Petani Garam Les Kembangkan Garam Bercitarasa
SINGARAJA, NusaBali
Petani garam di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, mengembangkan garam tradisional bercitarasa.
Inovasi ini dilakukan agar garam yang dihasilkan oleh petani tidak hanya laku terjual di pasar tradisional. Namun juga mampu merambah hingga ke restoran, spa, serta dapat dijadikan sebagai buah tangan untuk wisatawan.
Ketua Sentra Garam Desa Les, Ketut Agus Winaya, mengatakan, inovasi tersebut awalnya dibuat saat pandemi Covid-19. Tujuannya, agar garam tidak hanya digunakan sebagai bahan masakan di dapur. Ia bersama anggota kelompok petani garam mencoba membuat garam dengan berbagai cita rasa agar dapat dijual hingga ke restoran, sebagai suvenir untuk wisatawan yang berkunjung ke Desa Les, serta untuk kebutuhan spa.
"Adapun ini inovasi telah kami kembangkan yakni garam varian bawang putih, lime, cabai, serai, kelor, dan rosemary. Varian itu biasanya dibeli oleh restoran untuk bahan bumbu daging, ikan dan ayam. Selain itu, kami juga tengah mencoba mengembangkan varian bunga jepun, yang biasa digunakan oleh spa untuk relaksasi," jelasnya, Minggu (29/1).
Winaya menyebutkan, pembuatan garam bercitarasa ini memiliki proses yang cukup panjang. Misalnya saat membuat garam kelor, daun kelor dan garam harus disangrai terlebih dahulu, agar kadar airnya berkurang. Setelah kering, daun kelor kemudian diblender, lalu dicampur dengan garam sambil disangrai kembali. "Garamnya harus benar-benar kering, agar saat dikemas tidak berair dan lengket," jelasnya.
Winaya yang juga Ketua BUMDes Desa Les menambahkan, untuk satu bungkus gara rasa dengan isi 250 gram dijual oleh BUMDes dengan harga Rp 40 ribu. Dalam sekali produksi pihaknya mampu membuat 5 kilogram dengan berbagai cita rasa. Jumlah tersebut bisa menghasilkan omset sekitar Rp 500 ribu per bulan.
Menurutnya, jumlah tersebut masih sedikit, mengingat saat ini pihaknya masih kesulitan untuk memasarkan produk inovasi tersebut. "Kami belum ketemu pasarnya. Baru dijual di sekitar Desa Les saja. Kemudian produk garam rasa ini kami juga tawarkan untuk oleh-oleh. Kalau restoran atau hotel sekitar desa juga belum bisa masuk mungkin dirasa masih terlalu mahal 250 gram, harganya Rp 40 ribu," ucap dia.
Sementara di Desa Les hasil pertanian garam cukup melimpah. Dari 32 orang anggota petani garam, setiap harinya bisa menghasilkan ratusan kilo garam. Satu orang pertani rata-rata per hari bisa menghasilkan 35 kilogram garam tradisional. Untuk memudahkan penjualan garam petani BUMDes Desa Les pun menyerap hasil pertanian garam tersebut.
"Kami beli Rp 10 ribu di petani, kemudian kami kemas lebih menarik dan dijual ke pasar yang lebih luas dengan harga Rp 15 ribu per kilogram untuk garam original," ujarnya lagi.
Meski belum pemasaran belum maksimal pasar, Winaya mengaku akan terus mengembangkan salah satu produk andalan Desa Les itu. Agar lebih baik dan lebih dikenal untuk menjangkau pasar yang lebih luas. "Kalau sekarang memang produk garam rasa kami masih keliatan serbuk campurannya. Kami sekarang sedang coba membuat agar rasanya menyatu dengan garam," tukasnya. *mz
1
Komentar