Juara Bertahan Ogoh-Ogoh Denpasar! Dukuh Mertajati Sidakarya Siapkan Kejutan dari Getir Peperangan dan Keserakahan
Ogoh-Ogoh ‘Kali Citta Pralaya’ garapan ST Tunas Muda ini merepresentasikan dunia yang tengah dilanda konflik dan penderitaan akibat perang dan keserakahan.
DENPASAR, NusaBali
Sekaa Teruna (ST) Tunas Muda dari Banjar Dukuh Mertajati, Desa/Desa Adat Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar tengah menyiapkan kejutan berupa ogoh-ogoh yang merespons situasi geopolitik terkini, yakni getir peperangan dan keserakahan.
ST Tunas Muda merupakan juara bertahan kompetisi ogoh-ogoh se-Bali Kota Denpasar. Sejak tahun 2015, ST yang bermarkas di persimpangan Jalan Sidakarya dan Jalan Bedugul ini konsisten membuat action figure raksasa yang tidak biasa. Ketika kompetisi ogoh-ogoh ada, bermula pada tahun 2019, ST Tunas Muda konsisten menduduki podium tiga besar ogoh-ogoh se-Kota Denpasar.
Sang Bhuta Wingkara (2019) tentang neraka, Pangadangngadang (2020) soal siklus kehidupan, dan Gerubug (2022) berkenaan respons terhadap pandemi adalah sederet karya fenomenal. “Pada tahun ini, kami menyiapkan ogoh-ogoh yang sementara bertajuk Kali Citta Pralaya. Ogoh-ogoh ini adalah respons kami terhadap getirnya konflik peperangan dan keserakahan pemimpinnya,” ujar Ketua ST Tunas Muda, I Wayan Pageh Wedanta,24, di sela penggarapan ogoh-ogoh, Rabu (15/2/2023) malam.
Pemuda yang akrab disapa Epong ini mengaku konsep yang diangkat dicetuskan oleh maestro ogoh-ogoh ST Tunas Muda, yakni Made Putra alias Bobic. Dikatakan bahwa banyak berita di media berseliweran soal konflik bersenjata yang terjadi di penjuru dunia. Peperangan akibat pemimpin yang serakah ini meninggalkan getir bagi korban perang yakni rakyat jelata. Konsep ini terbilang tidak biasa sebab berangkat dari luar kebiasaan atau tradisi Bali yang mengambil tatwa, itihasa atau kisah pewayangan, dan lainnya. Namun, kemasan dari konsep modern mengenai konflik geopolitik ini dibuat sangat tradisional dan bernapaskan sastra Hindu.
Ogoh-ogoh setinggi empat meter ini terdiri dari tiga bagian utama, yakni Bedawang Nala, ogoh-ogoh figuran, dan ogoh-ogoh utama. Ketiga bagian ini merepresentasikan dunia yang tengah dilanda konflik dan penderitaan akibat perang dan keserakahan. Jelas Epong, Bedawang Nala sesuai sastra Hindu merupakan simbol bumi yang ditumpu penyu raksasa dan didukung oleh sepasang naga. Bagian ini terletak paling bawah sebab menggambarkan bumi. Di atas Bedawang Nala terdapat sekitar enam ogoh-ogoh figuran berukuran kurang dari satu meter.
Keenam ogoh-ogoh figuran tersebut menggambarkan korban peperangan yang kehilangan rumah, nyawa, dan masa depan. Salah satu ogoh-ogoh figuran adalah ibu yang sedang menggendong bayi dengan penuh keletihan dan menahan getir demi sang buah hati. “Paling atas itu ada ogoh-ogoh utama berupa raksasa tanpa tangan dan kaki, memiliki empat tapel selain tapel utama dan ada tangan keluar dari kepala raksasa itu. Ada juga di perut raksasa itu bumi yang dicengkeram oleh perutnya,” tutur Epong.
