Desa Adat Jimbaran Punya Tradisi Unik Magegobog, Padukan Fragmentari ‘Padu Telu’ Sekaligus Bangkitkan Gending Teng Teng Nyer
MANGUPURA, NusaBali.com – Berangkat dari kecemasan hilangnya tradisi turun-temurun, Desa Adat Jimbaran kembali mengenalkan tradisi Magegobog, satu hari sebelum Hari Raya Nyepi di Perempatan Banjar Taman Griya, Kuta Selatan, Badung pada Selasa (21/3/2023) malam.
Berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya yang mengenal istilah pangerupukan, Desa Adat Jimbaran memilih untuk menggunakan istilah magegobog untuk menyongsong hari Raya Nyepi.
Bandesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga menerangkan pihak menggunakan istilah magegobog sebab karena istilah pangerupukan asal katanya dari mgerupuk. Di Desa Adat Jimbaran, ngerupuk memiliki makna Nyeruduk membabi buta. Sedangkan magegobog merupakan warisan tetua mereka di Jimbaran yang sudah dilaksanakan turun-temurun sejak dulu.
“Semasa saya kecil masih dilaksanakan sekitar tahun 1977, tetapi sudah ada arahan dari pemerintah agar sebutannya menjadi ngerupuk. Tetapi tentu saat itu tidak ada yang ingin berdebat dengan persoalan keagamaan. Sekarang, kami ingin tradisi ini kembali lagi,” terang Dirga.
Ia juga menerangkan, memang ada unsur yang digunakan untuk menyomia yang disimbolkan dengan bawang merah, bawang putih, dan jangu. Penyomia itu lalu dicampur dengan beras berwarna kuning dan ditaburkan ke segala arah terutama di setiap perempatan.
“Nyomia artinya mengembalikan atau menetralisir kondisi yang selama satu tahun di pengaruhi oleh berbagai energi dari umat manusia untuk dikembalikan pada hari raya Nyepi, agar semua kembali harmonis,” ujarnya.
Pantangan bagi para yowana yang mengikuti tradisi ini, dikatakan Dirga tidak ada pantangan secara khusus. Hanya saja, para yowana dan juga masyarakat diharapkan tidak mengonsumsi minuman keras dan tidak berperilaku kasar.
Bandesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga menerangkan pihak menggunakan istilah magegobog sebab karena istilah pangerupukan asal katanya dari mgerupuk. Di Desa Adat Jimbaran, ngerupuk memiliki makna Nyeruduk membabi buta. Sedangkan magegobog merupakan warisan tetua mereka di Jimbaran yang sudah dilaksanakan turun-temurun sejak dulu.
“Semasa saya kecil masih dilaksanakan sekitar tahun 1977, tetapi sudah ada arahan dari pemerintah agar sebutannya menjadi ngerupuk. Tetapi tentu saat itu tidak ada yang ingin berdebat dengan persoalan keagamaan. Sekarang, kami ingin tradisi ini kembali lagi,” terang Dirga.
Ia juga menerangkan, memang ada unsur yang digunakan untuk menyomia yang disimbolkan dengan bawang merah, bawang putih, dan jangu. Penyomia itu lalu dicampur dengan beras berwarna kuning dan ditaburkan ke segala arah terutama di setiap perempatan.
“Nyomia artinya mengembalikan atau menetralisir kondisi yang selama satu tahun di pengaruhi oleh berbagai energi dari umat manusia untuk dikembalikan pada hari raya Nyepi, agar semua kembali harmonis,” ujarnya.
Pantangan bagi para yowana yang mengikuti tradisi ini, dikatakan Dirga tidak ada pantangan secara khusus. Hanya saja, para yowana dan juga masyarakat diharapkan tidak mengonsumsi minuman keras dan tidak berperilaku kasar.
Sebab, tradisi ini kata dia bertujuan untuk menetrealisir energi yang ‘beraneka ragam’ dalam satu tahu. Ia menilai, Hari Raya Nyepi salah satu hari dimana umat Hindu mengembalikan seluruh potensi yang ada ke alam dengan situasi dan kondisi yang netral.
