Ngelawar Itu Harus
PAGI Penampahan Galungan, Wayan Lonod berdiri di ujung gang rumahnya. Pensiunan itu celingak-celinguk, bercelana pendek, komat-kamit, kadang menggerutu.
Tak jelas yang dia ucapkan, gelagatnya seperti orang gelisah, tak sabar menunggu. Rekannya sebaya, Ketut Aget, warga satu banjar, pensiunan juga, kebetulan lewat, lagi jalan pagi. Tentu Aget heran menyaksikan Lonod seperti orang uring-uringan.
“Jam segini belum juga datang.” “Siapa?”
“Itu, yang janji mengantar daging babi, buat lawar.”
“Kamu masih suka ngelawar, Lon? Setua ini kamu masih suka menyantap lawar? Jaga kesehatan, lawar tak bagus buat lansia. Bikin tensi, kolesterol, dan asam urat naik.”
“Ngelawar buat aku dan keluarga itu harus, Tut. Ini pesan leluhur, warisan suci. Berani melanggar, kutukan risikonya.”
Ketut Aget tertawa terbahak-bahak. “Alasan saja,” ujarnya terus terkekeh.
“Lho, serius, kakek dan ayahku berpesan, jika Penampahan Galungan usahakan sebisa-bisanya keluarga kita harus ngelawar. Harus ada bunyi talenan tek… tek… tek… karena daging dicincang dan sayur dipotong-potong.”
Lonod menjelaskan, jika hari-hari menjelang Galungan, para leluhur datang ke bumi, mengunjungi anak-cucu-cicit mereka. Tentu mereka lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Nah, jika melihat keturunan mereka ngelawar, mereka senang, minta disuguhi adonan daging dicincang dicampur sayur itu. Mereka akan menyantap lawar bersama kita. “Karena itulah, ngelawar itu bagi orang Bali, harus, Tut.”
Ngelawar, membuat lawar, menjadi kegiatan menyuguhkan kuliner jika hari raya dan hari-hari suci di tempat ibadah. Kegiatan ini melibatkan banyak orang, repot, tapi dilakoni penuh kegembiraan. Lambat laun, tidak hanya hari seperti odalan orang-orang ngelawar, juga hari-hari penting seperti pernikahan atau ngaben. Lawar menjadi suguhan pasti hadir di setiap upacara adat dan keagamaan. “Tidak ngelawar, tak seru. Ngelawar itu harus,” ujar mereka.
Dulu, ketika listrik belum menyala di seluruh kampung di Bali, sebelum 1990-an, ngelawar merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu. Karena kadang-kadang saja lawar hadir, adonan ini menjadi sangat lezat dan disantap penuh nikmat. Sekarang lawar bisa dinikmati kapan saja, dijual banyak warung. Tentu, ada yang enak, kebanyakan tidak lezat, sehingga menjadi suguhan lawar asal-asalan. Yang begini disebut lawar asal jadi.
Banyak pendapat muncul, jika hendak menikmati lawar yang sesungguhnya, rasakanlah lawar yang dibuat ketika hari-hari raya dan hari suci itu. “Pasti lezat,” komentar banyak orang. Alasan mereka, karena lawar itu dibuat penuh kegembiraan, rasanya pun jadi riang gembira. Jika ada anak-anak muda ngelawar menjelang mengarak ogoh-ogoh saat pangerupukan, rasanya pun jadi lezat bukan main. “Karena ya itu, dibuat dengan hepi,” ujar mereka.
Banyak komunitas acap kali menggelar kegiatan ngelawar sebagai upaya menjaga terus kebersamaan. Ada yang menyelenggarakan reuni dengan ngelawar. “Ingat ya, kamu harus datang, kita ngelawar,” ujar mereka bersahut-sahutan di grup WA. Karena beberapa anggota grup bukan orang Bali, tidak pemeluk Hindu, mereka pun ngelawar ayam atau bebek. Tapi, menurut mereka, rasanya tidak selezat lawar babi. Ngelawar pun menjadi identitas, ciri. Mahasiswa-mahasiswa Bali di perantauan acap kumpul-kumpul ngelawar.
Hari itu, Lonod akhirnya ngelawar, meski telat. Ia haturkan sejumput lawar-lawar itu di merajan, di depan pintu gerbang rumah, juga di dapur. Ia sangat yakin, ayah, kakek, dan buyutnya bersama para leluhur, pasti datang menikmati sari-sari lawar itu.
Ia juga mengantar lawar ke rumah temannya, Ketut Aget. “Makanlah, sedikit gak apa-apa. Jangan kebanyakan, bisa sakit. Makanya kubawakan kamu sedikit saja, Tut.”
Ketut Aget tersenyum-senyum, langsung mencicipi lawar olahan temannya yang ditaburi berambang goreng, dicampur limau, aromanya pun sedap dan gurih.
“Bagaimana? Kanggoang, seadanya.”
“Enak… enak… enak,” komentar Aget mengacungkan jempol. Ia pun foto selfi. “Mau kuposting nanti di medsos, biar teman-teman kita ngiler.” *
Aryantha Soethama
1
Komentar