Raksasa itu adalah simbol sosok pemimpin yang serakah. Ia bisa berkamuflase dalam berbagai paras (tapel) dan ekspresi untuk menyembunyikan sifat raksasanya. Sedangkan tanpa harus turun tangan dan kaki, lewat pemikiran dan akal bulus, ia bisa memorak-porandakan dunia. Sementara itu, bola dunia yang muncul dari perut raksasa adalah representasi sosok yang ingin menguasai dunia. Apapun akan dilakukan demi memenuhi nafsu dan keserakahan itu bahkan dengan mengorbankan rakyat dan kedamaian.
Selain mengusung filosofi yang sangat relevan dengan situasi terkini, sudah menjadi tradisi pula bagi ST Tunas Muda menggunakan material yang tidak biasa. Alih-alih memakai kertas dan kardus saja, ada empat kilogram irisan jeruk purut kering, satu kilogram kulit lamtoro dan tulang daun nangka, juga tujuh kilogram irisan batang anak pohon pisang yang diramu sedemikian rupa. “Sengaja memang kami pakai material itu karena beda, unik, dan tentunya cocok untuk tekstur ogoh-ogoh setelah melakukan try and error,” ungkap lulusan Desain Komunikasi Visual INSTIKI Bali ini.
Material tersebut diriset dan disesuaikan dengan posisi yang pas. Irisan jeruk purut kering misalnya digunakan sebagai sisik naga. Kemudian kulit biji lamtoro digunakan untuk tekstur perut naga. Sedangkan daun nangka yang sudah direndam dalam air rebusan dan digosok dengan sikat gigi sehingga menyisakan tulang daunnya digunakan untuk lapisan ogoh-ogoh figuran.
Untuk irisan batang anak pohon pisang ditempel terlebih dahulu di atas kertas cokelat dan ditunggu hingga mengering. Setelah itu, kertas dan irisan batang anak pohon pisang yang sudah mengerut dijadikan sebagai tekstur lapisan tempurung dan kaki penyu. Khusus untuk lapisan luar ogoh-ogoh utama bakal memakai cabai merah besar.
“Konstruksinya memang tidak ekstrem tetapi cukup rumit. Karena kami berencana membuat ogoh-ogoh figuran dan Bedawang Nala itu bergerak dengan bantuan mesin dan aki. Kerumitannya ada di sana,” tegas Epong membeberkan tantangan selama proses penggarapan.
Setelah rampung ogoh-ogoh dengan lebar dua meter kanan-kiri dan panjang 2,5 meter depan-belakang ini bakal seberat 700 kilogram. Sebab, pada bagian lowong antara Bedawang Nala dan panggung ogoh-ogoh figuran bakal dipasang paludarium alias akuarium dengan unsur kayu dan ikan. Epong menyebut tambahan paludarium ini hanya sebagai pemanis.
Sejauh ini dana yang sudah dihabiskan mencapai sedikitnya Rp 15 juta. Kata Epong, pengeluaran bisa membengkak hingga lebih dari Rp 30 juta apabila berkaca dari pengalaman tahun ke tahun sebelumnya. Epong pun cukup optimis bahwa pengerjaan Kali Citta Pralaya ini bisa rampung H-1 penilaian lomba ogoh-ogoh di Kecamatan Denpasar Selatan, yakni Rabu (8/3/2023) mendatang. Sebab, semua unsur ST Tunas Muda baik teruna maupun teruni terlibat mengerjakan.
“Kami sering bantu ketika menyiapkan tulang daun nangkanya. Ogoh-ogoh ini bukan saja milik teruna tetapi teruni juga karena kami satu keluarga besar ST Tunas Muda,” kata Saras Widyastuti,21, salah satu teruni yang membantu penggarapan. Senada, Epong menyebut penggarapan ogoh-ogoh ST Tunas Muda adalah untuk semua. Sebab, mulai dari teruni, teruna yang baru belajar membuat ogoh-ogoh, hingga yang sudah mahir memiliki ruangnya masing-masing.
