Tak Punya Anak, Sehari-hari Andalkan Bantuan Tetangga
Pasangan suami istri (pasutri) Anak Agung Putu Gianyar Tusan, 75, dan Jro Wayan Nastri, 60, hidup serba kekurangan di pondoknya di Tegal Linggah, Banjar Selatnyuhan, Desa Pengiangan, Kecamatan Susut, Bangli.
Pasutri Lingsir di Susut Hidup Dalam Keterbatasan
BANGLI, NusaBali
Bahkan untuk makan sehari-hari, pasutri yang tidak dikarunia anak ini terpaksa mengharapkan uluran tangan para tetangga.
Ditemui di pondoknya, Selasa (30/5), Agung Tusan duduk seorang diri di teras. Agung Tusan dengan suara terbata-bata menuturkan, dirinya tidak bisa bekerja dikarena mata tidak bisa melihat. Bahkan sebelum pengalami gangguan penglihatan dia sempat lumpuh. Agung Tusan asal dari Puri Susut, Bangli, sempat transmigrasi ke Lampung, pada 1963 silam.
Saat di tanah transmigrasi, Agung Tusan tergabung dalam pentas drama, sebagai penasar. Namun setelah kembali ke Bali sekitar tahun 1996, dia tidak menekuni seni drama tersebut. Agng Tusan memutuskan kembali ke Bali karena dialah satu-satunya anak lelaki di keluarganya.
Tiba di Bali, Agung Tusan sempat tinggal di Banjar Susut Kaja selama dua tahun, sebelum memutuskan tinggal di pondok yang kini ditempatinya bersama sang istri. “Ada dua tahun tinggal di Susut, baru tinggal di sini (di pondok Tegal Linggah),” ungkapnya.
Tidak lama, Agung Tusan mulai sakit-sakitan. Diawali menderita kelumpuhan hingga tidak bisa melihat. Kondisi tersebut membuatnya tidak bisa bekerja dan mengandalkan istrinya. “Tiba-tiba mata panas dan akhirnya tidak bisa melihat. Kalau jalan harus dipapah dan menggunakan tongkat,” jelas Agung Tusan.
Selama menderita sakit, tidak sekalipun Agung Tusan dan istrinya memeriksakan diri ke dokter. Lagi-lagi, karena kendala keterbatasan ekonomi.
Sementara Jro Wayan Nastri juga mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jro Wayan Nastri membuat anyaman bambu. Hasilnya pun tidak menentu. Ketika tidak ada uang dan makanan, dia pun harus dengan berat hati meminta kepada tetangga, mengandalkan belas kasihan tetangga.
Di sisi lain pondok yang ditempati pasutri ini sudah mulai bocor. “Kalau hujan sudah pasti bocor, saya pun harus tidur di pojokan,” tuturnya. Untuk pemenuhan air bersih, keluarga ini harus membeli. Satu ember air bersih dibeli Rp 1.000. Sementara listrik mendapat sambungan dari tetangganya.
Agung Tusan tidak mendapat santunan dari pemerintah. “Dari pemerintah tidak ada, kalau pribadi ada yang ke sini memberikan beras, susu, dan minyak goreng,” jelasnya. Beberapa kali keluarga dari sang istri datang menjenguk dan memberikan makanan.
Salah satu tentangga, Ketut Tekianta, mengatakan kondisi Agung Tusan memprihatinkan, terlebih lagi pasutri ini tidak memiliki anak. “Biasa saya dipanggil, seperti waktu ini saya diminta memperbaiki atap dapur,” ujarnya. *e
Komentar