Prof Budiarsa: Bahasa Bali Kekuatan Budaya untuk Keberlangsungan Pariwisata
DENPASAR, NusaBali.com – Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya. Dengan mengakomodasi bahasa lokal, budaya itu sendiri bisa dipertahankan keberlangsungannya.
Pernyataan ini disampaikan oleh Prof Dr Made Budiarsa MA, seorang akademisi dan juga Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL) Pusat.
Pariwisata memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, industri ini bisa menyediakan lapangan pekerjaan. Di lain sisi, keberlangsungan budaya setempat menjadi pertaruhan.
Dampak negatif pariwisata memang tidak bisa dianggap remeh. Sebab, wilayah yang terindustrialisasi karena pariwisata memiliki tingkat integrasi internasional lebih tinggi.
Maknanya, gempuran pengaruh budaya luar semakin deras. Salah satunya adalah semakin banyak individu dari luar budaya diajak berinteraksi. Akibatnya, salah satu tuntutan lingkungan adalah penggunaan bahasa internasional.
“Bali ini kan pariwisata budaya. Pariwisata budaya itu harus mengakomodasi bahasa-bahasa lokal. Berdasarkan bahasa lokal, budaya ini bisa bertahan,” tegas Prof Budiarsa ketika dijumpai dalam sebuah kesempatan di Denpasar baru-baru ini.
Purnabakti akademisi FIB Universitas Udayana ini menekankan bahwa bahasa lokal adalah titik awal seorang individu mempelajari ilmu pengetahuan. Bahasa pertama yang dikenal saat lahir akan menjadi identitas dan kedekatan psikologis seseorang terhadap budaya dari bahasa itu.
Ketika orang Bali sendiri menganggap remeh penguasaan Bahasa Bali maka saat itu pulalah budaya dan pariwisata ini menemui bibit keambrukan. Sebab, bahasa adalah pintu masuk mempelajari budaya asal bahasa itu.
“Jadi kalau penuturnya meninggalkan bahasa lokal, terus hanya mementingkan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, ya ini (pariwisata) akan ambruk,” beber Prof Budiarsa.
Apabila dipertanyakan, apa yang menyebabkan pariwisata Bali ajeg sejak dirintis pada tahun 1924? Apa yang membuat orang yang sama bulak-balik ke Bali? Sedangkan sebagian dari orang Bali menyebut Pulau Dewata itu ‘to to dogen’ alias ‘gitu-gitu aja’.
Jawabannya cukup sederhana yakni karena pariwisata Bali memiliki karakteristik. Orang-orang itu bolak-balik ke Bali itu lantaran mereka tidak menemukan apa yang mereka temukan di Bali di tempat lain.
Faktor yang memunculkan karakteristik pariwisata ini adalah budaya. Sebab, pusat dan kepemilikan budaya cenderung terlokalisasi di suatu wilayah termasuk bahasanya. Selama ini, budaya Bali yang mengilhami denyut pariwisata di Pulau Dewata.
“Pariwisata itu membutuhkan karakteristik sehingga mampu berkembang lain daripada negara-negara lain di dunia. Bahasa lokal itu sebagai penguat karakter dan penciri hidup,” tandas Direktur Pasca Sarjana IPB Internasional ini. *rat
Komentar