Sajian Parade Budaya Tambah Daya Tarik Garuda Wisnu Kencana
MANGUPURA, NusaBali.com – Tidak hanya menikmati panorama Pulau Dewata dari ketinggian Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK), namun pengunjung GWK juga bisa menikmati beberapa kegiatan seni budaya yang rutin diselenggarakan di kawasan GWK Culture Park, Kuta Selatan, Badung Bali.
Koordinator Tari GWK, Kadek Karunia Artha mengatakan parade budaya ini merupakan atraksi seni yang mengambil tema tentang culture (budaya, Red) Bali khususnya Tari Sanghyang.
“Di sini difokuskan pada dua tarian yakni tari Sanghyang Jaran dan Sanghyang Dedari sebagai salah satu sarana masyarakat Bali untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Jadi kita kemas dalam garapan tari baru dan kita buat seperti orang mapeed (iring-iringan membawa sesajen, Red) jadi suasananya seperti sedang ada parade di Bali,” ujar Koordinator Tari GWK, Kadek Karunia Artha, saat ditemui disela-sela persiapan, belum lama ini.
Parade budaya yang selalu dipertunjukkan di Lotus Pond pada pukul 17.00 Wita ini, ditarikan oleh sanggar internal GWK yang merupakan staf khusus pekerja seni di GWK, berjumlah 19 penari dan 13 orang penabuh yang juga merupakan warga asli Bali.
Dilihat secara fungsionalnya tari ini digunakan sebagai tari wali atau tari ritual di Bali dan sebagai sarana komunikasi masyarakat Bali kepada Tuhan dan Alam.
“Dilihat dari level para dedari itu pasti berada di atas. Jadi bagaimana masyarakat Bali ini menjaga hubungan vertikal dan horizontalnya,” lanjut Kadek Karunia Artha.
Karena tarian ini bersifat komersil, Kadek Karunia Artha pun menjelaskan tidak ada pantangan-pantangan bagi seluruh penari. Hanya saja pihaknya berpatokan dengan etika, estetika, dan logika. Sementara soal pakem pada tarian pun, ia menuturkan pihaknya tidak berbicara tentang pakem karena ini merupakan tari baru yang hanya mengambil esensinya lalu menginterpretasi ulang. Karena jika berpatokan pada pakem itu sesuatu yang telah disepakati.
Tarian yang berdurasi kurang lebih 10 menit ini terlebih dahulu para penari dan penabuh akan berkeliling seperti orang mapeed (iring-iringan membawa sesajen, Red) dari area Lotus Pond dan kemudian bergerak menuju area Festival Park. Pada barisan terdepan terdapat pula dua orang pamangku yang mengenakan pakaian serba putih sebagai pengantar upacara.
“Kita parade dulu baru shownya. Jadi di sini kita juga sesuai keadaan pentasnya. Dulu kan hanya di Lotus Pond kita naik ke atas ke Plaza Wisnu, lalu kita baru turun. Karena saat ini ada event jadi kita pentaskan di area Festival Park, jadi fleksibel,” tuturnya.
Para penonton pun sangat antusias melihat pertunjukan tari dari Parade Budaya GWK ini. Apa lagi sangat para penari Sanghyang Dedari naik ke atas pundak para penari laki-laki menjadi klimaks pertunjukan ini.
“Penonton selama ini sangat antusias, karena mereka juga pengunjung dari luar Bali jadi mereka ingin tahu bagaimana sih Bali itu. Jadi kebetulan kami membuatnya secara ringkas di sini bagaimana penonton bisa melihat orang mapeed maka dari itu kami juga ada orang yang membawa gebogan (sesajen, Red) di depan,” paparnya.
Salah satu pengujung asal Jakarta Selatan, Ririn Diana, 32, pun mengatakan ketakjubannya melihat parade budaya di GWK ini.
“Ini adalah pertama kali saya ke Bali dan sangat luar biasa bagus banget, sepertinya akan ke sini lagi. Para penari juga kompak ya dari yang laki-laki dan perempuan itu mereka bagus, mulai dari senyuman mereka, keramahan mereka itu terlihat dari tarian tadi. Apa lagi tadi saat ada yang naik ke pundak itu luar biasa sekali, hebat!” ujarnya kagum.
Memang menjadi momen pertama di hidupnya, pasalnya Ririn mengaku ini kali pertamanya ke Bali dan ia berharap nanti bisa berkunjung kembali ke Bali.
“Yang pasti saya akan balik lagi ke sini, saya takjub,” tandasnya.
Koordinator Tari GWK, Kadek Karunia Artha pun turut berharap, pihak GWK Culture Park ini bisa kembali menggandeng lebih banyak seniman di Bali.
