Jadi Kolektor Vinyl Sejak Usia 8 Tahun, Kini Westside MuzeeQ Miliki 7 Ribu Piringan Hitam
MANGUPURA, NusaBali.com – Vinyl atau piringan hitam berbentuk seperti cakram membuat Andhika Gautama salah seorang yang tinggal di kawasan Renon, Denpasar, jatuh cinta. Meski terbilang jadul, namun piringan hitam ini membuat pria berusia 48 tahun mulai mengoleksi piringan hitam merdu sejak ia berusia 8 tahun.
Bagi pria kelahiran Den Haag, Belanda ini mengatakan, kecintaannya kepada piringan hitam ini terpengaruh dari kakak tertuanya yang gemar mengoleksi piringan hitam dan kaset.
“Jadi saat saya kecil sering kali masuk kamarnya (kakaknya) dan mendengarkan koleksi lagu-lagunya. Akhirnya saya terpengaruh sehingga saya ingin ikut mengoleksi dan mengumpulkan lagu-lagu dari band atau artis yang saya suka,” ujar pria yang memiliki nama panggung Westside MuzeeQ saat ditemui di Record Store milikinya yang berlokasi di Atrium Park23 Creative Hub, Kuta, Badung.
Andhika Gautama menuturkan, kakak yang berusia jauh selisih 10 tahun dari usianya itu menyukai vinyl karena terpengaruh dari siaran radio, TV atau dari majalah-majalah era tahun 1970 dan 1980an.
“Jadi saat saya kecil sering kali masuk kamarnya (kakaknya) dan mendengarkan koleksi lagu-lagunya. Akhirnya saya terpengaruh sehingga saya ingin ikut mengoleksi dan mengumpulkan lagu-lagu dari band atau artis yang saya suka,” ujar pria yang memiliki nama panggung Westside MuzeeQ saat ditemui di Record Store milikinya yang berlokasi di Atrium Park23 Creative Hub, Kuta, Badung.
Andhika Gautama menuturkan, kakak yang berusia jauh selisih 10 tahun dari usianya itu menyukai vinyl karena terpengaruh dari siaran radio, TV atau dari majalah-majalah era tahun 1970 dan 1980an.
Sebagai adiknya, Andhika Gautama pun akhirnya mengikuti jejak kakaknya sebagai kolektor vinyl saat masih berusia belia dari band The Beatles, Rolling Stones dan band era itu yang lagu-lagunya masih ia dengar sampai saat ini.
Namun semenjak duduk dibangku SMP, ia mulai menjelajahi dan mengeksplorasi musik lain seperti soul funk & disco atau black music asal AS di era 1970 sampai 1990an. Koleksinya didapatkan saat ia bersama keluarganya tinggal di luar negeri karena ayahnya seorang diplomat yang sering bertugas dan ditempatkan di luar negeri.
Namun semenjak duduk dibangku SMP, ia mulai menjelajahi dan mengeksplorasi musik lain seperti soul funk & disco atau black music asal AS di era 1970 sampai 1990an. Koleksinya didapatkan saat ia bersama keluarganya tinggal di luar negeri karena ayahnya seorang diplomat yang sering bertugas dan ditempatkan di luar negeri.
Saat ini kata Andhika Gautama, ia pun membeli sebuah piringan hitam sembari traveling di berbagai kota di Indonesia, Asia Tenggara dan juga di Eropa. Bahkan koleksinya saat ini terus bertambah dan sudah mencapai di angka 7 ribu piringan hitam.
“Saya belum hitung pasti totalnya berapa, namun piringan hitam itu memang sebagian koleksi saya pribadi berjumlah 3 ribu sampai 4 ribu namun ada juga yang saya jual di Record Store miliki saya. Kurang lebih total antara 7 ribu sampai 8 ribu piringan hitam totalnya,” tuturnya.
Andhika Gautama membeberkan, genre musik yang ia minati lebih dominan genre musik soul & funk di era 1970an. Namun kata dia tidak menutup kemungkinan dirinya mendengarkan musik-musik seperti Jimi Hendrix, The Doors, musik rock era 1970an atau musik elektronik.
Koleksi piringan hitam miliknya rata-rata lagu era tahun 1970 sampai tahun 2000an. Salah satu vinyl pertamanya dan lagu favoritnya yang masih ada didalam inventorinya termasuk Vinyl ukuran 7 inch dari Rick James berjudul Dance Wit Me. Dan koleksi album terbanyak Andhika Gautama ada dari Musisi Legendaris Prince, dimana dia memiliki semua album dari yang pertama hingga album terakhirnya sejak Prince Wafat 2016 silam.
