Wong Samar, Manusia, dan Dewata Sempurnakan Yadnya
Di Balik Ritual Ngerebeg di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, Tegallalang, Gianyar
Ritual ini dipercaya sebagai pesta pelepasan para wong samar agar kembali ke tempatnya masing-masing di wewidangan jagat Tegallalang, agar terjaga keharmonisan ketiga alam.
GIANYAR, NusaBali
Ritual Ngerebeg di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, Desa Adat Tegallalang, Gianyar dinilai sebagai yadnya yang disempurnakan Tri Loka atau tiga alam yakni Bhur, Bwah, dan Swah. Ketiga alam ini direpresentasikan oleh wong samar dari Bhur Loka atau alam bawah, manusia dari Bwah Loka atau alam tengah, dan dewata dari Swah Loka.
Manggala Pangemong Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, I Nyoman Gede Artawan,57, menuturkan bahwa keharmonisan ketiga alam ini berawal dari sejarah pura itu sendiri. Kata Artawan, Pura Duurbingin didirikan oleh Ida Cokorda Ketut Segara yang berasal dari trah Kerajaan Sukawati. “Ketika Beliau sampai di wewidangan Banjar Tengah, Desa Pakraman Tegallalang ini, Ida Cokorda Ketut Segara yang juga tokoh spiritual melihat sinar di atas pohon beringin menuju ke langit,” tutur Artawan ketika ditemui di sela ritual Ngerebeg pada Buda Kliwon Pahang, Rabu (8/2) siang.
Dari penglihatan spiritual ini, pamucuk jagat Tegallalang itu berniat mendirikan pura di palak pohon beringin tersebut. Akan tetapi, di sana sudah ada sebuah palinggih yang dikuasai oleh para wong samar atau makhluk halus. Berdasarkan informasi yang diterima dari seorang warga yang memiliki hubungan niskala dengan sumber kayu bahan patapakan di Pura Duurbingin, dahulu bahkan ditemukan palinggih itu berada di atas pohon beringin.
Kata sumber yang enggan disebutkan identitasnya ini, dahulu pohon beringin itu masih berupa intinya sedangkan yang sekarang hanya tersisa beringin sekundernya. Pria asal Banjar Tengah ini mengungkapkan bahwa hanya orang dengan spiritual tertentu saja yang dapat melihat palinggih di atas beringin itu. “Karena palinggih itu dikuasai wong samar yang sudah lebih dulu menempati wilayah itu, terjadilah konflik perebutan. Sampai akhirnya, Ida Cokorda Ketut Segara berhasil membuat kesepakatan dengan wong samar,” kata Artawan yang juga Manggala Pura Dalem Kangin ini.
Berdasarkan prasasti Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, pura yang dikenal sekarang berada di samping Bale Banjar Tengah ini berdiri pada Isaka Warsa 1697. Selain itu, berdasarkan kesepakatan yang tidak diketahui secara pasti isinya, sejak saat itu para wong samar membantu membangun Pura Duurbingin sekaligus pelaksanaan pujawalinya. Pujawali pura yang diempon oleh lima dari tujuh banjar adat ini jatuh pada setiap Umanis Pegatuakan atau Wraspati Umanis Pahang. Sehari sebelum pujawali tersebut, selalu dilangsungkan sebuah ritual yang disebut Ngerebeg.
Pada prosesi ritual ini krama yang terdiri dari kalangan PAUD hingga yowana terlibat sebagai pangerebeg. Para pangerebeg ini mendandani diri dengan riasan mewarnai tubuh, dilengkapi senjata berupa pelepah pohon salak atau enau. Kata Artawan, para pengerebeg ini menyimbolkan para wong samar. Sebab, mereka mendandani diri selayaknya makhluk dari alam bawah dan pelepah pohon salak adalah senjatanya.
Manggala berkacamata ini membeberkan bahwa para pangerebeg berdandan semacam itu untuk mengikuti rupa wong samar. Terutama, pamucuk atau kepala dusun dari para wong samar yakni Jero Pan Sunari. Selama lima hari sejak Saniscara Kliwon Pujut, Sabtu (4/2/2023), wong samar pimpinan Jero Pan Sunari ini sudah bergotong-royong bersama krama untuk mempersiapkan pujawali. Selama lima hari itu pula makhluk dari alam Bhur Loka ini diberikan hidangan paica (makanan) alit dan ageng selama rangkaian pujawali.
