Abadikan Seluruh Karya dalam Bingkai
Gedong Daja sebagai tempat Nyoman Manda mengolah imajinasinya dipenuhi dengan dokumentasi karya sastra yang berjejer rapi.
Setiap hasil karya sastra yang ia bukukan, sampulnya ia bingkai. Itu dilakukan supaya mudah mengenang setiap coretan yang ia rangkai menjadi puisi, cerpen, dan novel. Baginya dokumentasi itu penting. Terutama untuk meringankan ingatannya yang kini mulai melemah. “Setiap saya lihat bingkai ini di dinding, saya pasti ingat kapan saya menulis,” kenangnya saat ditemui di kediamannya, Pondok Tebawutu, Gianyar, belum lama ini.
Seluruh dinding kamar Gedong Daja tempatnya berkarya nampaknya tak ada lagi ruang untuk menambahkan dokumentasi lainnya. Saking banyaknya buku dan penghargaan yang ia raih, beberapa harus diletakkan begitu saja. Manda mengenang kembali riwayatnya menulis pada dinding itu. “Novel Nembang Sayang ini terbit tahun 2007, mengisahkan tentang kehidupan anak remaja SMA. Kisah ini terinspirasi perilaku siswa ketika saya jadi kepala sekolah,” terangnya.
Kisah dalam Novel Nembang Sayang ini pun dilanjutkan dalam Novel Ngabih Kasih di Pasisi Lebih akan diterbitkan pada tahun 2008. Tema pendidikan, adat istiadat, budaya lokal selalu menjadi pilihan utama dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan latar belakang Manda sebagai seorang pendidik. Cerpennya yang berjudul ‘Guru Made’ mengisahkan tentang kisah hidup dan pengabdian seorang guru.
Cerpen ini sarat nilai-nilai pendidikan, mengisahkan kehidupan Guru Made yang bekerja keras menghidupi keluarga serta menyekolahkan anak-anaknya. Ia berusaha mencari penghasilan tambahan dengan membantu istrinya berjualan di pasar setelah mengajar. Pekerjaan tambahan dijalani karena gaji sebagai guru dirasakan kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan ia tetap mengabdi dan mendidik murid-muridnya untuk menjadi sukses. Pada Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 1995 cerpen ini mendapatkan juara pertama dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Bali.
Manda juga mengembangkan tema penulisannya pada bidang pariwisata. Ia sadar perkembangan pariwisata di Bali bisa diangkat menjadi sebuah karya yang menarik. Cerpennya yang berjudul ‘Togog’ dan dalam buku kumpulan cerpen Helikopter sarat akan nilai-nilai pariwisata. Cerpen ‘Togog’ mendapatkan juara kedua dalam sayembara mengarang cerpen Bali yang diadakan Balai Bahasa Singaraja tahun 1977. Manda juga menulis kumpulan cerpen yang mengisahkan pengeboman di Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 yang meluluhlantahkan pariwisata di Bali. Kumpulan cerpen ini ditulis dalam tiga bahasa.
Dalam bahasa Bali, cerpen ini berjudul ‘Laraning Carita Ring Kuta’, dalam bahasa Inggris berjudul ‘Our Sorrow in Kuta’, dan dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Duka Kita di Kuta’. Pada tahun 2008, Manda menulis novel berlatar peristiwa pengeboman tersebut. Judulnya ‘Depang Tiang Bajang Kayang-kayang’ mengungkapkan tekad masyarakat Bali untuk bangkit kembali membangun pariwisata yang tengah terpuruk.
Ide-ide tentang keagamaan yang erat dengan kehidupan umat Hindu juga menjadi pilihan dalam berkarya. Karya ini dapat dilihat dalam drama ‘Masan Cengkehe Mabunga’ yang mengisahkan tentang kehidupan petani cengkih di desa di Kayuamba, Kintamani, Bangli. Karya ini mengungkapkan karmaphala merupakan pedoman umat Hindu dalam menjalani kehidupan karena apapun yang diperbuat pasti akan ada hasilnya. Drama ini memenangkan juara pertama pada sayembara penulisan drama yang diadakan Listibiya Bali pada tahun 1978.
