Apa Kutu Loncat Selalu Bermakna Buruk?
APAKAH berpindah-pindah pekerjaan, afiliasi, rumah, partai, dan sebagainya selalu dicap sebagai kutu loncat? Di lapangan, kutu loncat bisa bermakna manusiawi, baik-buruk, kebebasan, atau kenyamanan.
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Profesor Tetap Universitas Warmadewa
Kutu loncat bisa bermakna manusiawi, karena seseorang menerima upah gaji rendah. Upah memegang peranan penting bagi seorang pekerja, agar dia bisa menjamin kelangsungan hidup. Upah juga merupakan salah satu bentuk kompensasi, di mana pekerja menerima imbalan dari pemberi kerja atas jasa yang telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pertimbangan ketidakcukupan tersebut dia menjadi kutu loncat atau berpindah pekerjaan lain agar dia bisa menyambung hidup.
Berbeda motif kalau seseorang berpindah afiliasi, misalnya dari kelompok A melompat ke B. Afiliasi kerap kali dikaitkan dengan pertalian sebagai anggota atau cabang dalam sebuah organisasi. Keuntungan yang bisa didapat dari afiliasi adalah penggunaan modal yang minim, bahkan boleh dibilang hampir tidak mengeluarkan uang sama sekali. Sebab, ketika bisa menjual produk perusahaan tanpa harus membelinya terlebih dahulu, cukup melakukan promosi saja agar konsumen tertarik dan melakukan pembelian.
Perpindahan politisi dan pejabat publik dari satu parpol ke parpol lain lazim di era reformasi demokrasi. Publik menilai perpindahan itu hanya sekadar pragmatisme, bukan idealisme. Praktik kutu loncat seperti itu tidak ada yang melarang, tidak juga ada undang-undangnya. Namun, bila disimak cermat bahwa kelakuan para kutu loncat bisa merusak tatanan politik.
Francis Fukuyama (2011), ilmuwan politik, ekonom politik, dan penulis Amerika Serikat, berpandangan bahwa perilaku kutu loncat akan membuat suatu negara dalam keadaan tidak stabil. Dia juga berpandangan bahwa sebuah negara yang stabil harus modern dan kuat untuk mematuhi aturan hukum yang mengatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Francis Fukuyama bahwa keleluasaan untuk berpindah afiliasi politik akan mengakhiri pertarungan antar-ideologi besar, seperti ambruknya tembok Berlin dan runtuhnya Uni Soviet.
Satu pertanyaan muncul, mengapa ada sebagian masyarakat bisa mencapai demokrasi dan pada saat yang sama mampu merawat tatanan politik yang stabil, sementara masyarakat yang lain tidak? Dan, apakah demokrasi bisa beradaptasi berhadapan dengan tantangan-tantangan baru? Francis Fukuyama menjawab bahwa demokrasi modern baru bisa tumbuh kalau mempunyai tiga unsur: negara kuat, rule of law, dan pemerintahan yang akuntabel. Masalahnya, dalam sejarah peradaban manusia, tiga hal tersebut tidak selalu ada bersama, dan sering kali terpisah satu sama lain.
Dalam pandangan Fukuyama, motor penggerak sebagai kutu loncat bukanlah sekadar naluri dan dorongan material, melainkan hasrat akan pengakuan. Dalam sejarah, mula-mula muncullah sekelompok orang yang bertarung untuk mendapatkan pengakuan dengan cara memperbudak orang lain.
Tapi dalam perkembangannya, kaum budak dan kalangan bawah yang punya hasrat akan pengakuan, juga tak henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan pengakuan. Perjuangan mereka akhirnya berhasil dengan munculnya demokrasi.
Singkat kata, demokrasi adalah semacam universalisasi hasrat akan pengakuan. Sejatinya, para kutu loncat membutuhkan suatu pengakuan, yaitu, pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de jure adalah ungkapan yang berarti berdasarkan atau menurut hukum, yang dibedakan dengan de facto, yang berarti pada kenyataannya. Dengan adanya pengakuan, maka seseorang memiliki ‘power’ untuk menghegemoni sebuah pikiran, perasaan, dan tindakan.
Hegemoni adalah sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Tujuan dari adanya hegemoni adalah menarik perhatian masyarakat atau mengarahkan pada hal-hal yang dihegemoni (egemonia), Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah konsensus di mana ketertundukan diperoleh melalui penerimaan ideologi kelas yang menghegemoni oleh kelas yang terhegemoni. 7
1
Komentar