Potong Upah Buruh 25% Rawan Dimanfaatkan
Pengamat minta Menaker cabut aturan, tawarkan solusi insentif pajak
JAKARTA, NusaBali
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 yang membolehkan potong gaji buruh maksimal 25 persen rawan dimanfaatkan perusahaan lain yang tidak sesuai ketentuan. Pasalnya peran dan tugas Pengawas Ketenagakerjaan dinilai masih sangat lemah.
"Saya yakin Pengawas Ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak," kata Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar dalam keterangan tertulis, seperti dilansir detikcom, Kamis (16/3).
Untuk itu, Timboel mendorong agar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut aturan tersebut. "Karena akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan pekerja/buruh dan Permenaker ini sudah melanggar ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja dan UU No. 21 Tahun 2000," tambahnya.
Kalaupun ingin menyelamatkan buruh dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjaga kelangsungan usaha, kata Timboel, seharusnya pemerintah memberikan insentif pajak dan bantuan lainnya kepada perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang memang terdampak kondisi global.
"Seharusnya pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan terdampak tersebut sehingga bisa menurunkan beban biaya perusahaan seperti pemberian insentif pajak yang memang bisa mendukung kegiatan operasional perusahaan seperti penjadwalan ulang pembayaran utang dan sebagainya," tuturnya.
"Bukan malah menurunkan upah pekerja yang akan mempersulit pekerja/buruh mencapai penghidupan yang layak," tambahnya.
Hal yang sama juga dikatakan Pengamat Ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi. Menurutnya, insentif pajak lebih baik diberikan ke pengusaha ketimbang mengorbankan buruh yang gajinya harus dipotong 25%.
"Memang dalam situasi seperti ini serba sulit, tapi kalau bisa insentif pajak lebih bagus, artinya tidak mengorbankan buruh," ucap Tadjudin dihubungi terpisah.
Tadjudin memahami baik pemotongan upah 25% atau pemberian insentif pajak masing-masing akan memberikan dampak tersendiri. Pemerintah diminta ambil risiko yang akan memiliki dampak paling kecil.
"Harusnya pengusaha, buruh dan pemerintah mempertimbangkan. Pemerintah di sini juga harus melibatkan departemen keuangan yang terkait dengan pajak, berapa sih dampak dari kalau pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengizinkan pengusaha berorientasi ekspor alias eksportir untuk memotong gaji buruh mereka sampai dengan 25 persen.
Izin tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Namun, Ida membatasi pemotongan upah itu hanya boleh dilakukan selama 6 bulan terhitung sejak beleid ini diterbitkan. Nah, untuk bisa memotong gaji buruh, dalam beleid itu Ida memberlakukan beberapa syarat. *
"Saya yakin Pengawas Ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak," kata Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar dalam keterangan tertulis, seperti dilansir detikcom, Kamis (16/3).
Untuk itu, Timboel mendorong agar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut aturan tersebut. "Karena akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan pekerja/buruh dan Permenaker ini sudah melanggar ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja dan UU No. 21 Tahun 2000," tambahnya.
Kalaupun ingin menyelamatkan buruh dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjaga kelangsungan usaha, kata Timboel, seharusnya pemerintah memberikan insentif pajak dan bantuan lainnya kepada perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang memang terdampak kondisi global.
"Seharusnya pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan terdampak tersebut sehingga bisa menurunkan beban biaya perusahaan seperti pemberian insentif pajak yang memang bisa mendukung kegiatan operasional perusahaan seperti penjadwalan ulang pembayaran utang dan sebagainya," tuturnya.
"Bukan malah menurunkan upah pekerja yang akan mempersulit pekerja/buruh mencapai penghidupan yang layak," tambahnya.
Hal yang sama juga dikatakan Pengamat Ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi. Menurutnya, insentif pajak lebih baik diberikan ke pengusaha ketimbang mengorbankan buruh yang gajinya harus dipotong 25%.
"Memang dalam situasi seperti ini serba sulit, tapi kalau bisa insentif pajak lebih bagus, artinya tidak mengorbankan buruh," ucap Tadjudin dihubungi terpisah.
Tadjudin memahami baik pemotongan upah 25% atau pemberian insentif pajak masing-masing akan memberikan dampak tersendiri. Pemerintah diminta ambil risiko yang akan memiliki dampak paling kecil.
"Harusnya pengusaha, buruh dan pemerintah mempertimbangkan. Pemerintah di sini juga harus melibatkan departemen keuangan yang terkait dengan pajak, berapa sih dampak dari kalau pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengizinkan pengusaha berorientasi ekspor alias eksportir untuk memotong gaji buruh mereka sampai dengan 25 persen.
Izin tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Namun, Ida membatasi pemotongan upah itu hanya boleh dilakukan selama 6 bulan terhitung sejak beleid ini diterbitkan. Nah, untuk bisa memotong gaji buruh, dalam beleid itu Ida memberlakukan beberapa syarat. *
Komentar