Uniknya Upacara Ngaben 'Ngangkid' di Desa Adat Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng
Prosesi Pemanggilan Atma Dilakukan di Sungai Pengangkidan
Dalam prosesi awal ngangkid, keluarga akan nyurat (menuliskan) lau-lau yang diumpamakan sebagai KTP (Kartu Tanda Penduduk) orang yang akan diabenkan.
SINGARAJA, NusaBali
Ratusan krama Dadia Yos Bukit Anyar, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, berjalan beriringan menuju Sungai Pengangkidan yang ada di lembah desa pada Soma Wage Tambir, Senin (27/2) pagi. Iring-iringan banten diikuti 10 adegan mendiang krama yang telah meninggal dunia, siap untuk mengikuti rangkaian Upacara Ngangkid atau Ngaben.
Tradisi ngaben di salah satu desa Bali Aga di Buleleng ini memang berbeda dari tatanan upacara ngaben pada umumnya. Secara turun temurun upacara ngaben hanya bisa dilakukan setiap lima tahun sekali. Perhitungan dewasa ayu (hari baik) ngangkid ini pun sesuai dengan lelintihan putaran karya di desa adat. Upacara ngangkid baru bisa dilaksanakan setelah tidak ada lagi upacara Dewa Yadnya di kahyangan tiga dan pura yang ada di wewidangan desa adat.
Saat tiba waktu tersebut, krama desa hanya diberikan waktu selama enam bulan untuk melaksanakan upacara ngangkid sanak saudara yang telah meninggal dunia. Kelian Desa Adat Pedawa, Wayan Sudiastika ditemui di sekitar Sungai Pengangkidan, Senin kemarin menjelaskan proses upacara ngaben di Desa Pedawa tidak menggunakan bade ataupun lembu. Seorang krama yang meninggal dunia hanya dikuburkan di setra setempat. Keluarga yang berduka hanya menyiapkan sesajen banten punjung sebanyak 3 buah dilengkapi dengan dupa yang tidak dinyalakan.
Keluarga inti kemudian mengunjungi kuburan mendiang selama tiga hari dengan banten yang sama, kemudian menjalani cuntaka selama 42 hari. “Di adat kami tidak mengenal upacara makingsan ring gni atau kremasi. Kalau ada yang meninggal dikubur saja, kemudian saat upacara ngangkid juga tidak ada prosesi pengambilan jasad, tulang atau tanah di kuburan. Mendiang hanya diwujudkan dengan adegan (simbolis tubuh manusia dalam bentuk sarana upakara),” jelas Sudiastika.
Hanya saja dalam prosesi awal ngangkid, keluarga akan nyurat (menuliskan) lau-lau. Lau-lau ini diumpamakan sebagai KTP (Kartu Tanda Penduduk) orang yang akan diabenkan. Lau-lau terbuat dari daun lontar yang dituliskan nama mendiang dan doa-doa kepada para dewa untuk kelancaran menuju nirwana. Lau-lau ini bertuliskan aksara Bali dan dibuat di sanggah kemulan. Kemudian lau-lau akan ditempatkan di adegan mendiang berdampingan dengan foto semasa hidupnya.
Lalu setelah siap akan dilaksanakan upacara ngangkid di Sungai Pengangkidan. Dalam prosesi ini atma (roh) mendiang akan dipanggil oleh balian desa (orang pintar). Pemanggilan roh ini dilakukan melalui aliran air sungai yang dibendung, melalui proses magis. Balian desa akan merapalkan mantra dan membendung air dengan batang pisang untuk proses pemanggilan roh mendiang yang akan diabenkan. Pada saat air sungai dibendung, seluruh area dikeramatkan. Pantang bagi krama untuk melakukan aktivitas di sungai yang sudah dibendung itu, karena diyakini akan mendatangkan petaka.
“Aliran Sungai Pengangkidan ini memang disucikan, terutama saat upacara pengangkidan. Tetapi pembendungan ini tidak lama, hanya beberapa jam saja saat upacara pemanggilan roh dilakukan. Setelah itu sudah kembali dimanfaatkan untuk mandi, mencuci dan lain-lain,” imbuh Sudiastika. Sungai Pengangkidan ini dipilih menjadi tempat prosesi ngangkid karena merupakan pertemuan dari dua aliran sungai. Roh-roh mendiang yang dipanggil oleh balian desa akan berstana di adegan. Kemudian proses pengabenan baru akan dilakukan di bale pengangkidan yang dibuat di rumah masing-masing.
