Tingkah Polah Orang Asing
BALI itu sebuah negeri, bukan cuma satu pulau, tidak hanya sepetak wilayah. Di sini hadir berbagai bangsa dari banyak belahan bumi.
Alasan orang-orang itu ke Bali berkembang dari waktu ke waktu. Dulu mereka datang semata untuk berlibur, Bali pun kemudian dikenal sebagai negeri turis. Namun kini, mereka datang tak hanya untuk piknik.
Dulu para ilmuwan ke Bali untuk riset seni budaya, mengkaji bagaimana begitu kuat simpul-simpul ikatan masyarakat Bali dengan adat dan agamanya. Kini, ketika pariwisata menumpahkan dolar, mungkin mereka datang kembali meneliti masyarakat yang sama, dengan materi yang kian berkembang, yakni bagaimana sikap masyarakat setempat menerima pengaruh orang asing.
Banyak orang awak menduga, tingkah polah orang asing di Bali hanyalah santai, berselancar, bercengkrama di pantai, berdisko, mabuk, mengisap ganja sampai teler atau ‘kumpul kebo’ dengan orang Indonesia (termasuk Bali, tentu). Padahal tingkah orang asing bermacam ragam di Bali. Banyak yang tingkahnya baik-baik, namun tak sedikit pula yang perangainya jelek-jelek.
Kalau industri garment berkembang di Bali, ekspor barang kerajinan kian galak, itu berkat orang asing. Tak sedikit hotel menengah memanfaatkan jasa orang asing sebagai manager. Bahkan banyak restoran, homestay di Legian, Dalung, Canggu, Ubud, dan Sanur sebenarnya milik orang asing. Orang awak, yang dulu pemilik bangunan, cuma buruh biasa yang digaji biasa-biasa saja.
Orang asing itu merasa sangat berjasa kepada masyarakat Bali. Mereka menganggap orang Bali itu hidup, makan, menikmati pendidikan layak, berkat jasa mereka. Boleh dikata, merekalah yang mengangkat derajat hidup orang Bali. Namun, untuk itu, mereka mengantongi keuntungan yang sungguh banyak, jauh lebih tinggi dibanding orang Bali sendiri. Mereka akhirnya menikmati keuntungan berlipat ganda, meraup laba dari usaha yang dikerjakan orang setempat, dan bisa tinggal gratis tanpa capek-capek keluar ongkos sewa hotel. Kalau izin tempat tinggal habis, mereka hengkang sebentar ke Singapura, lalu balik lagi ke Bali. Kalau dihitung-hitung, mereka tetap masih untung banyak sebagai pengusaha.
Orang-orang dari negeri maju nyaris selalu menganggap masyarakat negara berkembang harus dibantu dengan uang dan gagasan. Orang asing yang menambang keuntungan besar di Bali pun berprinsip seperti itu. Mereka tetap menganggap diri sebagai makhluk berjasa di Bali, padahal justru masyarakat Bali yang berjasa terhadap mereka, karena mereka bisa tidur nyenyak, makan enak, mengantongi banyak untung aman tenteram. Pada hakikatnya orang Bali yang memberi mereka makan, bukan mereka yang memberi makan orang setempat. Memang, persoalannya terletak pada siapa sebenarnya yang membantu siapa.
Seorang pemandu wisata berkisah, banyak turis pergi ke tukang jarit membuat celana dan kemeja banyak-banyak untuk dibawa pulang ke negaranya, karena di Bali tekstil dan ongkos jarit murah. Tak sedikit turis yang di kampung halamannya penganggur, hidup dari santunan pemerintah, berbulan-bulan hidup di Bali, menyewa tahunan sebuah homestay, karena dengan uang santunan itu ia bisa hidup ongkang-ongkang di Bali. Di negerinya uang itu harus diatur dengan ketat, dan pasti kekurangan. Di Bali justru berlebih, bahkan bisa disisihkan, ditabung, juga untuk menggaji pembantu rumah tangga, juru masak, dan perawat kebun.
Cukup sering terjadi turis kehabisan duit ketika mereka pulang. Untuk membayar airport tax mereka tak punya, kemudian meminjam uang kepada pemandu wisata yang mengantar, berjanji akan mengirim gantinya berlipat ganda setelah tiba di tanah air mereka. Namun nyatanya uang itu tak kunjung datang. Kabar pun tak ada. Orang asing yang menipu rekan bisnis, orang lokal, juga berderet-deret, berperkara sampai ke pengadilan.
Tingkah polah orang asing yang jelek-jelek cukup banyak, beraneka ragam, sering menampilkan kisah kejutan. Perangai turis baik-baik juga tidak sedikit, justru lebih banyak bermukim di Bali tahun-tahun sebelum perang dunia kedua atau sebelum enam puluhan. Kita mengenal nama Rudolf Bonnet, Walter Spies, yang berpengaruh besar terhadap perkembangan seni rupa dan seni pertunjukan. Seniman Ubud digugah untuk memiliki kepercayaan diri, karya mereka lebih bervariasi, tidak terpaku pada khasanah tradisi belaka, dan mencengangkan dunia.
Jawaban untuk apa datang ke Bali telah berkembang. Dulu orang asing ke Bali semata untuk berlibur, kini juga untuk urusan bisnis, mabuk, semau gue naik motor, banyak tingkah, dan menularkan….. AIDS. *
Aryantha Soethama
1
Komentar