Tradisi ‘Siat Api’ di Desa Adat Duda, Dipercaya sebagai Upacara Pembersihan Sekala dan Niskala
AMLAPURA, NusaBali.com – Tradisi Siat Api (perang api, Red) merupakan warisan turun- temurun Desa Adat Duda, Selat Karangasem. Tahun ini, tradisi unik ini kembali digelar pada Redite Umanis Meraki, Minggu (19/2/2023) petang.
Tradisi siat api ini merupakan upacara pembersihan sekala dan niskala di Desa Adat Duda dalam rangka pelaksanaan upacara besar sakral yaitu upacara Usaba Dalem yang lebih dikenal dengan Upacara Dodol.
Jero Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana menjelaskan, tradisi siat api ini sebelumnya pernah dilaksanakan pada tahun 1963, 2014 sampai 2019, dan dilanjutkan lagi pada tahun 2022. Pada tahun 1963, perang siat api ini sempat dihentikan karena Gunung Agung meletus dan juga akibat adanya masalah politik.
Tradisi Siat Api kembali dibangkitkan sejak 2014. “Namun pada tahun 2020 dan 2021 tradisi ini kembali dihentikan karena pandemi Covid-19,” ujar Komang Sujana saat ditemui di sela-sela kegiatan pada Minggu (19/2/2023) malam.
Ia menjelaskan, sebelum dilangsungkan tradisi ini terjadi sebuah ketimpangan di desanya. Namun setelah tradisi ini kembali diselenggarakan pada tahun 2014, Desa Adat Duda kembali tenang, tenteram baik dari segi ekonomi, mata pencaharian sampai sosial budaya yang meningkat.
Lanjut Komang Sujana, dari aspek pelaksanaan yadnya, siat api adalah yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Duda yang diyakini berfungsi untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup warga Desa Adat Duda.
Proses prosesi tradisi siat api ini, menurut Komang Sujana seluruh krama Desa Adat Duda lebih dulu menggelar upacara ngulah kala (mengusir bhuta kala, Red) di rumah masing-masing.
Selanjutnya, danyung atau prakpak (daun kelapa kering yang di ikat, Red) disulung api yang ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh bhuta kala keluar dari pekarang rumah masing-masing krama, maka selanjutnya dinetralisir di wawidangan Desa Adat Duda melalui ritual siat api.
Pelaksanaan tradisi yang dimulai pada pukul 18.00 Wita tepat saat sandyakala (sore hari menjelang malam, Red) yang diiringi oleh tabuh baleganjur bertempat di perbatasan Desa Duda Timur dengan Desa Duda yakni di atas Jembatan Tukad Sangsang.
Namun, ada yang berbeda dalam pelaksanaan tradisi ini, dimana sebelum tradisi itu dilaksanakan terlebih dahulu diawali dengan pementasan fragmentari yang menceritakan tentang filosofi dari tradisi siat api itu sendiri.
“Biar ada sedikit inovatif di samping kegiatan tradisi supaya ada kolaborasi atau unsur seni bisa kita masukkan tanpa mengurangi makna tradisi sakral siat api,” tutur pria berkumis tipis itu.
Krama atau para peserta siap api yakni dari krama laki-laki asal Desa Adat Duda, diikuti dari Pecalang, Sabha Yowana se-Desa Adat Duda. Krama tersebut berasal dari 27 banjar adat di dua desa dinas (Desa Duda dan Desa Duda Timur).
Kata, Komang Sujana, ada total sekitar 40 krama terpilih yang dibagi menjadi dua pasukan, yaitu kelompok timur dan barat. Pasukan Siat Api kelompok timur yang dipimpin langsung oleh Perbekel Desa Duda Timur, I Gede Pawana. Kelompok Barat yang dipimpin oleh I Gusti Agung Ngurah Agung selaku Pemucuk Saba Desa Adat Duda serta Tradisi siat api tersebut yang diwasiti oleh Jero Bendesa Adat Duda.
Sarana yang digunakan untuk Siat Api yakni prakpak yang di ikat lalu disulut api dan selanjutnya saling pukul antar krama yang sebelumnya sudah dibagi ke dalam dua kelompok, yang dibedakan dengan ikat kepala yaitu berwarna poleng dan merah. Percikan api itu lalu akan menyembur setelah timbul dari pukulan prakpak sehingga akan memberikan noda hitam di bagian punggung bekas arang dari prakpak tanpa rasa sakit.
“Sangat antusias, ribuan krama hadir dan mendukung tradisi ini. Semoga tradisi ini akan ajeg di Desa Adat Duda tentu bertujuan agar desa ini tenteram dan damai dalam melaksanakan kegiatan kehuripan kami,” harap Komang Sujana.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu krama yang mengikuti tradisi siat api, I Made Edi Wirawan, 45, mengatakan dirinya telah terlibat di dalam tradisi tersebut sebanyak 4 kali berturut-turut. Ia menerangkan, sebelum krama melakukan tradisi siat api, mereka terlebih dahulu muspa (sembahyang, Red) ke Pura Dalem Desa Adat Duda.
“Di sana kita meyakinkan bahwa ketika kita melaksanakan siat api ini adalah berkah buat kita. Kita yakini tidak akan membuat kulit kita terkelupas karena api,” terang pria yang akrab di sapa Jon Kui ini.
Berakhirnya siat api, para krama mendapat penglukatan (pensucian, Red) dan para peserta tidak diperkenankan menyimpan rasa dendam. Setelah permainan selesai semua peserta menuju Pura Puseh melakukan persembahyangan bersama memohon keselamatan kepada Ida Bhatara di Pura Puseh. Setelah itu dilanjutkan dengan meprani yaitu para peserta makan bersama.
“Ketika siat api dilaksanakan kita seolah-olah sebagai musuh namun ketika selesai kita kembali menjadi seorang saudara. Maka dari itu kita berpelukan satu sama lain,” tutur pria yang juga sebagai Ketua Saba Yowana Desa Adat Duda.
Sebagai informasi tambahan, pada tradisi siat api pun para krama yang mengikuti tradisi ini memiliki pantangan tersendiri. Yakni tidak dalam kondisi cuntaka. Dalam tradisi di Bali umumnya dalam keadaan cuntaka atau kesebelan tidak dibenarkan masuk ke tempat suci atau melakukan aktivitas yang berhubungan dengan kesucian (upacara) kesakralan.
“Kriteria umur tidak boleh di bawah 15 tahun. Tidak boleh cuntaka, dalam arti ada kesebelan seperti keluarga meninggal jadi harus betul-betul bersih. Pada tradisi ini juga tidak ada menang kalah karena ini euforia bentuk syukur kita di Desa Adat Duda,” pungkasnya. *ris
1
Komentar