Desa Pakraman Panjer Hidupkan Kembali Kesenian Arja
Kesenian arja ini diyakini tergolong sakral. Saat melakukan latihan, kerapkali terjadi proses ketedunan di antara para pemain arja tersebut.
DENPASAR, NusaBali
Setelah sekian lama punah, Desa Pakraman Panjer, akhirnya membangkitkan kembali kesenian dramatari arja di desa setempat. Dramatari arja berjudul Kelimunan Ilang Srepet Teka (Semengne Ilang Petengne Teka) sukses dipentaskan perdana di halaman madyaning mandala Pura Dalem Sasih Desa Pakraman Panjer, Denpasar Selatan, Rabu (26/4) lalu, tepatnya saat odalan Buda Umanis Wuku Medangsia.
Pementasan kedua kembali mendulang kesuksesan, dimana disaksikan ratusan penonton saat odalan di Pura Dalem Panjer, pada 1 Juni lalu. Dramatari ini langsung berada di bawah naungan dan tanggung jawab Desa Pakraman Panjer dan Kelurahan Panjer. Tidak hanya penonton biasa, beberapa prajuru Desa Pakraman Panjer juga hadir seperti Bendesa Prof Dr I Nyoman Budiana SH Msi, Ketua LPD AA Kompyang Gde Ardana SE, Lurah Panjer I Made Suryanata SH dan Pamangku Pura se-Desa Pakraman Panjer serta para tokoh lainnya baik adat maupun dinas.
Dramatari Arja Panjer dalam pagelaran ini merupakan buah karya dan binaan Ni Made Astari SE dan AA Ketut Oka Adnyana SST MSi. Konon, dramatari arja ini diawali dengan proses ketedunan. Kepada NusaBali, Ni Made Astari mengungkapkan, pembinaan dramatari ini sesungguhnya berawal dari keinginan desa setempat untuk membina Sekaa Shanti, yakni belajar menyanyikan gending-gending Sang Hyang.
Lama kelamaan, ada permintaan untuk menari arja. Karena lakon yang dibawakan terkait dengan cerita Sang Hyang, yang kebetulan juga terdapat gelung Sang Hyang sakral yang disungsung krama desa setempat, maka selama beberapa kali saat proses latihan arja, kerapkali terjadi proses ketedunan di antara para pemain arja tersebut. Menurut Astari, kesenian tersebut diyakini tergolong sakral.
“Waktu latihan menari, kira-kira saat jalan 2 bulan, ternyata ada yang ketedunan, dimana arjanya harus menari. Karena pas saya menulis lakonnya tentang Sang Hyang, kebetulan juga ada sungsungan Gelung Sang Hyang di Desa Pakraman Panjer, makanya pas sekali,” ungkap Dosen ISI Denpasar ini.
Tidak lama kemudian, Desa setempat langsung mencarikan dewasa (hari baik) untuk melaksanakan pawintenan bagi para pemain arja ini. Selama proses ketedunan itu, bahkan pamangku langsung memberi nama sekaa ini dengan nama Sekaa Arja Candra Asta Swari,” ungkapnya.
Awalnya, Astari dan pembina lainnya sempat pesimis, karena waktu latihan yang cukup singkat, sementara para pemain belajar dari nol. Tidak ada yang sepenuhnya memiliki basik kesenian arja. Ada yang hanya bermodalkan tari lepas, ada yang bermodalkan vokal suara dengan gending sekar alit dan madya, bahkan ada yang tidak bermodalkan kedua-duanya Namun, keraguan itu terjawab dengan pementasan yang sangat baik oleh para pemain.
“Saya saja tidak menyangka, akan bagus jadinya. Sebab dalam arja, ada gending-gending Sang Hyang yang disisipkan. Nah, saat nyanyi itu beberapa pemain ketedunan. Penonton juga ramai, padahal saya pesimis apa bisa para pemain bisa membawakannya dengan baik,” tuturnya. *in
Pementasan kedua kembali mendulang kesuksesan, dimana disaksikan ratusan penonton saat odalan di Pura Dalem Panjer, pada 1 Juni lalu. Dramatari ini langsung berada di bawah naungan dan tanggung jawab Desa Pakraman Panjer dan Kelurahan Panjer. Tidak hanya penonton biasa, beberapa prajuru Desa Pakraman Panjer juga hadir seperti Bendesa Prof Dr I Nyoman Budiana SH Msi, Ketua LPD AA Kompyang Gde Ardana SE, Lurah Panjer I Made Suryanata SH dan Pamangku Pura se-Desa Pakraman Panjer serta para tokoh lainnya baik adat maupun dinas.
Dramatari Arja Panjer dalam pagelaran ini merupakan buah karya dan binaan Ni Made Astari SE dan AA Ketut Oka Adnyana SST MSi. Konon, dramatari arja ini diawali dengan proses ketedunan. Kepada NusaBali, Ni Made Astari mengungkapkan, pembinaan dramatari ini sesungguhnya berawal dari keinginan desa setempat untuk membina Sekaa Shanti, yakni belajar menyanyikan gending-gending Sang Hyang.
Lama kelamaan, ada permintaan untuk menari arja. Karena lakon yang dibawakan terkait dengan cerita Sang Hyang, yang kebetulan juga terdapat gelung Sang Hyang sakral yang disungsung krama desa setempat, maka selama beberapa kali saat proses latihan arja, kerapkali terjadi proses ketedunan di antara para pemain arja tersebut. Menurut Astari, kesenian tersebut diyakini tergolong sakral.
“Waktu latihan menari, kira-kira saat jalan 2 bulan, ternyata ada yang ketedunan, dimana arjanya harus menari. Karena pas saya menulis lakonnya tentang Sang Hyang, kebetulan juga ada sungsungan Gelung Sang Hyang di Desa Pakraman Panjer, makanya pas sekali,” ungkap Dosen ISI Denpasar ini.
Tidak lama kemudian, Desa setempat langsung mencarikan dewasa (hari baik) untuk melaksanakan pawintenan bagi para pemain arja ini. Selama proses ketedunan itu, bahkan pamangku langsung memberi nama sekaa ini dengan nama Sekaa Arja Candra Asta Swari,” ungkapnya.
Awalnya, Astari dan pembina lainnya sempat pesimis, karena waktu latihan yang cukup singkat, sementara para pemain belajar dari nol. Tidak ada yang sepenuhnya memiliki basik kesenian arja. Ada yang hanya bermodalkan tari lepas, ada yang bermodalkan vokal suara dengan gending sekar alit dan madya, bahkan ada yang tidak bermodalkan kedua-duanya Namun, keraguan itu terjawab dengan pementasan yang sangat baik oleh para pemain.
“Saya saja tidak menyangka, akan bagus jadinya. Sebab dalam arja, ada gending-gending Sang Hyang yang disisipkan. Nah, saat nyanyi itu beberapa pemain ketedunan. Penonton juga ramai, padahal saya pesimis apa bisa para pemain bisa membawakannya dengan baik,” tuturnya. *in
Komentar