Tidak Boleh Melarang Anak-anak yang Ingin Ngayah
Kisah dan Sisi Lain Ritual Ngerebeg di Pura Duurbingin Tegallalang
Krama yang melarang anak ikut Ngerebeg bisa berdampak buruk bagi keselamatan sang anak. Demikian juga apabila ada yang meminta perlengkapan Ngerebeg, tidak boleh ditolak.
GIANYAR, NusaBali
Ritual Ngerebeg yang dilakukan serangkaian pujawali di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin, Desa Pakraman Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, setiap Buda Kliwon Pahang itu disebut-sebut melibatkan wong samar alias makhluk halus dan manusia untuk menyiapkan pujawali.
Ritual tersebut diperkirakan sudah berlangsung sejak Pura Duurbingin berdiri pada 1697 Saka atau 1775 Masehi. Ritual Ngerebeg di Pura Duurbingin ini sempat memudar karena perkembangan zaman. Tetapi srada krama kembali bangkit setelah ada kejadian di luar nalar pada sekitar tahun 1975.
Bendesa Adat Tegallalang I Made Kumarajaya, 65, menuturkan, pada kala itu jalan utama yang melalui Desa Pakraman Tegallalang sedang diperbaiki. Banyak truk konstruksi melintas di jalan tersebut, salah satunya mengangkut pasir.
“Kebetulan saat itu ada ritual Ngerebeg. Kemudian ada sopir truk iseng mematahkan senjata pangerebeg yang terbuat dari pelepah salak diikuti berbicara yang kurang etis,” ujar Kumara ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg.
Setelah mematahkan senjata pangerebeg, truk itu kembali melaju. Tidak berselang lama, truk tersebut terbalik, mematahkan tangan dan mencederai anggota gerak bawah si sopir. Menurut Kumara, sopir tersebut masih warga setempat dan baru berpulang belum lama ini.
Sementara sumber lain yang ditemui NusaBali.com pada kesempatan yang sama, menyebutkan bahwa pangerebeg yang senjatanya dipatahkan mungkin bukan manusia. Melainkan wong samar yang meniru rupa warga setempat.
Sebab, pada saat truk itu kembali melaju, si bocah pangerebeg yang dipatahkan senjatanya ini berbicara seperti menyumpahi.
“Madak pang lung limané ané ngeleg to! (Kusumpahi orang yang mematahkan itu tangannya patah!),” begitu kata sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya, menirukan kata-kata pangerebeg.
Sejak peristiwa itu, kepercayaan krama terhadap ritual Ngerebeg kembali bangkit. Partisipasinya pun kembali meningkat.
Ritual Ngerebeg ini iikuti oleh hampir semua kalangan mulai siswa PAUD hingga yowana (pemuda). Anak-anak balita pun tidak ketinggalan meskipun tidak merias tubuh sebagaimana pangerebeg utama. Anak-anak balita ini ikut sekadar merias wajah saja.
Ada alasan mengapa anak-anak balita pun ikut Ngerebeg. Terdapat kepercayaan di masyarakat bahwa krama tidak boleh melarang anak mereka apabila sudah mengucapkan keinginan untuk ngayah Ngerebeg. Sebab sekali lagi, yang mengucapkan keinginan untuk terlibat Ngerebeg mungkin bukan anak mereka sendiri namun hanya menyerupai.
Krama yang melarang keterlibatan anak mereka Ngerebeg bisa berdampak buruk bagi keselamatan sang anak. Bahkan ada kisah, krama yang melarang anak ikut Ngerebeg, mendapati anaknya mengalami sakit-sakitan dan akhirnya memohon pengampunan dan tamba ke Pura Duurbingin.
Sama halnya tidak boleh melarang anak untuk ngayah Ngerebeg, apabila ada yang meminta perlengkapan Ngerebeg pun tidak boleh ditolak.
Seperti diketahui, yang mempersiapkan pujawali di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin bukan saja manusia melainkan dibantu wong samar. Oleh karena itu, yang meminta keperluan Ngerebeg mungkin bukan saja manusia krama Tegallalang.
Oleh sebab itu, apabila ditolak maka akan berdampak buruk bagi si pemilik sarana Ngerebeg. Misalnya ada yang meminta daun ataupun pelepah salak dan kelengkapan upacara lainnya. Jika ditolak, tumbuhan yang ditanam krama bisa saja mati atau membusuk seketika dan akhirnya tidak menguntungkan si pemilik.
Yang dilihat krama mungkin saja berwujud manusia biasa. Akan tetapi, krama tidak bisa membedakan mana yang benar-benar manusia dan mana yang hanya menyerupai.
Sementara itu, seiring perkembangan zaman, kreativitas dan inovasi yang dilakukan warga terhadap atribut Ngerebeg sempat ke luar dari jalur.
Pangerebeg sempat memakai atribut seperti pakaian sekolah dan tapel untuk menambah daya tarik. Adapula yang menggunakan senjata selain pelepah salak dan enau.
Manggala Pangempon Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin I Nyoman Gede Artawan, 57, menjelaskan bahwa hal tersebut sudah melenceng dari dresta. Oleh karena itu, atribut yang ke luar jalur akibat perkembangan zaman dan pengaruh ritual Ngerebeg sebagai atraksi wisata ini ditata kembali.
“Hal itu sudah melenceng dari dresta dan etika yang berlaku. Makanya kami tertibkan agar tidak menggunakan selain atribut yang sudah diwariskan turun temurun,” tutur Artawan ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg pada Rabu (8/2/2023) siang.
Selain itu, masih berkaitan dengan atribut pangerebegan, segala atributnya tidak boleh dibuang maupun dibakar. Atribut dan pecahan atribut yang berserakan di jalan yang dilintasi pangerebeg juga harus dipungut dan dibawa kembali ke palak pura.
