46 Tahun Gigih Merawat Tradisi Wayang Potehi, Sabar: Saya Terlanjur Jatuh Cinta
MANGUPURA, NusaBali.com - Alunan suara musik yang merdu berpadu dengan alat musik tambur dan suling menggema di halaman depan kelenteng Caow Kelenteng Caow Eng Bio, Tanjung Benoa, Badung, Jumat (3/2/2023) malam.
Pertunjukan wayang atau boneka kantung asal negeri Tiongkok bernama Wayang Potehi ini, menurut Dalang Wayang Potehi, Sugiyo Woloyo merupakan tradisi yang dibawa oleh nenek moyang asal Tiongkok sekitar satu abad silam yang kini sulit ditemui.
Pria yang memiliki nama beken Sabar itu menjelaskan, wayang Potehi sendiri berasal dari kata 'pou' yang berarti kain, 'te' berarti atau kantong, dan 'hi' yang berarti boneka.
Sesuai namanya, Wayang Potehi merupakan wayang boneka seperti kantong kain dengan kepalanya boneka. Sementara kata dia, bagian kepala, tangan, maupun kakinya terbuat dari kayu.
Berbeda dengan wayang kulit lainnya seperti Wayang Golek, Sabar menerangkan wujud dan cara main dari Wayang Potehi ini berbeda, apalagi pakaiannya menggunakan pakaian tradisional khas China.
“Kalau wayang kulit cara memainkannya menggunakan stik. Tetapi untuk Wayang Potehi kita pakai jari jemari. Dari jari telunjuk masuk ke bagian kepala, lalu jari jempol menggerakkan tangan kiri dari boneka dan 3 jari lainnya menggerakkan tangan bagian kanan boneka,” ujar Sabar saat ditemui setelah pementasan Wayang Potehi di Kelenteng Caow Eng Bio, Tanjung Benoa, Badung, Jumat (3/2/2023) malam.
Lakon-lakon yang biasa Sabar bawakan pun cenderung ke cerita sejarah kisah klasik Tiongkok maupun kisah kerajaan, seperti Sun Go Kong, Tong Sam Tjong, Te Pat Kay, dan Se Go Tjing.
Namun, tidak seperti wayang kulit lainnya, pertunjukan ini bisa dipentaskan beberapa kali hingga selesai, bahkan ada kisah yang membutuhkan pementasan sampai berminggu-minggu ataupun berbulan-bulan.
Panggung pementasannya pun unik, didominasi warna merah dengan miniatur rumah khas China. Di balik panggung tersebut, ada seorang dalang dan asistennya yang memainkan wayang Potehi.
Penggunaan alat musik untuk mengiringi pertunjukan Potehi itu seperti tambur, Gembreng, Rebab, Terompot dan lainnya. Ketukannya selaras dengan gerak lengan dalang Potehi yang membawakan lakon cerita.
“Kita juga coba agar ramai dan bisa menyentuh telinga penonton kita pakai alat musik Yan Tjing,” tambahnya.
Pria asal Pabean Cantikan, Surabaya ini pun memegang peranan penting dalam pertunjukkan Wayang Potehi yakni sebagai seorang Dalang. Ia rutin mementaskan kesenian ini, pada saat hari besar etnik Tionghoa yakni pada perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh.
Sabar kecil pun seakan mewarisi kecintaan pendahulunya akan Wayang Potehi. Menjadi seorang dalang Potehi sejak tahun 1974, kata Sabar bukanlah didapat dari hasil yang instan. Melainkan dirintis dari bawah sebagai seorang asisten dalang terlebih dahulu.
Selama proses itu, ia juga turut belajar menguasai alat musik tambur atau kendang, genderang, dan juga terompet. Berkecimpung selama hampir 49 tahun di dunia pedalangan wayang Potehi, ia telah memiliki hampir 40 koleksi Wayang Potehi dengan berbagai karakter tokoh.
Sayangnya, eksistensi penikmat Wayang Potehi dikatakannya semakin berkurang.
Kehilangan ini ia sebut karena perubahan zaman akibat adanya tontonan dalam genggaman handphone yang lebih dinikmati oleh anak-anak. Walaupun fakta tersebut tidak bisa ditutupi, ia akan tetap bertahan untuk melestarikan tradisi Wayang Potehi ini.
“Saya sudah suka dan terlanjur cinta dari kecil sama wayang Potehi. Pada tahun 1974 itu saya masih berusia 12 tahun. Bahkan pekerjaan ini sangat mencukupi kehidupan keluarga saya dan Alhamdulillah saya termasuk dalang yang mempunyai jam terbang yang banyak,” ujar pria yang juga anggota komunitas Fo Ho An ini.
Tak hanya persoalan berkurangnya dari segi penikmat Wayang Potehi, Sabar turut menerangkan kecemasannya karena Wayang Potehi ini berada di ambang kepunahan.
“Kalau prediksi saya Wayang Potehi ini semakin lama akan semakin hilang atau semakin punah. Jadi punah bukan karena tidak ada yang menanggapi, tetapi karena pemainnya yang tidak ada,” tuturnya sedih.
Untuk menjaga kesenian ini, keterampilan Wayang Potehi ini pun diturunkan kepada anaknya yang bernama Alvian dan Ringgo Saputra.
“Anak pertama saya perempuan jadi tidak bisa menjadi seorang dalang. Anak kedua dan terakhir sekarang ikut setiap kali saya show Wayang Potehi. Tetapi anak ketiga saya, Ruli Asmara lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain,” tutur pria kelahiran 17 Mei 1962 itu.
Selama 46 tahun gigih merawat tradisi wayah Potehi, kini ia berhasil mengangkat pamor kesenian ini. Tak hanya tampil di tempat kelahirannya di Surabaya tetapi ia sudah memperkenalkan Wayang Potehi di sejumlah daerah lainnya seperti di Sidoarjo, Kediri, bahkan di Mall Ciputra, Jakarta.
“Saya berharap nantinya ada regenerasi, kalau tidak ada penerus Wayang Potehi ini akan punah dengan sendirinya,” harapnya. *ris
1
Komentar