Uniknya dalam tradisi ini sekaligus memperkenalkan gending (lagu) Bali kepada anak muda. Gending yang digunakan dalam tradisi ini pun berjudul Teng Teng Nyer. Lagu yang sudah ada sejak jaman dulu tersebut bertemakan bagaimana masyarakat bisa saling membantu satu sama lain untuk pembersihan demi membangun semangat dan mematahkan api kemarahan.
“Dengan demikian yang disebut Butha Kala atau hal-hal negatif akan bisa disingkirkan dulu. Sehingga krama nanti bisa melakukan kegiatan brata penyepian dengan tenang tanpa gangguan dari emosi, api amarah, dan segala sesuatu yang berkonotasi keras dan api,” terangnya sembari melantunkan lagu Teng Teng Nyer.
Tradisi yang berlangsung sekitar pukul 17.00 Wita ini pun turut berkolaborasi dengan para yowana dari Banjar ST Manik Giri, Banjar Taman Griya. Kata Dirga masyarakat tahun ini nampak sangat antusias melihat tradisi Magegobog, sehingga tak ayal pada saat tradisi dimulai masyarakat mulai menyesakkan jalan raya. Ia turut menerangkan, dengan adanya kolaborasi tradisi Padu Telu dan Gending Bali, dapat digunakan untuk memancing ketertarikan generasi muda dengan kesenian Bali.
“Dengan adanya kegiatan yang dikemas dalam bentuk kesenian saya berharap anak-anak muda tertarik dan bersemangat lagi untuk melanjutkan tradisi ini,” tuturnya.
Terlihat dari pantauan, para pelakon fragmentari Padu Telu terbagi menjadi Api, Air, dan Angin yang saling melakukan aksinya masing-masing. Pelakon api terlihat membawa prakpak yang telah disulut dengan api, lalu pelakon air membawa sebakul air, dan pelakon angin membawa kipas.
Ketua Panitia Magegobog Padu Telu, Anak Agung Bagus Brabham Denamar menerangkan Fragmentari Padu Telu menceritakan sebuah simbol penyelesaian masalah yang sering dilakukan di Desa Adat Jimbaran.
Padu Telu disebutkannya memiliki tiga unsur yakni api, air, dan angin. Lanjut dia, ketiga elemen tersebut menggambarkan sifat manusia. Api ia perumpamakan bahwa semakin besar ego manusia maka semakin besar pula untuk membakar semuanya (keadaan). Namun untuk air, jika volume air teralu banyak akan bisa menyebabkan tsunami atau bencana lainnya. Sedangkan angin, kata dia jika hembusan angin terlalu kencang maka akan menyebabkan kehancuran.
“Sehingga kami paduka di Padu Telu untuk mendamaikan semuanya dalam penyambutan Hari Raya Nyepi,” terang Brabham saat dikonfirmasi ulang pada Selasa (21/3/2023) malam.
Ia menjelaskan ada sebanyak 138 penari yang bertugas pada gelaran tradisi ini. Mereka menggunakan pakaian kain poleng (hitam putih) yang dipadukan dengan kain merah layaknya seseorang yang sedang menari kecak.
Uniknya dalam tradisi ini sekaligus memperkenalkan gending (lagu) Bali kepada anak muda. Gending yang digunakan dalam tradisi ini pun berjudul Teng Teng Nyer. Lagu yang sudah ada sejak jaman dulu tersebut bertemakan bagaimana masyarakat bisa saling membantu satu sama lain untuk pembersihan demi membangun semangat dan mematahkan api kemarahan.
“Dengan demikian yang disebut Butha Kala atau hal-hal negatif akan bisa disingkirkan dulu. Sehingga krama nanti bisa melakukan kegiatan brata penyepian dengan tenang tanpa gangguan dari emosi, api amarah, dan segala sesuatu yang berkonotasi keras dan api,” terangnya sembari melantunkan lagu Teng Teng Nyer.