“Paica alit itu terdiri dari bungkusan hidangan daun kecil sedangkan paica ageng dibuat seperti magibung. Inilah yang diberikan setelah panjak dan wong samar ini selesai bergotong-royong mempersiapkan pujawali selama lima hari,” sebut Artawan.
Paica alit dan ageng itu juga dihidangkan pada hari Ngerebeg sebelum para wong samar tersebut berkeliling wewidangan Desa Pakraman Tegallalang. Ritual ini dipercaya sebagai pesta pelepasan para wong samar agar kembali ke tempatnya masing-masing di wewidangan jagat Tegallalang. Harapannya pula agar terjaga keharmonisan ketiga alam. Di mana wong samar dan panjak Tegallalang sudah bergotong-royong menyiapkan pujawali yang ditujukan kepada dewata. Di lain sisi, keharmonisan juga terjaga antara pawongan dan palemahan di desa adat yang memiliki dua Pura Dalem ini.
“Kami tidak berani untuk tidak mengadakan ritual ini meskipun di masa Covid karena konsekuensinya sangat besar. Sebab, sama saja pengharmonisan itu tidak diadakan. Ketika sudah tidak harmonis, para wong samar ini bisa saja melakukan kekacauan di desa kami,” ujar Artawan. Manggala dua pura sakral di jagat Tegallalang ini menegaskan bahwa ke depan, apa pun perubahan yang terjadi di dunia ini, ritual ini harus tetap dijalankan. Artawan menegaskan Ngerebeg di Desa Pakraman Tegallalang tidak sekadar tradisi melainkan ritual dengan spiritualitas.
Sementara itu, Bendesa Adat Tegallalang I Made Kumarajaya,65, berpesan bahwa ritual Ngerebeg yang sudah menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 7 Desember 2021 ini tidak perlu diperdebatkan. Entah itu dari segi makna, kepatutan, dan lainnya. Sebab, yang terpenting bagi Kumara adalah bagaimana warisan leluhur itu bisa dijaga dan dilestarikan. Selain itu, lewat ritual Ngerebeg yang memerlukan kegotong-royongan ini bakal memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan antarkrama adat Tegallalang.
“Sudahi perdebatan. Mengapa seperti itu, nak ngujang bisa keto, ngujang bisa kene. Ambil sisi positifnya saja. Yang terpenting dari ritual ini ada nilai kebersamaan yang bisa memupuk rasa persaudaraan antarkrama kami di sini,” tandas Kumara ketika dijumpai dalam kesempatan yangs sama. *ol1
Manggala Pangemong Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, I Nyoman Gede Artawan,57, menuturkan bahwa keharmonisan ketiga alam ini berawal dari sejarah pura itu sendiri. Kata Artawan, Pura Duurbingin didirikan oleh Ida Cokorda Ketut Segara yang berasal dari trah Kerajaan Sukawati. “Ketika Beliau sampai di wewidangan Banjar Tengah, Desa Pakraman Tegallalang ini, Ida Cokorda Ketut Segara yang juga tokoh spiritual melihat sinar di atas pohon beringin menuju ke langit,” tutur Artawan ketika ditemui di sela ritual Ngerebeg pada Buda Kliwon Pahang, Rabu (8/2) siang.
Dari penglihatan spiritual ini, pamucuk jagat Tegallalang itu berniat mendirikan pura di palak pohon beringin tersebut. Akan tetapi, di sana sudah ada sebuah palinggih yang dikuasai oleh para wong samar atau makhluk halus. Berdasarkan informasi yang diterima dari seorang warga yang memiliki hubungan niskala dengan sumber kayu bahan patapakan di Pura Duurbingin, dahulu bahkan ditemukan palinggih itu berada di atas pohon beringin.
Kata sumber yang enggan disebutkan identitasnya ini, dahulu pohon beringin itu masih berupa intinya sedangkan yang sekarang hanya tersisa beringin sekundernya. Pria asal Banjar Tengah ini mengungkapkan bahwa hanya orang dengan spiritual tertentu saja yang dapat melihat palinggih di atas beringin itu. “Karena palinggih itu dikuasai wong samar yang sudah lebih dulu menempati wilayah itu, terjadilah konflik perebutan. Sampai akhirnya, Ida Cokorda Ketut Segara berhasil membuat kesepakatan dengan wong samar,” kata Artawan yang juga Manggala Pura Dalem Kangin ini.
