Awal Mula Tradisi Ogoh-Ogoh, Berawal dari Budaya Subak
DENPASAR, NusaBali.com - Ogoh-ogoh sudah menjadi tradisi tahunan menyambut pergantian tahun Saka. Tradisi seni patung raksasa yang sudah berkembang pesat ini ternyata berawal dari budaya subak yang begitu sederhana.
“Kalau berbicara sejarah ogoh-ogoh, sebenarnya bermula dari budaya subak atau persubakan,” ungkap I Gede Anom Ranuara, budayawan dan tokoh adat dari Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur ketika dijumpai belum lama.
Jelas pria yang akrab disapa Guru Anom, ada catatan soal aktivitas mengarak objek secara massal di Desa Adat Kesiman merujuk pada sekitar tahun 1950. Aktivitas ini berlangsung di Subak Delod Sema di kawasan Jalan Waribang saat ini.
Pada kala itu objek yang diarak para petani adalah batang pohon ketumbar yang diikat sedemikian rupa. Pohon ketumbar yang akhirnya berbentuk seni rupa sederhana ini diarak oleh para petani sebagai bagian dari tradisi subak pasca panen.
“Ogoh-ogoh berbahan batang ketumbar ini berdasarkan catatan berlangsung sekitar 1950 sampai 1965. Masih di periode yang sama, bentuk ini kemudian berkembang menggunakan sumi (jerami),” tutur Guru Anom.
Setelah berkreasi dan mengeksplorasi berbagai bahan pasca panen, para petani yang tidak sadar sudah mengekspresikan seni ini mulai mencari bahan yang berbeda namun masih terkait ranah subak. Bahan yang akhirnya digunakan adalah bede atau bedeg (anyaman dinding bambu) yang diikat dan diolah membentuk objek.
Teknik inilah yang akhirnya bertahan hingga saat ini. Di mana pembuatan ogoh-ogoh menggunakan anyaman bambu untuk membentuk figur raksasa. Caranya pun hampir sama yakni tidak dengan menganyam langsung melainkan ditempel-tempel hingga memberikan volume pada kerangka dasar ogoh-ogoh.
Jelas pria yang akrab disapa Guru Anom, ada catatan soal aktivitas mengarak objek secara massal di Desa Adat Kesiman merujuk pada sekitar tahun 1950. Aktivitas ini berlangsung di Subak Delod Sema di kawasan Jalan Waribang saat ini.
Pada kala itu objek yang diarak para petani adalah batang pohon ketumbar yang diikat sedemikian rupa. Pohon ketumbar yang akhirnya berbentuk seni rupa sederhana ini diarak oleh para petani sebagai bagian dari tradisi subak pasca panen.
“Ogoh-ogoh berbahan batang ketumbar ini berdasarkan catatan berlangsung sekitar 1950 sampai 1965. Masih di periode yang sama, bentuk ini kemudian berkembang menggunakan sumi (jerami),” tutur Guru Anom.
Setelah berkreasi dan mengeksplorasi berbagai bahan pasca panen, para petani yang tidak sadar sudah mengekspresikan seni ini mulai mencari bahan yang berbeda namun masih terkait ranah subak. Bahan yang akhirnya digunakan adalah bede atau bedeg (anyaman dinding bambu) yang diikat dan diolah membentuk objek.
Teknik inilah yang akhirnya bertahan hingga saat ini. Di mana pembuatan ogoh-ogoh menggunakan anyaman bambu untuk membentuk figur raksasa. Caranya pun hampir sama yakni tidak dengan menganyam langsung melainkan ditempel-tempel hingga memberikan volume pada kerangka dasar ogoh-ogoh.
“Mungkin karena mulai bosan dengan cara memakai bede, muncul ogoh-ogoh manusia di Kesiman. Jadi orang dihias dan disandang kemudian diarak selayaknya ogoh-ogoh,” imbuh Guru Anom.
Foto: Guru Anom, budayawan dan tokoh adat. -NGURAH RATNADI
Perubahan dan perkembangan budaya subak membentuk tradisi ogoh-ogoh ini adalah sebuah keniscayaan. Perubahan adalah budaya itu sendiri mengikuti zamannya masing-masing. Kata Guru Anom, apabila manusia tidak adaptif terhadap masa maka mereka tidak berbudaya.
Perkembangan itu pun bergerak dengan laju yang cepat. Sebab, pada tahun 1982 di Banjar Kedaton, Desa Adat Kesiman untuk pertama kalinya diadakan lomba ogoh-ogoh. Figurnya pun sudah mulai mengambil wujud seni yang lebih tinggi yakni Kumbakarna, Hanuman, wujud pandita, dan bahkan gorila raksasa alias King Kong.
Pertanyaannya, mengapa budaya subak ini akhirnya bisa berkaitan dengan ritus atau aktivitas ritual? Jawab Guru Anom, tradisi subak ini dikaitkan Tutur Rare Angon. Berangkat dari hal ini, ogoh-ogoh dikemas menjadi ritus yang muncul pada malam Hari Suci Nyepi dan ritual pangabenan.
“Ogoh-ogoh ini bersifat uparengga atau pelengkap upacara. Sifatnya sebagai dekorasi yang memberikan keindahan terhadap upacara inti,” jelas Guru Anom.
Beberapa versi lain yang berkembang di masyarakat menyebutkan, pengarakan ogoh-ogoh pada malam Nyepi adalah tradisi yang diatur. Sebab, pada tahun 1983 atau setahun setelah ada festival ogoh-ogoh di Desa Adat Kesiman, Hari Suci Nyepi resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Momen ini ingin dirayakan secara meriah salah satunya dengan pengarakan ogoh-ogoh. Kemudian, Pesta Kesenian Bali XII tahun 1990 memasukkan ogoh-ogoh. Seni patung raksasa yang awalnya berkembang di Kota Denpasar menjadi populer di seluruh Bali. Akhirnya, pengarakan ogoh-ogoh pada Tilem Kasanga menjadi tradisi uparengga Hari Suci Nyepi hingga sekarang.
Sementara itu, Guru Anom mempertegas bahwa ogoh-ogoh ini harus dibawa ke titik terang soal fungsinya dalam ritual. Entah itu sebagai pelengkap atau bagian dari inti upacara. Apabila sebagai pelengkap, ogoh-ogoh menjadi seni yang tidak saklek.
Harus ada ruang perkembangan baik dari segi karakter tapel (topeng) dan lainnya hanya saja tetap dalam norma wujud bhutakala khususnya ogoh-ogoh untuk pangerupukan atau malam Nyepi. *rat
1
Komentar