Saat prosesi ini atma mendiang akan natab banten pengangkidan. Menurut Sudiastika dalam prosesi ini biasanya diikuti dengan kondisi trans (kerauhan) roh mendiang melalui badan kasar balian desa. Roh yang diyakini merasuki tubuh balian desa akan memberikan wejangan-wejangan kepada anak cucunya untuk kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu prosesi terakhir disebut ngeluer. Dalam tahapan ini, roh yang sudah disucikan dalam upacara ngangkid akan dilepas kembali ke alam semesta. Proses pelepasan ini dilakukan dengan media asap. “Ngeluer ini dimaknai pelepasan kembali roh mendiang. Bebas mau ngaturang ayah di mana. Prosesi ini tahapan akhir upacara selesai,” papar Sudiastika yang didampingi tokoh masyarakat Guci Adnyana. *k23
Tradisi ngaben di salah satu desa Bali Aga di Buleleng ini memang berbeda dari tatanan upacara ngaben pada umumnya. Secara turun temurun upacara ngaben hanya bisa dilakukan setiap lima tahun sekali. Perhitungan dewasa ayu (hari baik) ngangkid ini pun sesuai dengan lelintihan putaran karya di desa adat. Upacara ngangkid baru bisa dilaksanakan setelah tidak ada lagi upacara Dewa Yadnya di kahyangan tiga dan pura yang ada di wewidangan desa adat.
Saat tiba waktu tersebut, krama desa hanya diberikan waktu selama enam bulan untuk melaksanakan upacara ngangkid sanak saudara yang telah meninggal dunia. Kelian Desa Adat Pedawa, Wayan Sudiastika ditemui di sekitar Sungai Pengangkidan, Senin kemarin menjelaskan proses upacara ngaben di Desa Pedawa tidak menggunakan bade ataupun lembu. Seorang krama yang meninggal dunia hanya dikuburkan di setra setempat. Keluarga yang berduka hanya menyiapkan sesajen banten punjung sebanyak 3 buah dilengkapi dengan dupa yang tidak dinyalakan.
Keluarga inti kemudian mengunjungi kuburan mendiang selama tiga hari dengan banten yang sama, kemudian menjalani cuntaka selama 42 hari. “Di adat kami tidak mengenal upacara makingsan ring gni atau kremasi. Kalau ada yang meninggal dikubur saja, kemudian saat upacara ngangkid juga tidak ada prosesi pengambilan jasad, tulang atau tanah di kuburan. Mendiang hanya diwujudkan dengan adegan (simbolis tubuh manusia dalam bentuk sarana upakara),” jelas Sudiastika.
Hanya saja dalam prosesi awal ngangkid, keluarga akan nyurat (menuliskan) lau-lau. Lau-lau ini diumpamakan sebagai KTP (Kartu Tanda Penduduk) orang yang akan diabenkan. Lau-lau terbuat dari daun lontar yang dituliskan nama mendiang dan doa-doa kepada para dewa untuk kelancaran menuju nirwana. Lau-lau ini bertuliskan aksara Bali dan dibuat di sanggah kemulan. Kemudian lau-lau akan ditempatkan di adegan mendiang berdampingan dengan foto semasa hidupnya.
Lalu setelah siap akan dilaksanakan upacara ngangkid di Sungai Pengangkidan. Dalam prosesi ini atma (roh) mendiang akan dipanggil oleh balian desa (orang pintar). Pemanggilan roh ini dilakukan melalui aliran air sungai yang dibendung, melalui proses magis. Balian desa akan merapalkan mantra dan membendung air dengan batang pisang untuk proses pemanggilan roh mendiang yang akan diabenkan. Pada saat air sungai dibendung, seluruh area dikeramatkan. Pantang bagi krama untuk melakukan aktivitas di sungai yang sudah dibendung itu, karena diyakini akan mendatangkan petaka.
“Aliran Sungai Pengangkidan ini memang disucikan, terutama saat upacara pengangkidan. Tetapi pembendungan ini tidak lama, hanya beberapa jam saja saat upacara pemanggilan roh dilakukan. Setelah itu sudah kembali dimanfaatkan untuk mandi, mencuci dan lain-lain,” imbuh Sudiastika. Sungai Pengangkidan ini dipilih menjadi tempat prosesi ngangkid karena merupakan pertemuan dari dua aliran sungai. Roh-roh mendiang yang dipanggil oleh balian desa akan berstana di adegan. Kemudian proses pengabenan baru akan dilakukan di bale pengangkidan yang dibuat di rumah masing-masing.
Saat prosesi ini atma mendiang akan natab banten pengangkidan. Menurut Sudiastika dalam prosesi ini biasanya diikuti dengan kondisi trans (kerauhan) roh mendiang melalui badan kasar balian desa. Roh yang diyakini merasuki tubuh balian desa akan memberikan wejangan-wejangan kepada anak cucunya untuk kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu prosesi terakhir disebut ngeluer. Dalam tahapan ini, roh yang sudah disucikan dalam upacara ngangkid akan dilepas kembali ke alam semesta. Proses pelepasan ini dilakukan dengan media asap. “Ngeluer ini dimaknai pelepasan kembali roh mendiang. Bebas mau ngaturang ayah di mana. Prosesi ini tahapan akhir upacara selesai,” papar Sudiastika yang didampingi tokoh masyarakat Guci Adnyana. *k23
1
Komentar