MUTIARA WEDA: Hidup, Abadi atau Sementara?
Na hi prānāt priyataram loke kincana vidyate, Tasmāddayām narah kuryyād yathātmani tathā pare. (Sarasamucchaya, 152)
Tidak ada yang lebih berharga dari hidup. Oleh sebab itu, seseorang harus bersikap baik kepada orang lain seperti kepada dirinya sendiri.
MENGAPA harus bersikap baik kepada orang lain? Teks di atas menjawab: karena ‘hidup’. Apa signifikasi dari hidup? Bukankah hidup ini sangat rapuh, kapan saja bisa hilang? Bukankah hidup itu mesti saling makan satu sama lain dalam rantai makanan? Bukankah alam telah mengaturnya demikian? Jika berbuat baik mesti dilakukan hanya gara-gara nilai hidup itu paling tinggi, tidakkah itu melanggar hukum alam? Apakah mungkin teks di atas diterapkan secara praktis? Apa maksudnya teks di atas?
Teks di atas sepertinya tidak mencoba melawan prinsip rantai makanan yang telah ada di alam. Tidak pula mencoba menyindir manusia yang kehidupannya saling makan. Tidak pula berupaya mempropagandakan bahwa hidup mesti tidak memakan-makanan yang mengandung kehidupan. Jika teks di atas ditelaah dari sisi Upanisad, maka tampak bahwa penekanan teks di atas tidak pada ‘bersikap baik’-nya kepada orang lain. Teks di atas lebih fokus pada ‘hidup’. Teks di atas ingin mengajak kita untuk memahami secara benar tentang ‘hidup’. Yang kita pahami tentang ‘hidup’ selama ini adalah bersifat ‘sementara’ yang setiap saat bisa hilang bersama dengan berhentinya napas. Upanisad melihatnya dengan cara berbeda.
Setiap orang menyadari dirinya hidup. Ketika tidak sadar, maka mereka mati. Di dunia ini ada sekitar 7 miliar orang yang sedang hidup. Si Ujang hidup, si Robert hidup, si Paulus hidup, dan seterusnya. Jika demikian berapa ada ‘hidup’? Upanisad mengajak kita merenungkannya dan berkesimpulan bahwa ‘hidup’ itu tunggal adanya, yakni ‘hidup’ yang ada pada di Ujang, si Robert, si Paulus, dan yang lainnya. Di dalam orang-orang itulah ‘hidup’ itu mengambil ekspresi. Ketika napas mereka berakhir, maka ekspresi ‘hidup’ juga berakhir. Lalu apakah ‘hidup’ berakhir? Tidak. Hidup itu ada sepanjang zaman dan itu bisa dijustifikasi ketika masih ada orang yang sadar bahwa dirinya sedang hidup. Sehingga ‘hidup’ itu tidak pernah mati. Hanya orang yang bisa mati, sementara ‘hidup’ itu sendiri tidak pernah mati, selamanya demikian.
Jadi, menurut Upanisad hidup itu abadi, hanya mengambil ekspresi pada seluruh makhluk hidup. Makhluk itu bersifat sementara, sebaliknya ‘hidup’ yang ada pada diri masing-masing makhluk bersifat abadi. Sehingga, teks di atas sebenarnya secara positif merupaya mengajak kita untuk berkontemplasi pada hidup dan memahami hidup secara benar. Jika kita mampu melihat bahwa hidup itu tunggal, abadi, berada pada setiap makhluk hidup, dan menyelimuti segalanya, maka secara etis kita akan melihat diri sendiri ada pada orang lain. Mengapa? Karena kita paham bahwa pada diri orang lain ada ‘hidup’ dan pada diri sendiri juga ada, dan adanya hidup itu sama di setiap makhluk. Teks kemudian menyimpulkannya dengan diktum ‘tat tvam asi’. Orang lain secara prinsip sama dengan diri kita sendiri sehingga menyakiti orang lain sama halnya menyakiti diri sendiri.
Teks di atas mengajak kita semua agar keputusan yang dilakukan lahir dari kesadaran ini. Menyadari bahwa ‘hidup’ orang lain adalah sama dengan ‘hidup’ diri kita sendiri, tentu kebaikan akan hadir secara alami. Kita tidak lagi berbuat baik kepada orang oleh karena alasan politis, seperti berbuat baik kepada orang agar nanti orang itu juga berbuat baik kepada kita. Mungkin alasan agar mendapat balasan yang setimpal itu tidak ada masalah, sebab memang kejadiannya sebagian besar demikian, tetapi itu tidak alami. Kebaikan yang tidak alami menjadikan orang stagnan dan cenderung menderita, sebab harapan untuk mendapat balasan yang setimpal lebih sering tidak terjadi. Sebaliknya, orang yang kebaikannya alami, yang hadir dari kesadarannya, dari pemahamannya yang benar tentang ‘hidup’, tentu dia tidak lagi berharap agar kebaikannya dibalas. Orang yang berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan, kehidupannya akan lebih stabil. Inilah konsekuensinya dari kesadaran itu. *
I Gede Suwantana
Komentar