Tradisi Maamuk-amukan Desa Adat Padangbulia, Menetralisir Kekuatan Negatif di Alam dan Dalam Diri Manusia
SINGARAJA, NusaBali
‘Mai maju’. Begitu seruan itu terdengar, krama lanang (laki-laki) dari berbagai umur yang sudah siap siaga di sepanjang jalan Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng, langsung saling serang.
Masing-masing akan langsung mencari lawan duel untuk saling serang menggunakan kobaran api pada danyuh (daun kelapa kering). Api yang masih menyala dan berkobar langsung dipukul-pukulkan di tubuh lawan sampai apinya padam. Pemandangan itu terlihat saat krama Desa Adat Padangbulia melangsungkan Tradisi Maamuk-amukan pada Anggara Umanis Uye yang bertepatan dengan Tilem Kasanga (pangerupukan) Nyepi, Selasa (21/3) petang.
Tradisi Maamuk-amukan ini sudah dilakukan sejak dulu. Meskipun tidak ada sumber tertulis, namun krama setempat meyakini dan tetap melaksanakan tradisi ini sampai sekarang, sebagai pelengkap perayaan Hari Raya Nyepi.
Kelian Desa Adat Padangbulia I Gusti Ketut Semara menjelaskan, secara turun-temurun krama Desa Padangbulia meyakini tradisi Maamuk-amukan adalah menetralisir kekuatan negatif. Baik yang ada di alam semesta (makro kosmos) maupun yang ada dalam diri masing-masing krama (mikro kosmos).
“Tradisi ini memang sarat makna. Diantaranya adalah meredam amarah dalam diri. Api merupakan simbol amarah dalam diri, yang kemudian diupayakan segera adam. Sama seperti api ketika melalap danyuh, akan cepat sekali habis. Begitu danyuh habis apinya juga mati. Sama harapannya amarah dalam diri itu juga cepat redam,” terang Semara.
Semara menyebut tradisi ini selalu dilaksanakan setelah upacara pangerupukan selesai dilaksanakan di Kahyangan Tiga dan rumah-rumah krama. Begitu selesai melakukan pacaruan, krama lanang akan berkumpul di pinggir jalan di depan rumah masing-masing. Sarana berupa satu ikat daun kelapa kering dan juga korek api sudah sedia. Mereka cukup menunggu aba-aba dari krama lainnya untuk memulai tradisi ini.
Tidak ada ritual khusus yang dilakukan untuk memulai tradisi unik ini. Namun desa adat tetap menurunkan pecalangnya untuk melakukan pengawalan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Seluruh krama melakukan dengan riang gembira, tidak ada amarah yang sesungguhnya. Ini juga mempererat kebersamaan dan ikatan persaudaraan antar krama di sini,” imbuh dia.
Seluruh sukacita yang tercipta dalam tradisi ini, disebut Semara merupakan persiapan batin menjalani Sipeng (puncak Nyepi). Baik dalam hal melaksanakan catur brata penyepian dan juga menyambut tahun baru Saka.
Sementara itu tradisi ini dipastikan selalu rutin digelar setiap Hari Raya Nyepi, kecuali saat pandemi Covid-19 karena ada pembatasan aktivitas masyarakat. Tradisi Maamuk-amukan di Desa Padangbulia ini pun sempat ditampilkan dalam berbagai event Kabupaten. Seperti pawai HUT Kota Singaraja. Tradisi ini pun dalam pengusulan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun ini ke Kemenkumham RI. *k23
1
Komentar