Mensyukuri Pensiun dan Ngayah Ngamangkuin
Pamangku Pura Dalem Kesian, Jero Mangku Made Purwa
GIANYAR, NusaBali
Jero Mangku Made Purwa,72, salah seorang mantan guru yang amat mensyukuri hidup. Di masa pensiun dari profesi sebagai guru Bahasa Daerah di SMAN 1 Gianyar, 31 Desember 2011, salah seorang tokoh Desa Adat Kesian, Desa Ledbih, Kecamatan Gianyar ini kasudi (dipercaya secara niskala) dan oleh desa adat, untuk mengemban tugas sebagai pamangku di Pura Dalem Adat Kesian.
Penekun Susastra Bali ini kawinten (diupacarai untuk jadi pamangku) oleh Desa Adat Kesian pada Wraspati Wage Pujut atau Kamis, 28 Juni 2018. Basis pengetahuan sebagai guru Bahasa Daerah Bali dan Agama Hindu menjadikan aktivitasnya dalam bidang kapanditaan (pamangku) bukan hal baru. Dirinya sangat mensyukuri ayah-ayahan (pengabdian) ini. Karena dengan pernah belajar Bahasa Bali, termasuk Sansekerta, menjadikan lebih mudah untuk ngayah, terkhusus melafalkan puja mantera.
Sebagaimana diakui, penguasaan bidang bahasa Sanskerta lebih mudah dalam memahami hal-hal terkait kapamangkuan. Mulai dari sila sesana (dasar-dasar untuk menjalankan kewajiban), lebih khusus lagi Sila Kramaning Pamangku. Tata aturan dimaksud menyangkut hak dan kewajiban seorang pamangku, estetika, dan etika, serta hal-hal lain guna menjaga kesucian kapamangkuan. Basis sebagai guru Bahasa Bali dan Agama Hindu, menjadikan Jero Mangku tidak hanya puas menghafalkan mantera-mantera pemujaan. Namun juga dapat membedah arti hingga memaknai bait-bait ujar mantera sebagaimana tersurat dan terirat dalam Weda.
‘’Tiyang sangat berusyukur. Karena Ida Batara-batari mapaica (menganugerahkan) jalan hidup jadi guru hingga jadi lebih mudah untuk belajar tentang kapamangkuan,’’ ujar pamangku yang berkarier guru mulai di SD Nomor 6 Gianyar, tahun 1975 ini.
Jero Mangku Made Purwa juga mengakui sangat bersyukur pernah belajar Bahasa Sanskerta atau kesusastraan Hindu kuno itu. Karena bahasa ini merupakan ‘kendaraan’ terdepan untuk memberangkatkan menuju pendalaman Weda. Setelah lulus SPG Negeri di Klungkung tahun 1970, Jero Mangku melanjutkan bersekolah di Institut Hindu Dharma (IHD), kini UNHI, lulus tahun 1985.
Perkuliahan itu menjadikan Jero Mangku berhak atas gelar Sarjana Muda. Untuk diketahui, pada era tersebut amat sulit bagi kalangan warga desa di Bali meraih gelar sarjana penuh atau strata satu (S1). Berbekal gelar Sarjana Muda bidang Agama dan Kebudayaan, pemerintah mempercayai Jero Mangku untuk naik jenjang mulai tahun 1982 mengajar di SMAN 1 Gianyar.
Meskipun telah memegang gagaleran pamangku, Jero Mangku mengakui tidak berhenti belajar. Karena pengetahuan sedemikian luas. Khusus pengetahuan pamangku, tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, namun juga untuk orang lain, terutama dalam hal muput atau nganteb upakara. Tidak kalah penting, dalam batasan tertentu, sebagai pamangku wajib memberikan petunjuk atau arahan kepada umat tentang tata titi upacara. Hal yang paling sederhana, misalnya, setiap banten baik untuk yadnya dan pamuspaan, dilarang memakai bunga yang sudah kotor atau cemer, sudah layu, sisa dimakan ulat, dan sejenisnya. ‘’Persembahkanlah bunga segar dan wangi. Karena bunga itu akan jadi perlambang kejernihan pikiran dan kesucian. Apa mungkin Ida Batara mapaica kesucian, jika kita mempersembahkan bunga yang kotor, misalnya,’’ jelas suami dari Jero Mangku Isri Wayan Karyani ini.
Pengetahuan lain yang juga tak kalah penting diberikan kepada umat, antara lain, tentang tata titi (tata tertib) dalam prosesi upacara. Umat yang sedang pedek tangkil jika sedang tahu ada sulinggih atau pamangku mapuja, sebaiknya ikut menjaga keheningan dengan cara diam. Diam tidak hanya membuat suasana jadi tertib, melainkan juga memberikan keleluasaan sulinggih atau pamangku agar lebih khusyuk dan penuh konsentrasi dalam melafalkan bait-bait mantera. ‘’Tidak kalah penting, betapa dahsyat pencaran energi kesucian itu, jika umat atau sang maduwe karya ikut mendoakan karyanya,’’ jelas ayah tiga anak ini. *lsa
1
Komentar