Penyebab Kasus Stunting di Buleleng dan Gianyar Naik, Pola Asuh Kurang Tepat
Pernikahan usia dini di bawah usia 20 tahun masih banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng dan Gianyar.
DENPASAR, NusaBali
Angka kasus stunting di Bali menurun dari 10,9 persen (2021) menjadi 8 persen (2022). Ironisnya dua kabupaten justru mengalami peningkatan kasus stunting, yaitu Buleleng dan Gianyar. Pola asuh tidak tepat diduga menjadi penyebab meningkatnya angka stunting di dua kabupaten tersebut.
Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan tahun 2022 menunjukkan angka stunting di Kabupaten Buleleng naik dari 8,9 persen (2021) menjadi 11 persen (2022). Sementara kasus stunting di Kabupaten Gianyar naik dari 5,1 persen (2021) menjadi 6,3 persen (2022).
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali Ni Luh Gede Sukardiasih mengatakan, pernikahan usia dini di bawah usia 20 tahun masih banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng dan Gianyar. Menurutnya, kesadaran masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai bahaya stunting.
"Logikanya mereka belum siap untuk hidup berkeluarga. Pengetahuannya masih kurang sehingga nutrisi yang diberikan kepada anaknya tidak sesuai dengan kebutuhan," ujar Sukardiasih pada konferensi pers hasil SSGI Provinsi Bali, di Kantor Perwakilan BKKBN Bali, Niti Mandala, Denpasar, Kamis (2/1).
Sukardiasih menjelaskan, di dua kabupaten tersebut tentunya akan dievaluasi lebih detil kenapa sampai terjadi kenaikan angka stunting. Namun demikian, tantangan di dua wilayah tersebut, khususnya di Kabupaten Gianyar memang lebih kepada pola asuh yang belum tepat dibanding faktor lain seperti sanitasi lingkungan.
Untuk itu, lanjut Sukardiasih, pihaknya akan semakin menggencarkan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya stunting. Sebanyak 3.327 Tim Pendamping Keluarga (masing-masing tim terdiri dari tiga orang) tersebar di seluruh desa di Bali.
Sukardiasih mengungkapkan, upaya skrining calon pengantin (catin) sebenarnya sudah dilakukan melalui desa adat. Kata dia, Majelis Agung Desa Adat sudah mengeluarkan surat edaran terkait skrining catin sebelum menikah. Namun, implementasinya di masyarakat belum berjalan maksimal. "Setelah kami cek di desa adat, di beberapa kabupaten belum ditindaklanjuti," ungkap Sukardiasih.
Ia menambahkan usaha pencegahan stunting adalah upaya terus menerus. Apabila upaya dikendorkan bisa jadi hasil SSGI berikutnya tidak akan optimal. Angka stunting penting untuk ditekan, karena menjadi salah satu penghambat untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Target kasus stunting di Bali pada tahun 2023 turun menjadi 7 persen. Sementara pada 2024 nanti turun lagi menjadi 6,1 persen. Sukardiasih berharap seluruh pihak tidak berhenti bekerja keras dan berkolaborasi agar Bali bisa sesegera mungkin bebas dari stunting. "Harapannya Bali bisa segera bebas dari stunting (maksimal kasus stunting 2,5 persen)," tandasnya. *cr78
Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan tahun 2022 menunjukkan angka stunting di Kabupaten Buleleng naik dari 8,9 persen (2021) menjadi 11 persen (2022). Sementara kasus stunting di Kabupaten Gianyar naik dari 5,1 persen (2021) menjadi 6,3 persen (2022).
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali Ni Luh Gede Sukardiasih mengatakan, pernikahan usia dini di bawah usia 20 tahun masih banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng dan Gianyar. Menurutnya, kesadaran masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai bahaya stunting.
"Logikanya mereka belum siap untuk hidup berkeluarga. Pengetahuannya masih kurang sehingga nutrisi yang diberikan kepada anaknya tidak sesuai dengan kebutuhan," ujar Sukardiasih pada konferensi pers hasil SSGI Provinsi Bali, di Kantor Perwakilan BKKBN Bali, Niti Mandala, Denpasar, Kamis (2/1).
Sukardiasih menjelaskan, di dua kabupaten tersebut tentunya akan dievaluasi lebih detil kenapa sampai terjadi kenaikan angka stunting. Namun demikian, tantangan di dua wilayah tersebut, khususnya di Kabupaten Gianyar memang lebih kepada pola asuh yang belum tepat dibanding faktor lain seperti sanitasi lingkungan.
Untuk itu, lanjut Sukardiasih, pihaknya akan semakin menggencarkan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya stunting. Sebanyak 3.327 Tim Pendamping Keluarga (masing-masing tim terdiri dari tiga orang) tersebar di seluruh desa di Bali.
Sukardiasih mengungkapkan, upaya skrining calon pengantin (catin) sebenarnya sudah dilakukan melalui desa adat. Kata dia, Majelis Agung Desa Adat sudah mengeluarkan surat edaran terkait skrining catin sebelum menikah. Namun, implementasinya di masyarakat belum berjalan maksimal. "Setelah kami cek di desa adat, di beberapa kabupaten belum ditindaklanjuti," ungkap Sukardiasih.
Ia menambahkan usaha pencegahan stunting adalah upaya terus menerus. Apabila upaya dikendorkan bisa jadi hasil SSGI berikutnya tidak akan optimal. Angka stunting penting untuk ditekan, karena menjadi salah satu penghambat untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Target kasus stunting di Bali pada tahun 2023 turun menjadi 7 persen. Sementara pada 2024 nanti turun lagi menjadi 6,1 persen. Sukardiasih berharap seluruh pihak tidak berhenti bekerja keras dan berkolaborasi agar Bali bisa sesegera mungkin bebas dari stunting. "Harapannya Bali bisa segera bebas dari stunting (maksimal kasus stunting 2,5 persen)," tandasnya. *cr78
Komentar