Tradisi yang berlangsung sekitar pukul 17.00 Wita ini pun turut berkolaborasi dengan para yowana dari Banjar ST Manik Giri, Banjar Taman Griya. Kata Dirga masyarakat tahun ini nampak sangat antusias melihat tradisi Magegobog, sehingga tak ayal pada saat tradisi dimulai masyarakat mulai menyesakkan jalan raya. Ia turut menerangkan, dengan adanya kolaborasi tradisi Padu Telu dan Gending Bali, dapat digunakan untuk memancing ketertarikan generasi muda dengan kesenian Bali.
“Dengan adanya kegiatan yang dikemas dalam bentuk kesenian saya berharap anak-anak muda tertarik dan bersemangat lagi untuk melanjutkan tradisi ini,” tuturnya.
Terlihat dari pantauan, para pelakon fragmentari Padu Telu terbagi menjadi Api, Air, dan Angin yang saling melakukan aksinya masing-masing. Pelakon api terlihat membawa prakpak yang telah disulut dengan api, lalu pelakon air membawa sebakul air, dan pelakon angin membawa kipas.
Ketua Panitia Magegobog Padu Telu, Anak Agung Bagus Brabham Denamar menerangkan Fragmentari Padu Telu menceritakan sebuah simbol penyelesaian masalah yang sering dilakukan di Desa Adat Jimbaran.
Padu Telu disebutkannya memiliki tiga unsur yakni api, air, dan angin. Lanjut dia, ketiga elemen tersebut menggambarkan sifat manusia. Api ia perumpamakan bahwa semakin besar ego manusia maka semakin besar pula untuk membakar semuanya (keadaan). Namun untuk air, jika volume air teralu banyak akan bisa menyebabkan tsunami atau bencana lainnya. Sedangkan angin, kata dia jika hembusan angin terlalu kencang maka akan menyebabkan kehancuran.
“Sehingga kami paduka di Padu Telu untuk mendamaikan semuanya dalam penyambutan Hari Raya Nyepi,” terang Brabham saat dikonfirmasi ulang pada Selasa (21/3/2023) malam.
Ia menjelaskan ada sebanyak 138 penari yang bertugas pada gelaran tradisi ini. Mereka menggunakan pakaian kain poleng (hitam putih) yang dipadukan dengan kain merah layaknya seseorang yang sedang menari kecak.
Para lelaki nampak bertelanjang dada dengan garis tapak dara (tanda tambah) di bagian dada mereka. Sedangkan alat yang digunakan, mulai dari tawa-tawa, tek-tekan, kekepuak, obor, sangku, danyuh, prakpak, sanggah cucuk untuk gending mecaru, klangsah dan properti lainnya.
“Dalam seni pertunjukan itu akan ada semacam perang antara unsur air dengan api, kemudian unsur angin datang dan menetralisir perang itu,” terangnya.
Setelah tradisi ini usai, agenda pun dilanjutkan dengan pawai ogoh-ogoh dari setiap banjar yang ada di Desa Adat Jimbaran. Brabham berharap tradisi ini dapat dilanjutkan oleh generasi muda agar magegobog bisa tetap lestari dan tetap diketahui oleh anak-anak muda sampai kapan pun.
“Tradisi ini sekaligus upaya untuk mengenali generasi muda tradisi di Jimbaran. Saya berharap agar tidak tradisi orang lain diketahui tetapi tradisi di Jimbaran tidak diketahui,” pungkasnya. *ris
“Dalam seni pertunjukan itu akan ada semacam perang antara unsur air dengan api, kemudian unsur angin datang dan menetralisir perang itu,” terangnya.
Setelah tradisi ini usai, agenda pun dilanjutkan dengan pawai ogoh-ogoh dari setiap banjar yang ada di Desa Adat Jimbaran. Brabham berharap tradisi ini dapat dilanjutkan oleh generasi muda agar magegobog bisa tetap lestari dan tetap diketahui oleh anak-anak muda sampai kapan pun.
“Tradisi ini sekaligus upaya untuk mengenali generasi muda tradisi di Jimbaran. Saya berharap agar tidak tradisi orang lain diketahui tetapi tradisi di Jimbaran tidak diketahui,” pungkasnya. *ris
1
Komentar