Pertunjukan Calonarang Sekarang Kebablasan
Penyajian calonarang harus tetap sesuai teks sastra, tattwa dan sradha, agar calonarang menjadi tuntunan yang benar di masyarakat.
DENPASAR, NusaBali
Seni pertunjukan calonarang terus berkembang seiring perjalanan waktu. Meski perubahan tidak bisa dibendung, ada kekhawatiran jika pementasan calonarang saat ini sudah kebablasan. Pembaruan yang dilakukan para penyelenggara perlu diantisipasi agar tidak sampai menimbulkan penyimpangan nilai-nilai calonarang sebagai seni pangruwatan/pamarisudha, atau pembersihan secara niskala.
Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Provinsi Bali menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Seni Pertunjukan Calonarang di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali digelar, Jumat (3/3). FGD ini guna mencari rumusan dalam menjaga nilai-nilai seni penyalonarangan.
Ketua Harian MKB Provinsi Bali Prof Dr I Komang Sudirga mengatakan, melalui FGD ini diharapkan mendapat masukan-masukan baik dari narasumber maupun peserta terkait seni pergelaran calonarang agar tidak melenceng dari nilai-nilai kesakralan.
“Keseimbangan nilai-nilai sakral religius dan sandining lango sebagai poros kemanunggalan 'yoga estetis' mesti tetap dipertahankan. Dengan demikian seni pertunjukan calonarang tetap menjadi seni tontonan yang sarat tuntunan,” ungkap Prof Sudirga.
Dua narasumber yang dihadirkan dalam FGD yakni Prof Dr I Wayan Dibia (budayawan) dan Dr I Komang Indra Wirawan SSn MFilH (akademisi/penggiat calonarang). Sementara para peserta lainnya hadir dari kalangan budayawan, seniman, sanggar, akademisi, serta perwakilan Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota se-Bali.
Guru Besar ISI Denpasar mengatakan, melalui FGD ini sejatinya MKB merespon fenomena calonarang di masyarakat yang dirasakan ada penyimpangan. Selain itu, sesuai amanat Peraturan Daerah Nomor : 4 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan, penyajian calonarang harus tetap sesuai teks sastra, tattwa dan sradha, agar calonarang menjadi tuntunan yang benar di masyarakat.
“Para narasumber menjelaskan, calonarang itu ada yang klasik, pembaruan, prembon, bondres, disamping itu ada fenomena yang tidak lepas dari aspek religiusnya. Aspek tattwa dan sradha yang perlu dikembalikan pada esensi hubungan religi pada seni itu sendiri," ungkap Prof Sudirga.
Prof Sudirga menambahkan, pada awalnya seni pertunjukan calonarang merupakan ilmu hitam simbolis, kini justru menjadi pertunjukan seni kekebalan yang sedikit vulgar sebagai ajang pamer orang-orang yang merasa sakti.
"Harapanya dengan masukan dari para peserta ini kita akan inventarisir terus. Kita buatkan panduan dan akan kita distribusikan di masing-masing desa pakraman (desa adat) sebagai acuan, agar pihak penyelenggara utamanya dimana pementasan ini digelar, sebagai pertunjukan sakral yang memiliki ruang tertentu dan tidak sembarangan,” terangnya. *cr78
Seni pertunjukan calonarang terus berkembang seiring perjalanan waktu. Meski perubahan tidak bisa dibendung, ada kekhawatiran jika pementasan calonarang saat ini sudah kebablasan. Pembaruan yang dilakukan para penyelenggara perlu diantisipasi agar tidak sampai menimbulkan penyimpangan nilai-nilai calonarang sebagai seni pangruwatan/pamarisudha, atau pembersihan secara niskala.
Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Provinsi Bali menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Seni Pertunjukan Calonarang di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali digelar, Jumat (3/3). FGD ini guna mencari rumusan dalam menjaga nilai-nilai seni penyalonarangan.
Ketua Harian MKB Provinsi Bali Prof Dr I Komang Sudirga mengatakan, melalui FGD ini diharapkan mendapat masukan-masukan baik dari narasumber maupun peserta terkait seni pergelaran calonarang agar tidak melenceng dari nilai-nilai kesakralan.
“Keseimbangan nilai-nilai sakral religius dan sandining lango sebagai poros kemanunggalan 'yoga estetis' mesti tetap dipertahankan. Dengan demikian seni pertunjukan calonarang tetap menjadi seni tontonan yang sarat tuntunan,” ungkap Prof Sudirga.
Dua narasumber yang dihadirkan dalam FGD yakni Prof Dr I Wayan Dibia (budayawan) dan Dr I Komang Indra Wirawan SSn MFilH (akademisi/penggiat calonarang). Sementara para peserta lainnya hadir dari kalangan budayawan, seniman, sanggar, akademisi, serta perwakilan Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota se-Bali.
Guru Besar ISI Denpasar mengatakan, melalui FGD ini sejatinya MKB merespon fenomena calonarang di masyarakat yang dirasakan ada penyimpangan. Selain itu, sesuai amanat Peraturan Daerah Nomor : 4 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan, penyajian calonarang harus tetap sesuai teks sastra, tattwa dan sradha, agar calonarang menjadi tuntunan yang benar di masyarakat.
“Para narasumber menjelaskan, calonarang itu ada yang klasik, pembaruan, prembon, bondres, disamping itu ada fenomena yang tidak lepas dari aspek religiusnya. Aspek tattwa dan sradha yang perlu dikembalikan pada esensi hubungan religi pada seni itu sendiri," ungkap Prof Sudirga.
Prof Sudirga menambahkan, pada awalnya seni pertunjukan calonarang merupakan ilmu hitam simbolis, kini justru menjadi pertunjukan seni kekebalan yang sedikit vulgar sebagai ajang pamer orang-orang yang merasa sakti.
"Harapanya dengan masukan dari para peserta ini kita akan inventarisir terus. Kita buatkan panduan dan akan kita distribusikan di masing-masing desa pakraman (desa adat) sebagai acuan, agar pihak penyelenggara utamanya dimana pementasan ini digelar, sebagai pertunjukan sakral yang memiliki ruang tertentu dan tidak sembarangan,” terangnya. *cr78
1
Komentar