Atribut berupa senjata dan hiasan dari tumbuh-tumbuhan itu diletakkan di sekitar palak pura hingga rangkaian pujawali di Pura Duurbingin selesai. *ol1
Ritual tersebut diperkirakan sudah berlangsung sejak Pura Duurbingin berdiri pada 1697 Saka atau 1775 Masehi. Ritual Ngerebeg di Pura Duurbingin ini sempat memudar karena perkembangan zaman. Tetapi srada krama kembali bangkit setelah ada kejadian di luar nalar pada sekitar tahun 1975.
Bendesa Adat Tegallalang I Made Kumarajaya, 65, menuturkan, pada kala itu jalan utama yang melalui Desa Pakraman Tegallalang sedang diperbaiki. Banyak truk konstruksi melintas di jalan tersebut, salah satunya mengangkut pasir.
“Kebetulan saat itu ada ritual Ngerebeg. Kemudian ada sopir truk iseng mematahkan senjata pangerebeg yang terbuat dari pelepah salak diikuti berbicara yang kurang etis,” ujar Kumara ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg.
Setelah mematahkan senjata pangerebeg, truk itu kembali melaju. Tidak berselang lama, truk tersebut terbalik, mematahkan tangan dan mencederai anggota gerak bawah si sopir. Menurut Kumara, sopir tersebut masih warga setempat dan baru berpulang belum lama ini.
Sementara sumber lain yang ditemui NusaBali.com pada kesempatan yang sama, menyebutkan bahwa pangerebeg yang senjatanya dipatahkan mungkin bukan manusia. Melainkan wong samar yang meniru rupa warga setempat.
Sebab, pada saat truk itu kembali melaju, si bocah pangerebeg yang dipatahkan senjatanya ini berbicara seperti menyumpahi.
“Madak pang lung limané ané ngeleg to! (Kusumpahi orang yang mematahkan itu tangannya patah!),” begitu kata sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya, menirukan kata-kata pangerebeg.
Sejak peristiwa itu, kepercayaan krama terhadap ritual Ngerebeg kembali bangkit. Partisipasinya pun kembali meningkat.
Ritual Ngerebeg ini iikuti oleh hampir semua kalangan mulai siswa PAUD hingga yowana (pemuda). Anak-anak balita pun tidak ketinggalan meskipun tidak merias tubuh sebagaimana pangerebeg utama. Anak-anak balita ini ikut sekadar merias wajah saja.
Ada alasan mengapa anak-anak balita pun ikut Ngerebeg. Terdapat kepercayaan di masyarakat bahwa krama tidak boleh melarang anak mereka apabila sudah mengucapkan keinginan untuk ngayah Ngerebeg. Sebab sekali lagi, yang mengucapkan keinginan untuk terlibat Ngerebeg mungkin bukan anak mereka sendiri namun hanya menyerupai.
Krama yang melarang keterlibatan anak mereka Ngerebeg bisa berdampak buruk bagi keselamatan sang anak. Bahkan ada kisah, krama yang melarang anak ikut Ngerebeg, mendapati anaknya mengalami sakit-sakitan dan akhirnya memohon pengampunan dan tamba ke Pura Duurbingin.
Sama halnya tidak boleh melarang anak untuk ngayah Ngerebeg, apabila ada yang meminta perlengkapan Ngerebeg pun tidak boleh ditolak.
Seperti diketahui, yang mempersiapkan pujawali di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin bukan saja manusia melainkan dibantu wong samar. Oleh karena itu, yang meminta keperluan Ngerebeg mungkin bukan saja manusia krama Tegallalang.
Oleh sebab itu, apabila ditolak maka akan berdampak buruk bagi si pemilik sarana Ngerebeg. Misalnya ada yang meminta daun ataupun pelepah salak dan kelengkapan upacara lainnya. Jika ditolak, tumbuhan yang ditanam krama bisa saja mati atau membusuk seketika dan akhirnya tidak menguntungkan si pemilik.
Yang dilihat krama mungkin saja berwujud manusia biasa. Akan tetapi, krama tidak bisa membedakan mana yang benar-benar manusia dan mana yang hanya menyerupai.
Sementara itu, seiring perkembangan zaman, kreativitas dan inovasi yang dilakukan warga terhadap atribut Ngerebeg sempat ke luar dari jalur.
Pangerebeg sempat memakai atribut seperti pakaian sekolah dan tapel untuk menambah daya tarik. Adapula yang menggunakan senjata selain pelepah salak dan enau.
Manggala Pangempon Pura Kahyangan Jagat Penataran Duurbingin I Nyoman Gede Artawan, 57, menjelaskan bahwa hal tersebut sudah melenceng dari dresta. Oleh karena itu, atribut yang ke luar jalur akibat perkembangan zaman dan pengaruh ritual Ngerebeg sebagai atraksi wisata ini ditata kembali.
“Hal itu sudah melenceng dari dresta dan etika yang berlaku. Makanya kami tertibkan agar tidak menggunakan selain atribut yang sudah diwariskan turun temurun,” tutur Artawan ketika dijumpai di sela ritual Ngerebeg pada Rabu (8/2/2023) siang.
Selain itu, masih berkaitan dengan atribut pangerebegan, segala atributnya tidak boleh dibuang maupun dibakar. Atribut dan pecahan atribut yang berserakan di jalan yang dilintasi pangerebeg juga harus dipungut dan dibawa kembali ke palak pura.
Atribut berupa senjata dan hiasan dari tumbuh-tumbuhan itu diletakkan di sekitar palak pura hingga rangkaian pujawali di Pura Duurbingin selesai. *ol1
1
Komentar