Epong pun tidak terbebani status juara bertahan sebab menurutnya kaderisasi untuk anggota lebih diutamakan saat penggarapan ogoh-ogoh. Dari kegiatan semacam inilah calon pemimpin dan bakat-bakat baru anggota ST Tunas Muda ditemukan. “Ketika mengikuti lomba, target juara itu pasti ada. Namun yang lebih penting adalah bagaimana lewat kegiatan ini kami bisa bekerja sama, memperkuat team work, dan proses kaderisasi,” tandas Epong. *ol1
ST Tunas Muda merupakan juara bertahan kompetisi ogoh-ogoh se-Bali Kota Denpasar. Sejak tahun 2015, ST yang bermarkas di persimpangan Jalan Sidakarya dan Jalan Bedugul ini konsisten membuat action figure raksasa yang tidak biasa. Ketika kompetisi ogoh-ogoh ada, bermula pada tahun 2019, ST Tunas Muda konsisten menduduki podium tiga besar ogoh-ogoh se-Kota Denpasar.
Sang Bhuta Wingkara (2019) tentang neraka, Pangadangngadang (2020) soal siklus kehidupan, dan Gerubug (2022) berkenaan respons terhadap pandemi adalah sederet karya fenomenal. “Pada tahun ini, kami menyiapkan ogoh-ogoh yang sementara bertajuk Kali Citta Pralaya. Ogoh-ogoh ini adalah respons kami terhadap getirnya konflik peperangan dan keserakahan pemimpinnya,” ujar Ketua ST Tunas Muda, I Wayan Pageh Wedanta,24, di sela penggarapan ogoh-ogoh, Rabu (15/2/2023) malam.
Pemuda yang akrab disapa Epong ini mengaku konsep yang diangkat dicetuskan oleh maestro ogoh-ogoh ST Tunas Muda, yakni Made Putra alias Bobic. Dikatakan bahwa banyak berita di media berseliweran soal konflik bersenjata yang terjadi di penjuru dunia. Peperangan akibat pemimpin yang serakah ini meninggalkan getir bagi korban perang yakni rakyat jelata. Konsep ini terbilang tidak biasa sebab berangkat dari luar kebiasaan atau tradisi Bali yang mengambil tatwa, itihasa atau kisah pewayangan, dan lainnya. Namun, kemasan dari konsep modern mengenai konflik geopolitik ini dibuat sangat tradisional dan bernapaskan sastra Hindu.
Ogoh-ogoh setinggi empat meter ini terdiri dari tiga bagian utama, yakni Bedawang Nala, ogoh-ogoh figuran, dan ogoh-ogoh utama. Ketiga bagian ini merepresentasikan dunia yang tengah dilanda konflik dan penderitaan akibat perang dan keserakahan. Jelas Epong, Bedawang Nala sesuai sastra Hindu merupakan simbol bumi yang ditumpu penyu raksasa dan didukung oleh sepasang naga. Bagian ini terletak paling bawah sebab menggambarkan bumi. Di atas Bedawang Nala terdapat sekitar enam ogoh-ogoh figuran berukuran kurang dari satu meter.
Keenam ogoh-ogoh figuran tersebut menggambarkan korban peperangan yang kehilangan rumah, nyawa, dan masa depan. Salah satu ogoh-ogoh figuran adalah ibu yang sedang menggendong bayi dengan penuh keletihan dan menahan getir demi sang buah hati. “Paling atas itu ada ogoh-ogoh utama berupa raksasa tanpa tangan dan kaki, memiliki empat tapel selain tapel utama dan ada tangan keluar dari kepala raksasa itu. Ada juga di perut raksasa itu bumi yang dicengkeram oleh perutnya,” tutur Epong.
Raksasa itu adalah simbol sosok pemimpin yang serakah. Ia bisa berkamuflase dalam berbagai paras (tapel) dan ekspresi untuk menyembunyikan sifat raksasanya. Sedangkan tanpa harus turun tangan dan kaki, lewat pemikiran dan akal bulus, ia bisa memorak-porandakan dunia. Sementara itu, bola dunia yang muncul dari perut raksasa adalah representasi sosok yang ingin menguasai dunia. Apapun akan dilakukan demi memenuhi nafsu dan keserakahan itu bahkan dengan mengorbankan rakyat dan kedamaian.
