Kawasan Suci Bali Harus Dilindungi Sekala-Niskala, PHDI Tentang Perda RTRW Bali
DENPASAR, NusaBali
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali menyambut baik adanya Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali Tahun 2023-2043.
Menurut Ketua PHDI Bali I Nyoman Kenak kawasan suci Bali harus dilindungi secara sekala dan niskala melalui aturan dan ritual.
Untuk diketahui, DPRD Bali telah selesai membahas Raperda RTRW Provinsi Bali 2023-2043, Senin (30/1). Di dalamnya Raperda yang diajukan Pemprov Bali mengatur perlindungan kawasan suci Bali seperti gunung dan danau. Regulasi ini dibuat menyikapi fenomena wisatawan yang melanggar batas kesucian di kawasan gunung, danau, maupun pura.
Ketua PHDI Bali I Nyoman Kenak mengatakan sebelumnya dalam Perda Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, kawasan suci Bali telah disinggung. Perda Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan kawasan suci mencakup kawasan suci gunung, kawasan suci danau, kawasan suci campuhan, kawasan suci pantai, kawasan suci laut, dan kawasan suci mata air.
Kenak menyebut, adanya Perda RTRW Bali 2023-2043 akan lebih memperkuat upaya pelindungan kawasan suci di Pulau Dewata. "Secara praktik, kawasan itu juga sudah disucikan oleh umat dengan menggelar berbagai upacara. Dan hadirnya regulasi ini, tentu memperkuat perlindungan kesucian kawasan itu," ujarnya kepada NusaBali, Selasa (31/1). Beberapa kawasan suci yang diatur dalam Perda RTRW Bali 2023-2043 adalah kawasan suci gunung mencakup dari lereng menuju puncak gunung, kawasan suci Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan.
Menurut Kenak, secara filosofis memperlakukan gunung, hutan, danau, sungai, laut, alam semesta, dalam Sat Kertih, sudah menjadi warisan yang dilaksanakan oleh para leluhur. Konsep-konsep lainnya dalam agama dan budaya Hindu, seperti salah satunya dalam upacara mamukur yang merupakan rangkaian dari upacara ngaben. Di sini, kata Kenak, ada tahap yang disebut nyegara gunung.
Kenak menjelaskan, dalam keyakinan umat Hindu di Bali, gunung misalnya memiliki makna yang sangat sakral. Antara lain dalam rangka upacara Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, maupun Rsi Yadnya. "Gunung itu bahkan disebut Bhatara. Ini harus dijaga kesuciannya dengan baik. Karena kita sadari, ketika pariwisata berkembang, aktivitas wisata di gunung adalah risiko. Sekarang bergantung komitmen kita untuk itu," sebutnya.
Dia menambahkan, pembatasan kegiatan di gunung sebagai kawasan suci juga penting dilakukan. Misalnya, bagi perempuan yang haid dilarang mendaki. Juga tidak melakukan aksi mesum di gunung. "Lebih penting lagi adalah pengawasan. Ini jadi tanggung jawab kita bersama. Tidak hanya Gubernur, tidak hanya PHDI, tapi semua umat," ungkapnya.
Kenak mengharapkan, para pemandu wisata tidak bosan-bosan memberi informasi kepada wisatawan bahwa kawasan gunung adalah suci. Menurutnya, keseimbangan ini yang menjaga taksu Bali. Sejengkal tanah Bali itu harus dijaga kesuciannya.
Dikatakannya, pengaturan dengan Perda disertai implementasi, pengawasan, serta penegakan hukum semakin penting untuk perlindungan kawasan suci Bali. Kenak menyebut, dengan perkembangan yang semakin pesat, kehadiran investasi yang tertarik mengeksploitasi lahan yang di dalamnya ada kawasan suci mesti dilakukan pengawasan dan penegakan hukum yang serius.
Kenak menambahkan, untuk menjaga kesucian Bali harus dilakukan dengan keseimbangan. Dalam perspektif Bali disebut sekala dan niskala, dalam hal ini yaitu regulasi dan ritual. "Itu ada dalam teks Atharwa Veda XII, disebutkan Satyam Brhad Rtam Ugram Diksa Tapo Brahma Yadnya Prtivim Dharayanti. Semua upaya penyucian itu harus didasari dengan upacara dan aturan yang berlaku," pungkas mantan Ketua PHDI Kota Denpasar ini. *cr78
Komentar