah ini diselesaikan dengan bijak. Kan tak mungkin ada orang tua yang mengorbankan anaknya. Karena kalau anaknya salah berarti orangtuanya salah. Ini pikiran saya sebagai orang tua,” lanjutnya.
Dalam masalah LPD ini, kata Mindra, potensi kerugian yang terjadi adalah meminjamkan lebih besar daripada jaminan. Sedangkan masalah tanah menurutnya belum termasuk kerugian. “Harga tanah itu fluktuatif. Siapa tahu besok harganya naik,” ujarnya.
Terkait desakan dari krama desa agar Bendesa Adat Ungasan Ketut Marcin diberhentikan, Mindra mengatakan dirinya belum sampai ke sana. Karena masih praduga tak bersalah. Kalau terjadi sengketa antara bendesa melawan kertha desa baru sampai ke paruman. Jadi paruman yang akan menentukan. Kalau parumannya mengatakan bendesa diberhentikan, barulah diberhentikan. “Bukan kertha desa yang menentukan itu. Saya berupaya untuk menyelesaikannya dengan tidak terpengaruh emosi yang meluap. Jangan sampai kita mengambil tidakan emosi lebih dahulu daripada rasio,” lanjutnya.
Terkait rencana dari Pemerintah Kabupaten Badung untuk melakukan audit secara eksternal terhadap LPD di Badung, dirinya sangat mendukung upaya itu. “Untuk LPD Ungasan saya belum mengetahui rencana itu. Saya baru tahu dari media. Rencana pemerintah itu tidak mungkin saya tolak. Menurut saya lebih baik seperti itu.”
Hal senada disampaikan oleh Wakil Ketua Kertha Desa Wayan Disel Astawa. Menurutnya, setiap benda hasil dari belanja yang tak diketahui oleh masyarakat itu tak bisa dikatakan sebagai aset LPD. “Karena setelah kami cek, sejumlah pembelian itu bukan atas nama LPD Ungasan. Jadi secara hukum positfnya itu tak bisa dianggap sebagai aset,” tandas Astawa.
Sementara itu Sekretaris Forum Masyarakat Ungasan Nyoman Darsana mengharapkan agar kertha desa bisa mengambil keputusan yang bijak dalam penyelesaian masalah itu. “Kami percaya kertha desa bisa melakukan yang terbaik. Tetapi jika hasilnya nanti tak sesuai dengan harapan masyarakat, maka tak ada jalan lain selain jalur hukum positif,” ucapnya.
Ditemui pada saat yang sama, Bendesa Ungasan Ketut Marcin enggan berkomentar. Dirinya menyerahkan semuanya kepada kertha desa. Namun dirinya sangat mengharapkan agar masalah LPD ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. “Persoalan ini saya serahkan kepada kertha desa. Apapun keputusannya nanti saya terima,” ucapnya.
Sebagaimana diberitakan, LPD Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, terancam rush karena Bendesa Adat Ungasan Ketut Marcin, diduga telah salah mengeluarkan kebijakan. Marcin dinilai keliru mengeluarkan kebijakan yang tak sesuai dengan tujuan dari LPD itu.
“Ada dua transaksi akibat salah kebijakan yang dilakukan oleh Bendesa Adat Ungasan. Pertama pemberian kredit kepada sebuah perusahaan taksi di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui perorangan. Besaran kredit yang dikeluarkan mencapai Rp 16.334.775.880. Kedua adalah investasi pembelian tanah di NTB dengan total transaksi mencapai Rp 36.659.516.960. Dua jenis transaksi ini jelas menyalahi aturan tentang LPD. LPD itu didirikan untuk menyejahterakan masyarakat desa. LPD Ungasan kok malah investasi di NTB,” tutur Ketua Kertha Desa Nyoman Mindra saat ditemui di Ungasan, Sabtu (20/5).
Akibat dari dua transaksi itu, lanjut Mindra, LPD Ungasan kini terseok-seok. Masyarakat yang hendak menarik atau meminjam uang menjadi tersendat. Menurutnya ini terjadi karena pihak yang berposisi sebagai pengawas justru terlibat dalam permainan yang tak sehat. Selain itu dirinya khawatir kejadian tersendatnya transaksi ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat yang akan berujung pada penarikan uang secara massal (rush).
“Masalah ini sudah terjadi sejak enam bulan yang lalu. Saya selaku panglingsir sudah memerintahkan untuk menjual aset. Jika tak demikian LPD ini tak akan bisa mengembalikan uang masyarakat. Masyarakat tak bisa menarik uang tabungannya. Kini hanya berharap uang dari penabung, tetapi kalau kondisinya seperti ini, khawatirnya masyarakat dirugikan,” ujar Mindra. *cr64
“Prioritas kami adalah menuntaskan masalah LPD. Hal itu sudah kami bicarakan bersama, namun belum mengambil tindakan. Hari ini (Sabtu lalu) baru menyusun tata tertibnya,” ujar Ketua Kertha Desa Ungasan Nyoman Mindra saat ditemui seusai sidang para kertha desa, Sabtu (27/5).
Mindra menjelaskan, untuk menuntaskan masalah LPD Ungasan, para kertha desa akan mengacu pada tiga hal. Pertama, pemutihan. Kedua, pengembalian atau penggantian kerugian. Jika langkah pertama dan kedua menemui jalan buntu, maka akan melakukan langkah berikutnya yaitu menempuh jalur hukum positif.