Selain mengusung filosofi yang sangat relevan dengan situasi terkini, sudah menjadi tradisi pula bagi ST Tunas Muda menggunakan material yang tidak biasa. Alih-alih memakai kertas dan kardus saja, ada empat kilogram irisan jeruk purut kering, satu kilogram kulit lamtoro dan tulang daun nangka, juga tujuh kilogram irisan batang anak pohon pisang yang diramu sedemikian rupa. “Sengaja memang kami pakai material itu karena beda, unik, dan tentunya cocok untuk tekstur ogoh-ogoh setelah melakukan try and error,” ungkap lulusan Desain Komunikasi Visual INSTIKI Bali ini.
Material tersebut diriset dan disesuaikan dengan posisi yang pas. Irisan jeruk purut kering misalnya digunakan sebagai sisik naga. Kemudian kulit biji lamtoro digunakan untuk tekstur perut naga. Sedangkan daun nangka yang sudah direndam dalam air rebusan dan digosok dengan sikat gigi sehingga menyisakan tulang daunnya digunakan untuk lapisan ogoh-ogoh figuran.
Untuk irisan batang anak pohon pisang ditempel terlebih dahulu di atas kertas cokelat dan ditunggu hingga mengering. Setelah itu, kertas dan irisan batang anak pohon pisang yang sudah mengerut dijadikan sebagai tekstur lapisan tempurung dan kaki penyu. Khusus untuk lapisan luar ogoh-ogoh utama bakal memakai cabai merah besar.
“Konstruksinya memang tidak ekstrem tetapi cukup rumit. Karena kami berencana membuat ogoh-ogoh figuran dan Bedawang Nala itu bergerak dengan bantuan mesin dan aki. Kerumitannya ada di sana,” tegas Epong membeberkan tantangan selama proses penggarapan.
Setelah rampung ogoh-ogoh dengan lebar dua meter kanan-kiri dan panjang 2,5 meter depan-belakang ini bakal seberat 700 kilogram. Sebab, pada bagian lowong antara Bedawang Nala dan panggung ogoh-ogoh figuran bakal dipasang paludarium alias akuarium dengan unsur kayu dan ikan. Epong menyebut tambahan paludarium ini hanya sebagai pemanis.
Sejauh ini dana yang sudah dihabiskan mencapai sedikitnya Rp 15 juta. Kata Epong, pengeluaran bisa membengkak hingga lebih dari Rp 30 juta apabila berkaca dari pengalaman tahun ke tahun sebelumnya. Epong pun cukup optimis bahwa pengerjaan Kali Citta Pralaya ini bisa rampung H-1 penilaian lomba ogoh-ogoh di Kecamatan Denpasar Selatan, yakni Rabu (8/3/2023) mendatang. Sebab, semua unsur ST Tunas Muda baik teruna maupun teruni terlibat mengerjakan.
“Kami sering bantu ketika menyiapkan tulang daun nangkanya. Ogoh-ogoh ini bukan saja milik teruna tetapi teruni juga karena kami satu keluarga besar ST Tunas Muda,” kata Saras Widyastuti,21, salah satu teruni yang membantu penggarapan. Senada, Epong menyebut penggarapan ogoh-ogoh ST Tunas Muda adalah untuk semua. Sebab, mulai dari teruni, teruna yang baru belajar membuat ogoh-ogoh, hingga yang sudah mahir memiliki ruangnya masing-masing.
Epong pun tidak terbebani status juara bertahan sebab menurutnya kaderisasi untuk anggota lebih diutamakan saat penggarapan ogoh-ogoh. Dari kegiatan semacam inilah calon pemimpin dan bakat-bakat baru anggota ST Tunas Muda ditemukan. “Ketika mengikuti lomba, target juara itu pasti ada. Namun yang lebih penting adalah bagaimana lewat kegiatan ini kami bisa bekerja sama, memperkuat team work, dan proses kaderisasi,” tandas Epong. *ol1
Komentar