Batas Wewidangan Kuta dan Pemogan Masih Jadi Polemik
MANGUPURA, NusaBali
Persoalan batas wewidangan atau batas wilayah antara Desa Adat Kuta dan Desa Adat Pemogan belum sepenuhnya selesai.
Polemik kembali terjadi menyusul aktivitas pembangunan gapura di salah satu titik ruang milik jalan (rumija) di Jalan Griya Anyar, Kuta. Persoalan ini pun sempat viral di media sosial (medsos). Pemerintah Kabupaten Badung sempat mengecek pembangunan gapura itu pada Senin (10/4), mengingat lokasi pembangunan masuk wilayah administrasi Kabupaten Badung. Namun, Pemkab Badung juga tak bisa berbuat banyak lantaran ini menyangkut batas wewidangan antara dua desa adat, sehingga penyelesaiannya dipandang harus antar kedua desa adat, yakni Desa Adat Kuta dan Desa Adat Pemogan.
Camat Kuta D Ngurah Bhayudewa, membenarkan bersama sejumlah instansi turun ke lokasi karena adanya laporan ada aktivitas pembangunan gapura di rumija wilayah Badung. Saat mengetahui adanya pembangunan gapura, dia pun hadir bersama dengan Kasi Trantib dan Satpol PP BKO Kuta, serta Kabag Tapem Badung serta atensi dari unsur TNI dan Polri.
“Kami turun untuk menegakkan aturan, karena adanya aktivitas pembangunan di wilayah administrasi Kabupaten Badung. Jadi bukan soal membangun tapal batas adat yang kami persoalkan,” katanya, Selasa (11/4).
“Kami menindaklanjuti adanya aktivitas pembangunan di rumija yang notabene memanfaatkan tanah negara. Jadi bukan karena yang dibangun itu adalah tapal batas adat, tapi apapun yang dibangun memanfaatkan tanah negara, itu wajib untuk minta izin terlebih dahulu ke pemerintah daerah bersangkutan,” imbuhnya.
Berdasarkan pada regulasi berlaku, Ngurah Bhayudewa mengatakan sesungguhnya pemberhentian ataupun pembongkaran bisa saja langsung dilakukan. Namun karena mempertimbangkan kondusivitas wilayah, langkah tersebut tidaklah dilakukan. “Sebagai tindak lanjut akan dilakukan pembahasan terlebih dahulu bersama Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah,” tegasnya.
Sementara Sekda Badung I Wayan Adi Arnawa, mengaku sudah menerima laporan terkait adanya aktivitas pembangunan batas wewidangan di wilayah administratif Kabupaten Badung dengan memanfaatkan rumija. Adi Arnawa menilai bahwa pembangunan gapura sebagai batas wewidangan merupakan hal yang berlebihan. Bahkan menurut dia, penanda batas wewidangan adat tidak perlu sampai memanfaatkan rumija. “Sebenarnya tidak mesti harus membuat gapura. Cukup penanda kecil saja, apalagi memanfaatkan rumija yang mengganggu lalu lintas jalan,” ujarnya.
Untuk diketahui, persoalan tapal batas antara kedua wilayah, yakni Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sudah pernah diselesaikan pada 2021. Artinya batas wilayah kedinasan, atau batas dinas sejatinya sudah selesai. Namun yang bergulir sampai saat ini adalah batas desa adat.
Pada saat itu, Bupati Giri Prasta meninjau langsung pembangunan identitas batas wilayah Kabupaten Badung yang berlokasi di Jalan Glogor Carik Kuta pada 2021. Menurut Bupati Giri Prasta penetapan batas wilayah Kabupaten Badung dan Kota juga sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. “Permendagri Nomor 142 Tahun 2017 secara jelas telah memutuskan tentang Batas Wilayah Kabupaten Badung dengan Kota Denpasar. Selaku kepala daerah kami harus taat dan patuh pada aturan yang ada, justru kalau kami tidak melaksanakan itu, kami yang salah,” ujarnya. *dar
1
Komentar