Kumpulan puisi berjudul ‘Mara-mara’ juga sarat nilai-nilai keagamaan. “Masih sangat banyak novel yang saya ciptakan. Klik saja blog nama saya, pasti muncul. Mahasiswa yang bertandang ke sini juga saya sarankan demikian, supaya tidak jauh-jauh datang dari Singaraja ke Gianyar. Di blog sudah lengkap adanya,” terang Manda. *nvi
Seluruh dinding kamar Gedong Daja tempatnya berkarya nampaknya tak ada lagi ruang untuk menambahkan dokumentasi lainnya. Saking banyaknya buku dan penghargaan yang ia raih, beberapa harus diletakkan begitu saja. Manda mengenang kembali riwayatnya menulis pada dinding itu. “Novel Nembang Sayang ini terbit tahun 2007, mengisahkan tentang kehidupan anak remaja SMA. Kisah ini terinspirasi perilaku siswa ketika saya jadi kepala sekolah,” terangnya.
Kisah dalam Novel Nembang Sayang ini pun dilanjutkan dalam Novel Ngabih Kasih di Pasisi Lebih akan diterbitkan pada tahun 2008. Tema pendidikan, adat istiadat, budaya lokal selalu menjadi pilihan utama dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan latar belakang Manda sebagai seorang pendidik. Cerpennya yang berjudul ‘Guru Made’ mengisahkan tentang kisah hidup dan pengabdian seorang guru.
Cerpen ini sarat nilai-nilai pendidikan, mengisahkan kehidupan Guru Made yang bekerja keras menghidupi keluarga serta menyekolahkan anak-anaknya. Ia berusaha mencari penghasilan tambahan dengan membantu istrinya berjualan di pasar setelah mengajar. Pekerjaan tambahan dijalani karena gaji sebagai guru dirasakan kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan ia tetap mengabdi dan mendidik murid-muridnya untuk menjadi sukses. Pada Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 1995 cerpen ini mendapatkan juara pertama dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Bali.
Manda juga mengembangkan tema penulisannya pada bidang pariwisata. Ia sadar perkembangan pariwisata di Bali bisa diangkat menjadi sebuah karya yang menarik. Cerpennya yang berjudul ‘Togog’ dan dalam buku kumpulan cerpen Helikopter sarat akan nilai-nilai pariwisata. Cerpen ‘Togog’ mendapatkan juara kedua dalam sayembara mengarang cerpen Bali yang diadakan Balai Bahasa Singaraja tahun 1977. Manda juga menulis kumpulan cerpen yang mengisahkan pengeboman di Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 yang meluluhlantahkan pariwisata di Bali. Kumpulan cerpen ini ditulis dalam tiga bahasa.
Dalam bahasa Bali, cerpen ini berjudul ‘Laraning Carita Ring Kuta’, dalam bahasa Inggris berjudul ‘Our Sorrow in Kuta’, dan dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Duka Kita di Kuta’. Pada tahun 2008, Manda menulis novel berlatar peristiwa pengeboman tersebut. Judulnya ‘Depang Tiang Bajang Kayang-kayang’ mengungkapkan tekad masyarakat Bali untuk bangkit kembali membangun pariwisata yang tengah terpuruk.
Ide-ide tentang keagamaan yang erat dengan kehidupan umat Hindu juga menjadi pilihan dalam berkarya. Karya ini dapat dilihat dalam drama ‘Masan Cengkehe Mabunga’ yang mengisahkan tentang kehidupan petani cengkih di desa di Kayuamba, Kintamani, Bangli. Karya ini mengungkapkan karmaphala merupakan pedoman umat Hindu dalam menjalani kehidupan karena apapun yang diperbuat pasti akan ada hasilnya. Drama ini memenangkan juara pertama pada sayembara penulisan drama yang diadakan Listibiya Bali pada tahun 1978.
Kumpulan puisi berjudul ‘Mara-mara’ juga sarat nilai-nilai keagamaan. “Masih sangat banyak novel yang saya ciptakan. Klik saja blog nama saya, pasti muncul. Mahasiswa yang bertandang ke sini juga saya sarankan demikian, supaya tidak jauh-jauh datang dari Singaraja ke Gianyar. Di blog sudah lengkap adanya,” terang Manda. *nvi
1
Komentar