“Ketiga hal ini adalah aturan. Posisi kami (kertha desa) dalam awig-awig sebenarnya hanya memberikan dharma tetimbang. Tetapi dalam pertemuan tadi (Sabtu lalu) kami berposisi sebagai pengawas,” imbuh Mindra.
Pemutihan itu maksudanya yang bersangkutan (pelaku) tak dihukum. Dan belum tentu mengembalikan uangnya karena tergantung besar kecilnya potensi kerugian yang diakibatkan. Keputusan untuk mengambil jalan pemutihan itu ditentukan melalui paruman.
“Saya sebagi orang tua melakukan pendekatan dengan berbagai pihak agar masalah ini diselesaikan dengan bijak. Kan tak mungkin ada orang tua yang mengorbankan anaknya. Karena kalau anaknya salah berarti orangtuanya salah. Ini pikiran saya sebagai orang tua,” lanjutnya.
Dalam masalah LPD ini, kata Mindra, potensi kerugian yang terjadi adalah meminjamkan lebih besar daripada jaminan. Sedangkan masalah tanah menurutnya belum termasuk kerugian. “Harga tanah itu fluktuatif. Siapa tahu besok harganya naik,” ujarnya.
Terkait desakan dari krama desa agar Bendesa Adat Ungasan Ketut Marcin diberhentikan, Mindra mengatakan dirinya belum sampai ke sana. Karena masih praduga tak bersalah. Kalau terjadi sengketa antara bendesa melawan kertha desa baru sampai ke paruman. Jadi paruman yang akan menentukan. Kalau parumannya mengatakan bendesa diberhentikan, barulah diberhentikan. “Bukan kertha desa yang menentukan itu. Saya berupaya untuk menyelesaikannya dengan tidak terpengaruh emosi yang meluap. Jangan sampai kita mengambil tidakan emosi lebih dahulu daripada rasio,” lanjutnya.
Terkait rencana dari Pemerintah Kabupaten Badung untuk melakukan audit secara eksternal terhadap LPD di Badung, dirinya sangat mendukung upaya itu. “Untuk LPD Ungasan saya belum mengetahui rencana itu. Saya baru tahu dari media. Rencana pemerintah itu tidak mungkin saya tolak. Menurut saya lebih baik seperti itu.”
Hal senada disampaikan oleh Wakil Ketua Kertha Desa Wayan Disel Astawa. Menurutnya, setiap benda hasil dari belanja yang tak diketahui oleh masyarakat itu tak bisa dikatakan sebagai aset LPD. “Karena setelah kami cek, sejumlah pembelian itu bukan atas nama LPD Ungasan. Jadi secara hukum positfnya itu tak bisa dianggap sebagai aset,” tandas Astawa.
Sementara itu Sekretaris Forum Masyarakat Ungasan Nyoman Darsana mengharapkan agar kertha desa bisa mengambil keputusan yang bijak dalam penyelesaian masalah itu. “Kami percaya kertha desa bisa melakukan yang terbaik. Tetapi jika hasilnya nanti tak sesuai dengan harapan masyarakat, maka tak ada jalan lain selain jalur hukum positif,” ucapnya.
Ditemui pada saat yang sama, Bendesa Ungasan Ketut Marcin enggan berkomentar. Dirinya menyerahkan semuanya kepada kertha desa. Namun dirinya sangat mengharapkan agar masalah LPD ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. “Persoalan ini saya serahkan kepada kertha desa. Apapun keputusannya nanti saya terima,” ucapnya.
Sebagaimana diberitakan, LPD Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, terancam rush karena Bendesa Adat Ungasan Ketut Marcin, diduga telah salah mengeluarkan kebijakan. Marcin dinilai keliru mengeluarkan kebijakan yang tak sesuai dengan tujuan dari LPD itu.
“Ada dua transaksi akibat salah kebijakan yang dilakukan oleh Bendesa Adat Ungasan. Pertama pemberian kredit kepada sebuah perusahaan taksi di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui perorangan. Besaran kredit yang dikeluarkan mencapai Rp 16.334.775.880. Kedua adalah investasi pembelian tanah di NTB dengan total transaksi mencapai Rp 36.659.516.960. Dua jenis transaksi ini jelas menyalahi aturan tentang LPD. LPD itu didirikan untuk menyejahterakan masyarakat desa. LPD Ungasan kok malah investasi di NTB,” tutur Ketua Kertha Desa Nyoman Mindra saat ditemui di Ungasan, Sabtu (20/5).
Akibat dari dua transaksi itu, lanjut Mindra, LPD Ungasan kini terseok-seok. Masyarakat yang hendak menarik atau meminjam uang menjadi tersendat. Menurutnya ini terjadi karena pihak yang berposisi sebagai pengawas justru terlibat dalam permainan yang tak sehat. Selain itu dirinya khawatir kejadian tersendatnya transaksi ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat yang akan berujung pada penarikan uang secara massal (rush).
“Masalah ini sudah terjadi sejak enam bulan yang lalu. Saya selaku panglingsir sudah memerintahkan untuk menjual aset. Jika tak demikian LPD ini tak akan bisa mengembalikan uang masyarakat. Masyarakat tak bisa menarik uang tabungannya. Kini hanya berharap uang dari penabung, tetapi kalau kondisinya seperti ini, khawatirnya masyarakat dirugikan,” ujar Mindra. *cr64
1
Komentar