Berdasarkan prasasti Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, pura yang dikenal sekarang berada di samping Bale Banjar Tengah ini berdiri pada Isaka Warsa 1697. Selain itu, berdasarkan kesepakatan yang tidak diketahui secara pasti isinya, sejak saat itu para wong samar membantu membangun Pura Duurbingin sekaligus pelaksanaan pujawalinya. Pujawali pura yang diempon oleh lima dari tujuh banjar adat ini jatuh pada setiap Umanis Pegatuakan atau Wraspati Umanis Pahang. Sehari sebelum pujawali tersebut, selalu dilangsungkan sebuah ritual yang disebut Ngerebeg.
Pada prosesi ritual ini krama yang terdiri dari kalangan PAUD hingga yowana terlibat sebagai pangerebeg. Para pangerebeg ini mendandani diri dengan riasan mewarnai tubuh, dilengkapi senjata berupa pelepah pohon salak atau enau. Kata Artawan, para pengerebeg ini menyimbolkan para wong samar. Sebab, mereka mendandani diri selayaknya makhluk dari alam bawah dan pelepah pohon salak adalah senjatanya.
Manggala berkacamata ini membeberkan bahwa para pangerebeg berdandan semacam itu untuk mengikuti rupa wong samar. Terutama, pamucuk atau kepala dusun dari para wong samar yakni Jero Pan Sunari. Selama lima hari sejak Saniscara Kliwon Pujut, Sabtu (4/2/2023), wong samar pimpinan Jero Pan Sunari ini sudah bergotong-royong bersama krama untuk mempersiapkan pujawali. Selama lima hari itu pula makhluk dari alam Bhur Loka ini diberikan hidangan paica (makanan) alit dan ageng selama rangkaian pujawali.
“Paica alit itu terdiri dari bungkusan hidangan daun kecil sedangkan paica ageng dibuat seperti magibung. Inilah yang diberikan setelah panjak dan wong samar ini selesai bergotong-royong mempersiapkan pujawali selama lima hari,” sebut Artawan.
Paica alit dan ageng itu juga dihidangkan pada hari Ngerebeg sebelum para wong samar tersebut berkeliling wewidangan Desa Pakraman Tegallalang. Ritual ini dipercaya sebagai pesta pelepasan para wong samar agar kembali ke tempatnya masing-masing di wewidangan jagat Tegallalang. Harapannya pula agar terjaga keharmonisan ketiga alam. Di mana wong samar dan panjak Tegallalang sudah bergotong-royong menyiapkan pujawali yang ditujukan kepada dewata. Di lain sisi, keharmonisan juga terjaga antara pawongan dan palemahan di desa adat yang memiliki dua Pura Dalem ini.
“Kami tidak berani untuk tidak mengadakan ritual ini meskipun di masa Covid karena konsekuensinya sangat besar. Sebab, sama saja pengharmonisan itu tidak diadakan. Ketika sudah tidak harmonis, para wong samar ini bisa saja melakukan kekacauan di desa kami,” ujar Artawan. Manggala dua pura sakral di jagat Tegallalang ini menegaskan bahwa ke depan, apa pun perubahan yang terjadi di dunia ini, ritual ini harus tetap dijalankan. Artawan menegaskan Ngerebeg di Desa Pakraman Tegallalang tidak sekadar tradisi melainkan ritual dengan spiritualitas.
Sementara itu, Bendesa Adat Tegallalang I Made Kumarajaya,65, berpesan bahwa ritual Ngerebeg yang sudah menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 7 Desember 2021 ini tidak perlu diperdebatkan. Entah itu dari segi makna, kepatutan, dan lainnya. Sebab, yang terpenting bagi Kumara adalah bagaimana warisan leluhur itu bisa dijaga dan dilestarikan. Selain itu, lewat ritual Ngerebeg yang memerlukan kegotong-royongan ini bakal memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan antarkrama adat Tegallalang.
“Sudahi perdebatan. Mengapa seperti itu, nak ngujang bisa keto, ngujang bisa kene. Ambil sisi positifnya saja. Yang terpenting dari ritual ini ada nilai kebersamaan yang bisa memupuk rasa persaudaraan antarkrama kami di sini,” tandas Kumara ketika dijumpai dalam kesempatan yangs sama. *ol1
1
Komentar