Wayang Tradisi asal Negeri China yang Kini Kian Sepi Peminat
Pertunjukan wayang atau boneka kantung bernama Wayang Potehi ini merupakan tradisi yang dibawa dari negeri China (Tongkok) sekitar satu abad silam.
MANGUPURA, NusaBali
Alunan suara musik yang merdu berpadu dengan alat musik tambur dan suling menggema di halaman depan Kelenteng Caow Eng Bio Tanjung Benoa, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung pada Jumat (3/2) malam.
Pertunjukan wayang atau boneka kantung asal negeri Tiongkok bernama Wayang Potehi ini menurut Dalang Wayang Potehi, Sugiyo Woloyo merupakan tradisi yang dibawa oleh nenek moyang mereka asal China (Tiongkok) sekitar satu abad silam yang kini sulit ditemui. Pria yang memiliki nama beken Dalang Sabar ini menjelaskan Wayang Potehi sendiri berasal dari kata 'pou' yang berarti kain, 'te' berarti kantong, dan 'hi' yang berarti boneka.
Sesuai namanya, wayang Potehi merupakan wayang boneka seperti kantong kain dengan kepalanya boneka. Sementara kata dia, bagian kepala, tangan, maupun kakinya terbuat dari kayu. Berbeda dengan jenis wayang lainnya, seperti wayang golek, Dalang Sabar menerangkan wujud dan cara main dari wayang Potehi ini berbeda, apalagi pakaiannya menggunakan pakaian tradisional khas China.
“Kalau wayang kulit cara memainkannya menggunakan stik. Tetapi untuk wayang Potehi kita pakai jari jemari. Dari jari telunjuk masuk ke bagian kepala, lalu jari jempol menggerakkan tangan kiri dari boneka dan 3 jari lainnya menggerakkan tangan bagian kanan boneka,” ujar Sabar saat ditemui setelah pementasan Wayang Potehi di Kelenteng Caow Eng Bio di Tanjung Benoa, Jumat malam.
Lakon-lakon yang biasa Sabar bawakan pun cenderung ke cerita sejarah klasik Tiongkok maupun kisah kerajaan, seperti Sun Go Kong, Tong Sam Tjong, Te Pat Kay, dan Se Go Tjing. Namun, tidak seperti wayang kulit lainnya, pertunjukan ini bisa dipentaskan beberapa kali hingga selesai, bahkan ada kisah yang membutuhkan pementasan sampai berminggu-minggu ataupun berbulan-bulan.
Panggung pementasannya pun unik, didominasi warna merah dengan miniatur rumah khas China. Di balik panggung tersebut, ada seorang dalang dan asistennya yang memainkan wayang Potehi. Penggunaan alat musik untuk mengiringi pertunjukan Potehi itu seperti tambur, gembreng, rebab, terompet dan lainnya. Ketukannya selaras dengan gerak lengan dalang Potehi yang membawakan lakon cerita.
“Kita juga coba agar ramai dan bisa menyentuh telinga penonton kita pakai alat musik Yan Tjing,” tambahnya. Pria asal Pabean Cantian, Surabaya ini pun memegang peranan penting dalam pertunjukan wayang Potehi, yakni sebagai Dalang. Sabar rutin mementaskan kesenian ini pada saat hari besar China, seperti perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Sabar kecil pun seakan mewarisi kecintaan pendahulunya akan wayang Potehi. Menjadi seorang dalang Potehi sejak tahun 1974, kata Sabar bukanlah didapat dari hasil yang instan. Melainkan dirintis dari bawah sebagai seorang asisten dalang terlebih dahulu.
Selama proses itu, dia juga turut belajar menguasai alat musik tambur atau kendang, genderang, dan juga terompet. Berkecimpung selama hampir 49 tahun di dunia pedalangan wayang Potehi, Sabar telah memiliki hampir 40 koleksi wayang Potehi dengan berbagai karakter tokoh. Sayangnya, eksistensi penikmat wayang Potehi dikatakannya semakin berkurang. Kehilangan ini dia sebut karena perubahan jaman akibat adanya tontonan dalam genggaman handphone yang lebih dinikmati oleh anak-anak muda. Walaupun fakta tersebut tidak bisa ditutupi, dia akan tetap bertahan untuk melestarikan tradisi wayang Potehi ini.
“Saya sudah suka dan telanjur cinta dari kecil sama wayang Potehi. Pada tahun 1974 itu saya masih berusia 12 tahun. Bahkan pekerjaan ini sangat mencukupi kehidupan keluarga saya dan saya termasuk dalang yang mempunyai jam terbang yang banyak,” ujar pria yang juga anggota komunitas Fo Ho An ini. Tak hanya persoalan berkurangnya dari segi penikmat wayang Potehi, Sabar turut menerangkan kecemasannya karena wayang Potehi ini berada di ambang kepunahan.
“Kalau prediksi saya wayang Potehi ini semakin lama akan semakin hilang atau semakin punah. Jadi punah bukan karena tidak ada yang menanggapi, tetapi karena pemainnya yang tidak ada,” tuturnya sedih. Untuk menjaga kesenian ini, keterampilan wayang Potehi ini pun diturunkan kepada anaknya yang bernama Alvian dan Ringgo Saputra. “Anak pertama saya perempuan jadi tidak bisa menjadi seorang dalang. Anak kedua dan terakhir sekarang ikut setiap kali saya show wayang Potehi. Tetapi anak ketiga saya, Ruli Asmara lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain,” tutur pria kelahiran 17 Mei 1962 ini.
Selama 46 tahun gigih merawat tradisi wayah Potehi, kini Sabar berhasil mengangkat pamor kesenian ini. Tak hanya tampil di tempat kelahirannya di Surabaya tetapi dia sudah memperkenalkan wayang Potehi di sejumlah daerah lainnya seperti di Sidoarjo, Kediri, bahkan di Mall Ciputra, Jakarta. “Saya berharap nantinya ada regenerasi, kalau tidak ada penerus Wayang Potehi ini bisa punah,” katanya. *ol3
Komentar