“Harapan saya sebagai seniman, GWK itu lebih bisa menambahkan ruang-ruang kreativitas bagi seniman. Seperti sekarang sudah, tetapi ke depannya lebih di buka lagi. Saya harap juga ke depannya GWK ini bisa sebagai pusat budayanya Bali dalam bidang pariwisata,” pungkas Kadek Karunia Artha. *ris
“Di sini difokuskan pada dua tarian yakni tari Sanghyang Jaran dan Sanghyang Dedari sebagai salah satu sarana masyarakat Bali untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Jadi kita kemas dalam garapan tari baru dan kita buat seperti orang mapeed (iring-iringan membawa sesajen, Red) jadi suasananya seperti sedang ada parade di Bali,” ujar Koordinator Tari GWK, Kadek Karunia Artha, saat ditemui disela-sela persiapan, belum lama ini.
Parade budaya yang selalu dipertunjukkan di Lotus Pond pada pukul 17.00 Wita ini, ditarikan oleh sanggar internal GWK yang merupakan staf khusus pekerja seni di GWK, berjumlah 19 penari dan 13 orang penabuh yang juga merupakan warga asli Bali.
Dilihat secara fungsionalnya tari ini digunakan sebagai tari wali atau tari ritual di Bali dan sebagai sarana komunikasi masyarakat Bali kepada Tuhan dan Alam.
“Dilihat dari level para dedari itu pasti berada di atas. Jadi bagaimana masyarakat Bali ini menjaga hubungan vertikal dan horizontalnya,” lanjut Kadek Karunia Artha.
Karena tarian ini bersifat komersil, Kadek Karunia Artha pun menjelaskan tidak ada pantangan-pantangan bagi seluruh penari. Hanya saja pihaknya berpatokan dengan etika, estetika, dan logika. Sementara soal pakem pada tarian pun, ia menuturkan pihaknya tidak berbicara tentang pakem karena ini merupakan tari baru yang hanya mengambil esensinya lalu menginterpretasi ulang. Karena jika berpatokan pada pakem itu sesuatu yang telah disepakati.
Tarian yang berdurasi kurang lebih 10 menit ini terlebih dahulu para penari dan penabuh akan berkeliling seperti orang mapeed (iring-iringan membawa sesajen, Red) dari area Lotus Pond dan kemudian bergerak menuju area Festival Park. Pada barisan terdepan terdapat pula dua orang pamangku yang mengenakan pakaian serba putih sebagai pengantar upacara.
“Kita parade dulu baru shownya. Jadi di sini kita juga sesuai keadaan pentasnya. Dulu kan hanya di Lotus Pond kita naik ke atas ke Plaza Wisnu, lalu kita baru turun. Karena saat ini ada event jadi kita pentaskan di area Festival Park, jadi fleksibel,” tuturnya.
Para penonton pun sangat antusias melihat pertunjukan tari dari Parade Budaya GWK ini. Apa lagi sangat para penari Sanghyang Dedari naik ke atas pundak para penari laki-laki menjadi klimaks pertunjukan ini.
“Penonton selama ini sangat antusias, karena mereka juga pengunjung dari luar Bali jadi mereka ingin tahu bagaimana sih Bali itu. Jadi kebetulan kami membuatnya secara ringkas di sini bagaimana penonton bisa melihat orang mapeed maka dari itu kami juga ada orang yang membawa gebogan (sesajen, Red) di depan,” paparnya.
Salah satu pengujung asal Jakarta Selatan, Ririn Diana, 32, pun mengatakan ketakjubannya melihat parade budaya di GWK ini.
“Ini adalah pertama kali saya ke Bali dan sangat luar biasa bagus banget, sepertinya akan ke sini lagi. Para penari juga kompak ya dari yang laki-laki dan perempuan itu mereka bagus, mulai dari senyuman mereka, keramahan mereka itu terlihat dari tarian tadi. Apa lagi tadi saat ada yang naik ke pundak itu luar biasa sekali, hebat!” ujarnya kagum.
Memang menjadi momen pertama di hidupnya, pasalnya Ririn mengaku ini kali pertamanya ke Bali dan ia berharap nanti bisa berkunjung kembali ke Bali.
“Yang pasti saya akan balik lagi ke sini, saya takjub,” tandasnya.
Koordinator Tari GWK, Kadek Karunia Artha pun turut berharap, pihak GWK Culture Park ini bisa kembali menggandeng lebih banyak seniman di Bali.
“Harapan saya sebagai seniman, GWK itu lebih bisa menambahkan ruang-ruang kreativitas bagi seniman. Seperti sekarang sudah, tetapi ke depannya lebih di buka lagi. Saya harap juga ke depannya GWK ini bisa sebagai pusat budayanya Bali dalam bidang pariwisata,” pungkas Kadek Karunia Artha. *ris
Komentar