Dialog Budaya Imlek Bersama 2574, Bedah Akulturasi Budaya Tionghoa dan Bali yang Berusia Ribuan Tahun
DENPASAR, NusaBali.com – Tionghoa dan Bali memiliki keterikatan yang erat. Hal itu ditandai kebudayaan dan budaya Bali yang hampir selalu dibalut budaya Tionghoa.
Spirit tersebut menjadi penggerak Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali dalam menggelar Festival Imlek Bersama 2574 pada Sabtu (28/1/2023) dan Minggu (29/1/2023) di sepanjang Jalan Gajah Mada Denpasar.
Mengungkap chemistry Tionghoa dan Bali, INTI Bali juga menggelar dialog budaya pada Kamis (26/1/2023) di Kampus ISI Denpasar.
Dialog yang dipandu moderator Budayawan dan Jurnalis I Wayan Juniarta ini mengundang tiga budayawan sebagai narasumber.
Mereka adalah Dr Drs I Made Sendra MSi, Ida Ratu Shri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun dan Prof Dr I Nyoman Darma Putra M Litt. Bersanding dengan keynote speaker Ketua INTI Bali Dr Putu Agung Prianta yang juga Ketua INTI Bali dan Rektor ISI Denpasar, Prof Dr Wayan Kun Adnyana.
Ida Bhagawan sebagai narasumber pertama memaparkan, dialog budaya yang digelar INTI Bali ini sangat positif karena menyegarkan nilai-nilai akulturasi Tionghoa dan Bali yang dirajut oleh sejarah panjang.
"Semoga dialog ini bisa menjadi teladan menyebarkan kesejukan di dunia ini. Terlebih terselenggaranya G20 agar Bali bisa menjadi contoh (perdamaian dunia)," ujar sulinggih yang merupakan Bhagawanta Gubernur bali.
Tentang sejarah Tionghoa dan Bali, dirinya merujuk prasasti Tabanendra, yang menunjukkan jejak Tionghoa di Bali. Salah satunya dibuktikan dengan kisah Dalem Balingkang dan Kang Ching Wei.
"Muncullah sebuah kebudayaan dimana bersama ditetapkan spiritualnya, budayanya, ekonominya, dan politiknya. Seperti uang kepeng jadi alat transaksi," ungkapnya.
Ke depan, dia berharap hubungan Tionghoa dan Bali tidak saja tentang budaya, namun dapat bersama membangun manusia Bali yang unggul menuju Bali Kabinawa.
Dr Made Sendra dalam paparannya menerangkan tentang revitalisasi akulturasi Budaya Bali Tionghoa. Menurutnya, tidak saja urusan perdagangan, Bali dan Tionggoa juga berkaitan tentang penaklukan. Hal tersebut tersirat dalam beberapa kisah masa lampau.
Beberapa akulturasi budaya yang ia cermati yakni, miniatur stupa Ratnagiri Odisa India dan Pura Pagulingan di Gianyar Bali, dan Pagoda di China yang mirip dengan meru di pura-pura di Bali.
Juga terkait sarana sembahyang di Bali yakni Kwangen, yang selalu berisikan uang kepeng. Dalam uang kepeng China sendiri terdapat sejumlah huruf China yang artinya harapan-harapan terbaik, seperti perdamaian, kebahagiaan dan ketenangan.
"Dari segi sejarah, China dan Bali memiliki hubungan diplomatik budaya yang sudah berumur 2000 tahun. Sehingga Bali dan China memiliki kesamaan genetik budaya," simpulnya.
Sementara Prof Dharma Putra menerangkan perspektif akulturasi Bali Tionghoa dari segi kesusastraan. Dirinya juga mengapresiasi Festival Imlek Bersama yang digelar INTI Bali dalam menjaga perdamaian.
"Festival ini bisa edukasi 60 tahun ke belakang, saya sangat terharu dengan festival ini. Ini bisa memberi manfaat, terutama budaya dan ekonomi," tuturnya.
Esensi perdamaian, menurutnya sangat kental terasa melalui akulturasi Tionghoa dan Bali. Kedekatan hingga bertukar nilai spiritualitas dan religius, tapi tidak pernah ada konflik.
Dialog ini juga diisi dengan tanya jawab, yang disambut antusias oleh peserta yang didominasi budayawan dan mahasiswa.
Komentar