Cok Sawitri: Sorga Itu di Bumi
Pentas berjudul ‘Percakapan Langit dan Bumi’ terinspirasi dari isu saat ini, dimana sorga atau kedamaian itu hanya dipersepsikan di langit saja.
Rayakan Kelahiran Pancasila, Lepas Balon Merah Putih
DENPASAR, NusaBali
Nuansa Merah Putih dan gambar Garuda Pancasila mewarnai Pekan Pancasila di Pulau Dewata. Tidak hanya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan apel, puluhan orang dari berbagai elemen masyarakat turut berkumpul merayakan kelahiran Pancasila di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar, tepatnya di timur Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Kamis (1/6) pagi. Dua seniman perempuan Bali, Cok Sawitri dan Ayu Laksmi antusias tampil meski dengan balutan merah putih yang sederhana.
Dalam acara tersebut, bendera Merah Putih dikibarkan dengan lantang. Pita, merah putih juga diikatkan pada kepala masing-masing peserta. Semua tunduk pada Pancasila, menghormat pada Sang Saka. Sementara itu, nyanyian lagu-lagu nasional terus dikumandangkan dengan rasa bangga. Masyarakat pun menyerukan kecintaannya pada negara, "Saya Indonesia, Saya Pancasila!", sebuah tagline yang dibuat untuk merayakan kelahiran Pancasila tahun ini. Di akhir acara, balon merah putih dilepas secara bersama-sama sambil menyanyikan lagu Bali berjudul Merah Putih.
Berbagai elemen hadir, mulai dari masyarakat yang tengah asyik berolahraga, pelajar, mahasiswa, pasraman paguyuban, ormas, hingga yang lanjut usia pun ikut ambil bagian. Yayasan Dharma Giri Utama sebagai pelaksana kegiatan perayaan Kelahiran Pancasila itu membuka sebebas-bebasnya bagi warga yang ingin bergabung.
"Acara sederhana ini bertujuan agar para generasi muda dan seluruh lapisan masyarakat memiliki rasa lagi yang lebih untuk menghormati, terutama melestarikan nilai-nilai Pancasila di situasi bangsa saat ini. Kami mengundang siapa saja boleh ikut merayakan kelahiran Pancasila ini," ujar koordinator kegiatan, I Gede Cakrabawa Sukadana.
Kelahiran Pancasila tidak hanya menjadi momentum membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat. Seniman pun turut bersuka cita. Dua seniman perempuan Bali, Cok Sawitri dan Ayu Laksmi bahkan antusias tampil meski dengan balutan merah putih yang sederhana dan tanpa panggung yang mewah. Mereka dengan apik membawakan pementasan ‘Percakapan Langit dan Bumi’. Namun, sebelum itu mereka mengawalinya dengan pembacaan teks Bhinekka Tunggal Ika dari Kekawin Sutasoma didampingi dua penari yang menarikan kain merah dan putih.
Pentas berjudul ‘Percakapan Langit dan Bumi’ ini terinspirasi dari isu saat ini, dimana sorga atau kedamaian itu hanya dipersepsikan di langit saja. Padahal menurutnya sorga tidak di langit melainkan di bumi. "Ada yang sampai mengejar sorga ke langit. Jika engkau percaya sorga ada di langit, bagaimana dengan aku yang percaya bahwa sorga di bumi. Banyak agama lokal atau bumi yang percaya bahwa sorga itu justru berada di bumi, seperti hidup sejahtera hidup baik, pergi kemana-jangan takut, tidak ada intimidasi, saling menghormati. Itu sorga," ungkap Cok Sawitri.
Dikatakan, judul tersebut, kata dia, sesungguhnya kontemplatif melihat sudah berapa banyak bangsa ini kehilangan momen kebangsaan, dan banyaknya pejabat yang kini bahkan sudah lupa dengan isi Pancasila, bahkan tidak tahu darimana asalnya Bhinekka tunggal Ika.
"Lebih lucu lagi saat banyak yang memuja-muja HAM, yang kalau dipelajari, butir-butir Pancasila jauh lebih hebat daripada HAM. Kelemahan kita adalah tidak sungguh-sungguh menjadikan Pancasila itu sebagai perilaku. Kita sudah dibekali banyak oleh founding father kita, tapi kita terdidik untuk diam daripada ribut. Akhirnya sekelompok kepentingan kemudian memainkan ini," selorohnya.
Ditambah lagi, nyanyian Ayu Laksmi berjudul ‘Maha Asa’ yang bermakna mimpi besar, menyadarkan seluruh peserta pada kenyataan bahwa selama ini bermimpi besar hidup lebih baik dari orde baru namun sampai saat ini impian itu dirasa belum terwujud. "Lagu Maha Asa dari Ayu Laksmi itu adalah harapan besar, yang sering kita setelah reformasi bermimpi besar akan lebih baik dari era Soeharto. Tapi nyatanya kita nggak berani bangun. Lebih bagus dalam mimpi saja kalau lihat dengan keadaan sekarang," tandasnya.
Dalam pentas itu, Cok Sawitri menyampaikan pendapatnya tentang kondisi bangsa. Bahwa saat ini diperlukan sekali kemauan untuk tidak takut menyatakan bahwa kita bukan negara agama. Dia tidak setuju dengan istilah mayoritas dan minoritas terus berkembang di negara ini.
"Dalam riwayat sejarah Indonesia, kita sudah sepakat menjadi Indonesia tanpa ada istilah mayoritas minoritas itu. Harus disadari bahwa di Indonesia Kebhinekaan itu adalah niscaya. Agama harus dibawa ke ranah domestik, jangan ke ranah publik. Pikiran mayoritas vs minoritas ini, seolah bicara persatuan dan kesatuan tapi cara pandangnya seperti ada yang tertindas (minoritas)," katanya.
Pemerintah dalam hal ini menurutnya harus mengambil tindakan tegas terhadap intoleransi yang terjadi, bukan malah takut dengan sekelompok orang yang memanfaatkan situasi dan memperkeruh suasana. Termasuk Cok Sawitri juga mengkritik elit partai politik yang memakai demokrasi sebagai alat untuk mendapatkan jabatan.
"Yang harus dilakukan pemerintah, tidak usah takut sama preman. Kita sudah sepakat menjadi Indonesia. Semua agama stop passion religius, yang mengatakan mayoritas dan minoritas. Sedikit-sedikit penistaan agama. Humor kita sudah tidak ada. Sebagai bangsa kita kekurangan tertawa," ucapnya. *in
Komentar