Pria kelahiran Den Haag, Belanda, 3 Maret 1974 itu pun menuturkan, piringan hitam atau vinyl menurutnya adalah sebuah art atau perpaduan antara seni dengan musik. Sebagai seorang kolektor, baginya bukan hanya sekadar mendapatkan sebuah vinyl semata, melainkan mendapatkan kesempatan untuk memegang dan melihat langsung piringan hitam tersebut.
“Kita bisa lihat kalau ini (vinyl) ada foto artisnya, ada lirik lagu, ada sesuatu yang bisa dipegang dan dilihat bahkan sampai detail-detail siapa yang buat rekamannya, lokasinya dimana dan itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan pada saat mendengarkan musik di format digital streaming. Mudah-mudahan dengan adanya rilisan fisik seperti ini juga membantu ekosistem di dunia musik,” ujarnya.
Tak hanya menjadi seorang kolektor biasa, pada tahun 2019 ia menuturkan didatangkan oleh wartawan asal Prancis yang mengunjungi kediamannya di Renon untuk melihat koleksi vinyl miliknya. Ia bercerita awal kiprahnya karena diundang oleh sang wartawan untuk show keluar negeri di antaranya ke Prancis, Belanda dan Republik Ceko, dengan konsep memainkan piringan hitam musik Indonesia era 1960an dan 1970an dengan genre lagu soul, funk & psychedelic.
“Kesempatan ini saya gunakan untuk memperkenalkan musik Indonesia dan saya berhasil menghidupkan serta membuktikan lagu era 1960an dan 1970an dapat diapresiasi di Eropa ” paparnya bercerita.
Setelah berhasil menjadi kolektor yang mempunyai sebuah Record Store, ke depan Andhika Gautama berambisi ingin mengajak band Indonesia termasuk band lokal dari Bali untuk bisa merilis lagu-lagu mereka dengan format piringan hitam. *ris
“Saya belum hitung pasti totalnya berapa, namun piringan hitam itu memang sebagian koleksi saya pribadi berjumlah 3 ribu sampai 4 ribu namun ada juga yang saya jual di Record Store miliki saya. Kurang lebih total antara 7 ribu sampai 8 ribu piringan hitam totalnya,” tuturnya.
Andhika Gautama membeberkan, genre musik yang ia minati lebih dominan genre musik soul & funk di era 1970an. Namun kata dia tidak menutup kemungkinan dirinya mendengarkan musik-musik seperti Jimi Hendrix, The Doors, musik rock era 1970an atau musik elektronik.
Koleksi piringan hitam miliknya rata-rata lagu era tahun 1970 sampai tahun 2000an. Salah satu vinyl pertamanya dan lagu favoritnya yang masih ada didalam inventorinya termasuk Vinyl ukuran 7 inch dari Rick James berjudul Dance Wit Me. Dan koleksi album terbanyak Andhika Gautama ada dari Musisi Legendaris Prince, dimana dia memiliki semua album dari yang pertama hingga album terakhirnya sejak Prince Wafat 2016 silam.
Pria kelahiran Den Haag, Belanda, 3 Maret 1974 itu pun menuturkan, piringan hitam atau vinyl menurutnya adalah sebuah art atau perpaduan antara seni dengan musik. Sebagai seorang kolektor, baginya bukan hanya sekadar mendapatkan sebuah vinyl semata, melainkan mendapatkan kesempatan untuk memegang dan melihat langsung piringan hitam tersebut.
“Kita bisa lihat kalau ini (vinyl) ada foto artisnya, ada lirik lagu, ada sesuatu yang bisa dipegang dan dilihat bahkan sampai detail-detail siapa yang buat rekamannya, lokasinya dimana dan itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan pada saat mendengarkan musik di format digital streaming. Mudah-mudahan dengan adanya rilisan fisik seperti ini juga membantu ekosistem di dunia musik,” ujarnya.
Tak hanya menjadi seorang kolektor biasa, pada tahun 2019 ia menuturkan didatangkan oleh wartawan asal Prancis yang mengunjungi kediamannya di Renon untuk melihat koleksi vinyl miliknya. Ia bercerita awal kiprahnya karena diundang oleh sang wartawan untuk show keluar negeri di antaranya ke Prancis, Belanda dan Republik Ceko, dengan konsep memainkan piringan hitam musik Indonesia era 1960an dan 1970an dengan genre lagu soul, funk & psychedelic.
“Kesempatan ini saya gunakan untuk memperkenalkan musik Indonesia dan saya berhasil menghidupkan serta membuktikan lagu era 1960an dan 1970an dapat diapresiasi di Eropa ” paparnya bercerita.
Setelah berhasil menjadi kolektor yang mempunyai sebuah Record Store, ke depan Andhika Gautama berambisi ingin mengajak band Indonesia termasuk band lokal dari Bali untuk bisa merilis lagu-lagu mereka dengan format piringan hitam. *ris
1
Komentar