Rezeki ‘Luas’ dari Tamu
Seorang travell writer berkisah tentang perjalanannya mengunjungi lima benua, membelah tujuh samudera, dan menuangkannya ke dalam belasan buku. Ia mendatangi negeri-negeri teduh, damai, juga negeri yang ricuh, sangar, tapi dengan pemandangan laut dan gunung sangat indah.
Para pembaca buku-buku itu mendapat kesan mendalam tentang alam dengan bangsa nan damai, juga cerita tentang bangsa-bangsa yang tak henti bergejolak; negeri-negeri yang kaya dan miskin, yang lapar, namun bisa selalu tersenyum. Tulisan-tulisannya yang mengasyikkan justru tentang Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ia banyak berkisah perihal kehidupan penuh welas asih, namun juga kebiasaan hidup yang berlumur dengki, gosip, amarah, dendam.
Tentu ia juga menulis tentang Bali. “Negeri yang selalu membuat saya bergetar dan tergoda untuk kembali,” ungkapnya. Ia berpendapat, di sini pendatang dihargai lebih dari sekadar tamu, tapi juga raja, sehingga banyak pendatang, turis, yang kemudian menetap dan berpengaruh kuat pada pola hidup setempat. Memberi orang-orang lokal rezeki, pengetahuan, masukan, dan cara pandang baru untuk memperkaya peradaban, atau menyulap hidup seseorang dari miskin menjadi kaya, semula kelaparan menjadi kekenyangan.
Bagi orang Bali, tamu itu selalu istimewa. Atau jika ada pendatang yang khas dan istimewa, mereka sebut tamu. Turis asing bagi orang Bali itu sosok-sosok istimewa, karena kulit mereka beda, cara berpakaian mereka khas, modern, dan terpelajar. Seperti dulu orang-orang Indian di benua Amerika yang memandang kaum kulit putih seperti para utusan dari negeri antah berantah.
Hampir semua orang Bali menganggap bertemu orang-orang istimewa itu adalah perjalanan untuk mendapatkan berkah atau rezeki. Karena itu mereka menyebut dengan kata ‘luas’, bahasa Bali yang artinya bepergian. Luas dimaknai sebagai perjalanan untuk urusan sangat penting, dan acap kali bermakna perjalanan jauh. Dulu, tahun 60-70an, orang-orang dari Bali Timur seperti Klungkung atau Karangasem luas ke Bali Barat, seputar Desa Pupuan atau Banyuatis, untuk bekerja sebagai buruh pemetik kopi. Beberapa keluarga luas ke Jembrana, menetap hingga kini menjadi petani dan pemilik kebun. Keluarga-keluarga Bali yang bertransmigrasi ke Sulawesi atau ke Sumatera, juga disebut luas, melakukan perjalanan jauh untuk hidup, memburu rezeki.
Para pemandu wisata, sopir angkutan umum, pengemudi taksi, banyak dilakoni orang Bali. Jika bertemu kerabat sering bertanya, “Buin mani luas Yan?” Maksudnya, besok libur atau cari muatan? Ungkapan luas sering muncul jika ada kesibukan adat atau hari raya. Seperti hari-hari Batara Turun Kabeh di Pura Besakih, banyak para sopir taksi atau pekerja jalanan yang saling bertukar kabar lewat WA grup tentang apakah jadwal kerja mereka mencari nafkah terganggu atau tidak oleh kesibukan adat yang berderet-deret belakangan ini?
Ada yang menulis, “Beh, ngetelun sing maan luas ngayah odalan di banjar.” Artinya tiga hari libur karena kesibukan adat. Ada juga yang berkabar, sudah empat hari tidak luas karena tidak enak badan, flu. Seseorang mungkin menulis di grupnya, “Biasanya saya luas mengantar tamu, sekarang luas mengantar krama tangkil ke Besakih.” Tentu, luas mengantar tamu atau krama sama-sama dapat bayaran. Karena itu, luas selalu punya makna ekonomi, perjalanan penuh pengharapan untuk memperoleh rezeki.
Tapi, sesungguhnya makna terpenting dari luas adalah bepergian jauh. Seorang ibu ketika melahirkan, beberapa hari kemudian si ayah bersama si kakek akan mengunjungi orang pintar (sedahan), untuk menanyakan siapa gerangan yang menitis melalui si bayi. Kegiatan bertanya ke sedahan ini disebut meluasang, bisa jadi asal-usulnya dari kata luas, berangkat untuk menanyakan orang dari jauh, leluhur, yang turun ke bumi.
Ada yang berpendapat luas itu punya makna suci, sehingga yang bersangkut paut dengan luas itu harus diresapi sebagai sesuatu yang luhur. Luas bertemu tamu bule harus dimaknai sebagai karunia, karena memberi rezeki, penghasilan. Mungkin pemahaman ini membuat orang Bali tidak gampang kalau diajak membenci bule yang ugal-ugalan itu, yang suka bikin foto bugil di pohon-pohon suci dan tempat sakral. Tidak mudah memarahi wisatawan, pendatang, yang bikin onar, karena mereka tetap saja tamu, pembawa rezeki. Menghardik mereka bisa diartikan sebagai pengkhianatan terhadap luas, merusak ekonomi, menodai sesuatu yang suci. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar