Guru Besar Fakultas Pertanian Unud Prof Dr Ir I Wayan Windia SU Berpulang
Sehari Sebelum Meninggal Masih Sempat Tandatangani Tesis Mahasiswa
Prof I Wayan Windia sempat menjabat Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana. Salah satu perannya yakni meloloskan Subak Jatiluwih, Tabanan, sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO.
GIANYAR, NusaBali
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Prof Dr Ir I Wayan Windia, 73, meninggal dunia. Pakar subak ini menghembuskan napas terakhirnya dalam perawatan di RSUP Prof dr IGNG Ngoerah (RSUP Sanglah) Denpasar pada Sabtu (1/4/2023) sekitar pukul 04.30 Wita. Kabar duka ini cukup mengejutkan keluarga. Sebab dalam keseharian, Prof Windia masih aktif mengajar maupun berorganisasi.
“Jumat kemarin (31/3/2023), beliau masih sempat tanda tangan tesis mahasiswanya,” ungkap I Ketut Suaryadala, adik bungsu almarhum saat ditemui di rumah duka Banjar Gelulung, Desa/Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Sabtu (1/4) sore.
Sebelum meninggal dunia, Prof Windia sempat mengeluhkan sakit di sekitar tulang rusuk. “Jumat malam mengeluh sakit, masuk RS Puri Raharja. Sabtu sekitar pukul 02.00 Wita tiba-tiba kritis dirujuk ke RSUP Sanglah,” ucap Suaryadala.
Dari hasil pemeriksaan medis, ditengarai ada cairan pada paru-paru Prof Windia. “Diagnosanya belum keluar, tapi kata dokter demikian. Ada cairan di paru-paru,” imbuh pensiunan ASN Pemkot Denpasar ini.
Almarhum yang masih menjabat Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISPOL) Wira Bhakti masa bakti 2020-2024 ini meninggalkan seorang istri, dua anak, dan 3 cucu. Semasa hidup, almarhum lebih banyak menghabiskan waktu di Denpasar. Prof Windia tinggal hanya berdua dengan istrinya Gusti Ayu Mandriwati di Jalan Suli, Lingkungan Kerta Bhuana Kaja, Denpasar. Sementara dua anaknya meniti karier di tanah rantau. Anak sulungnya Putu Gde Ariastita sebagai dosen Jurusan Planologi di ITS Surabaya dan putri bungsu Ni Made Loviani, seorang Psikolog di Bandung.
“Meskipun terbatas jarak, bapak sangat perhatian ke anak cucu. Kamis (30/3/2023) dua hari lalu juga bapak masih sempat chat, bilang kondisinya baik-baik saja, ‘de runguange bapak’ (jangan hiraukan bapak, Red),” kata Putu Gde Ariastita.
Semasa hidup, Prof Windia memang tipikal orangtua yang tidak ingin membuat khawatir anak-anaknya. “Setiap kali bapak ada mengeluh sakit, pasti selalu berkabar. Tumben dua minggu terakhir ini berbeda dari biasanya. Saya coba telepon ibu, mungkin didengar sama bapak, langsung beliau chat ke WA, katanya ‘bapak sing kenken’. Bapak memang begitu, tidak pernah mau merepotkan kami,” imbuh Putu Gde Ariastita.
Saat ini, jenazah almarhum masih dititipkan di Forensik RSUP Prof Ngoerah Denpasar. Rencananya prosesi pengabenan akan berlangsung pada Anggara Paing Bala, Selasa (11/4), di Setra Pura Dalem Gede Desa Adat Sukawati. “Minggu tanggal 9 April kami pulangkan ke rumah duka,” ucap Putu Gde Ariastita.
Untuk diketahui, kesuksesan almarhum sebagai Profesor pertanian diraih penuh dengan perjuangan. Putra dari almarhum Made Sanggra, seorang sastrawan Bali modern, dan Ni Made Yarti, itu ketika masih duduk di SMAN Gianyar, merangkap sebagai pengantar (loper) koran.
Demikian pula ketika kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Udayana merangkap menjadi pesuruh dan guru honorer di Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) Negeri Gianyar.
Prof Windia saat menyelesaikan S1 juga menjadi wartawan Harian Nusa Tenggara (cikal bakal NusaBali), kemudian menjadi wartawan Harian KAMI, Sinar Harapan, dan Suara Pembaruan (hingga pensiun).
Ayah dua anak itu menyandang gelar guru besar tahun 2008. Tatkala diangkat menjadi asisten dosen pada 1975 dan kemudian menjadi dosen pada 1977, tetap melanjutkan perannya sebagai wartawan hingga pensiun di Harian Suara Pembaruan (Jakarta) tahun 2002 (umur 56 tahun pada waktu itu).
Prof Windia juga aktif dalam organisasi sosial, pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Golkar tahun 1977.
Sederetan jabatan sosial yang pernah diembannya antara lain Ketua Pemuda Panca Marga Bali, Wakil Sekjen Pemuda Panca Marga Pusat. Ketua Bidang Pemuda dan Cendekiawan DPD Golkar Bali.
Bahkan sempat mengemban kepercayaan sebagai Wakil Ketua PWI Bali, dan Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana.
Semua tugas dan tanggung jawab yang diembannya itu dapat dilaksanakan dengan baik, atas dasar kerja keras, dedikasi, dan pengabdian yang tinggi.
Prof Windia, putra salah seorang veteran pejuang kemerdekaan RI itu meskipun kesibukannya sangat padat dalam menyelesaikan program strata dua (S2) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta keluar sebagai lulusan terbaik.
Demikian pula pascasarjana (S3) di UGM berhasil meraih gelar doktor tahun 2003 dengan predikat sangat baik dan lima tahun kemudian (2008) menyandang gelar guru besar.
Prof Windia yang senantiasa memimpin mahasiswa dan dosen untuk mengadakan penelitian tentang subak di Bali sejak awal telah mengingatkan, agar Pemerintah Provinsi Bali maupun pemkab dan pemkot menetapkan adanya sawah abadi.
Upaya itu untuk menjaga kesinambungan lahan pertanian dan mempertahankan swasembada pangan, lantaran lahan pertanian di Bali belakangan ini semakin terdesak akibat alih fungsi lahan pertanian yang tidak bisa dihindari.
Alih fungsi lahan yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 1.000 hektare selama lima tahun terakhir, kini membuahkan hasil dengan adanya pengakuan UNESCO untuk menetapkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD).
UNESCO menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Badung, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar, dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli, sebagai satu kesatuan dalam penetapan WBD.
Sementara itu, meski telah purna tugas, jasa Prof Windia dalam membangun dan menjaga dunia pertanian di Bali akan selalu dikenang dan diteladani para penerusnya di kampus terbesar Bali, Universitas Udayana.
Juru Bicara Unud Putu Ayu Asty Senja Pratiwi menyampaikan, Unud merasakan duka yang mendalam atas kepergian guru besar yang dikenal getol memperjuangkan eksistensi subak di Pulau Dewata.
“Kami kehilangan tokoh panutan yang sangat loyal pada pertanian khususnya subak,” ujar Senja Pratiwi, Sabtu (1/4).
Foto: Suasana rumah duka almarhum Prof Dr Ir I Wayan Windia SU di Banjar Gelulung, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar, Sabtu (1/4). -NOVI
Prof Windia selama kiprahnya di Unud memang dikenal lantang menyuarakan pelestarian organisasi sosial-religius subak. Guru besar yang juga pernah aktif sebagai jurnalis ini sempat menjabat Ketua Pusat Penelitian Subak Unud. Salah satu perannya yakni meloloskan Subak Jatiluwih, Tabanan, sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Selain aktif melakukan penelitian di bidang pertanian, kiprah Prof Windia di Unud juga pernah diisi dengan menjabat Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana. Prof Windia yang diketahui putra dari sastrawan Bali modern Made Sanggra bergabung sebagai dosen di Unud sejak 1977 sebelum diangkat sebagai guru besar (profesor) pada 2008.
“Beliau sampun pensiun. Banyak kesan yang ditinggalkan oleh beliau kepada kolega dan junior-juniornya di Unud,” kata Senja Pratiwi.
Menurut Senja Pratiwi sosok Prof Windia dikenal sebagai sosok yang ramah dan tidak pelit berbagi ilmu maupun pengalaman hidupnya yang panjang.
“Tidak hanya di bidang akademis, tapi juga petuah kehidupan bagi kami. Dumogi amor ing acintya,” tutur Senja Pratiwi yang juga dosen Sastra Inggris Unud ini. 7 nvi, cr78
1
Komentar