Kisah dan Sisi Lain Ritual Ngerebeg di Pura Duurbingin Tegallalang
GIANYAR, NusaBali.com – Ritual Ngerebeg yang dilakukan serangkaian pujawali di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, Desa Pakraman Tegallalang pada Buda Kliwon Pahang, Rabu (8/2/2023) lalu, masih menyisakan rasa penasaran untuk mengulik cerita-cerita di balik Ngerebeg yang berkembang di masyarakat.
Ritual yang berlangsung pada setiap Buda Kliwon Pahang itu disebut melibatkan wong samar alias makhluk halus dan manusia untuk menyiapkan pujawali di Pura Duurbingin. Keharmonisan ini merepresentasikan keterlibatan tiga alam atau Tri Loka yakni Bhur, Bwah, dan Swah.
Di balik keberadaan ritual yang diperkirakan sudah berlangsung sejak Pura Duurbingin berdiri pada 1697 Saka atau 1775 Masehi ini, banyak cerita dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Pada dasarnya kisah dari warga ini sebagai medium penguatan srada kepada ritual peninggalan pamucuk jagat Tegallalang, Ida Cokorda Ketut Segara.
Foto: Pangerebeg menuju Banjar Penusuan, Tegallalang. -NGURAH RATNADI
Sempat memudar, bangkit kembali pada sekitar tahun 1975
Ritual Ngerebeg di Pura Duurbingin sempat memudar karena perkembangan zaman dan mulai ada pihak yang kurang meyakini esensi ritual ini. Namun srada krama kembali bangkit setelah ada kejadian di luar nalar pada sekitar tahun 1975.
Kata Bendesa Adat Tegallalang, I Made Kumarajaya, 65, pada kala itu jalan utama yang melalui Desa Pakraman Tegallalang sedang diperbaiki. Banyak truk konstruksi melintas di jalan tersebut salah satunya membawa pasir.
“Kebetulan saat itu ada ritual Ngerebeg. Kemudian ada sopir truk iseng mematahkan senjata pangerebeg yang terbuat dari pelepah salak diikuti berbicara yang tidak etis,” ujar Kumara ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg.
Setelah mematahkan senjata pangerebeg, truk itu kembali melaju. Tidak berselang lama, truk tersebut terbalik, mematahkan tangan, dan mencederai anggota gerak bawah si sopir. Imbuh Kumara, sopir tersebut masih warga setempat dan baru berpulang belum lama ini.
Sementara sumber lain yang ditemui NusaBali.com pada kesempatan yang sama namun pada waktu yang berbeda menyebutkan bahwa pangerebeg yang senjatanya dipatahkan mungkin bukan manusia. Melainkan wong samar yang meniru rupa warga setempat.
Sebab, pada saat truk itu kembali melaju, si bocah pangerebeg yang dipatahkan senjatanya ini berbicara seperti menyumpahi. “Madak pang lung limané ané ngeleg to! (Kusumpahi orang yang mematahkan itu tangannya patah!),” begitu kata sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya ini menirukan kata-kata pangerebeg.
Sejak peristiwa itu, kepercayaan krama terhadap ritual Ngerebeg kembali bangkit. Partisipasinya pun juga kembali meningkat.
Foto: Pangerebeg anak-anak terlibat dalam ritual. -NGURAH RATNADI
Tidak boleh melarang anak-anak yang ingin ngayah Ngerebeg
Ritual Ngerebeg ini iikuti oleh hampir semua kalangan mulai siswa PAUD hingga yowana. Anak-anak balita pun tidak ketinggalan meskipun tidak merias tubuh sejauh pangerebeg utama. Anak-anak balita ini pun ikut sekadar merias wajah saja.
Ada alasan mengapa anak-anak balita pun ikut Ngerebeg. Terdapat kepercayaan di masyarakat bahwa warga tidak boleh melarang anak mereka apabila sudah mengucapkan keinginan untuk ngayah Ngerebeg. Sebab sekali lagi, yang mengucapkan keinginan untuk terlibat Ngerebeg mungkin bukan anak mereka sendiri namun hanya menyerupai.
Warga yang melarang keterlibatan anak mereka Ngerebeg bisa berdampak buruk bagi keselamatan sang anak. Bahkan ada kisah warga yang melarang mendapati anaknya mengalami sakit-sakitan dan akhirnya memohon pengampunan dan tamba ke Pura Duurbingin.
Foto: Pangerebeg dengan tampilan ekstrem. -NGURAH RATNADI
Tidak boleh menolak orang meminta perlengkapan Ngerebeg
Sama seperti tidak boleh melarang anak untuk ngayah Ngerebeg, apabila ada yang meminta perlengkapan Ngerebeg pun tidak boleh ditolak.
Seperti yang diketahui, yang mempersiapkan pujawali di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin bukan saja manusia melainkan dibantu wong samar. Oleh karena itu, yang meminta keperluan Ngerebeg mungkin bukan saja manusia warga Tegallalang.
Oleh sebab itu, apabila ditolak maka akan berdampak buruk bagi si pemilik sarana Ngerebeg. Misalnya ada yang meminta daun ataupun pelepah salak dan kelengkapan upacara lainnya. Jika ditolak, tumbuhan yang dipelihara warga bisa saja mati atau membusuk seketika dan akhirnya tidak menguntungkan si pemilik.
Yang dilihat warga adalah manusia biasa. Akan tetapi, warga tidak bisa membedakan mana yang benar-benar manusia dan mana yang hanya menyerupai.
Foto: Pangerebeg dengan tampilan unik bertahan di tengah guyuran hujan. -NGURAH RATNADI
Atribut Ngerebeg pernah melenceng dari tatanan, akhirnya dibuat batasan
Karena kreativitas dan inovasi yang dilakukan warga disebabkan perkembangan zaman, atribut Ngerebeg sempat keluar dari jalur.
Pangerebeg sempat memakai atribut seperti pakaian sekolah dan tapel untuk menambah daya tarik. Adapula yang menggunakan senjata selain pelepah salak dan enau.
Di lain sisi, wajah harus diperlihatkan saat Ngerebeg. Kemudian, pelepah salak adalah simbol senjata wong samar yang tidak bisa diubah seenaknya.
Manggala Pangempon Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, I Nyoman Gede Artawan, 57, menjelaskan bahwa hal tersebut sudah melenceng dari dresta. Oleh karena itu, atribut yang keluar jalur akibat perkembangan zaman dan pengaruh ritual Ngerebeg sebagai atraksi wisata ini ditata kembali.
“Hal itu sudah melenceng dari dresta dan etika yang berlaku. Makanya kami tertibkan agar tidak menggunakan selain atribut yang sudah diwariskan turun temurun,” tutur Artawan ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg pada Rabu siang.
Selain itu, masih berkaitan dengan atribut pangerebegan, segala atributnya tidak boleh dibuang maupun dibakar. Atribut dan pecahan atribut yang berserakan di jalan yang dilintasi pangerebeg juga harus dipungut dan dibawa kembali ke palak pura.
Atribut berupa senjata dan hiasan dari tumbuh-tumbuhan itu diletakkan di sekitar palak pura hingga rangkaian pujawali di Pura Duurbingin selesai. *rat
1
Komentar