Metode Terbalik
Kārunyenātmano moham trsnam ca paritosatah, Utthānena jayet tandrim vitarkam niscayājjayet. (Sarasamucchaya, 416)
Seseorang harus mengalahkan kesombongan dengan welas asih, keserakahan dengan kepuasan, kelesuan dengan energi, dan keraguan dengan kepastian.
Metode, teknik, alat, anasir dan sejenisnya, secara prinsip, dibangun untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi manusia. Intension dari cara kerja metode atau teknik tersebut bisa searah dengan masalah itu atau berlawanan, disesuaikan dengan jenis masalahnya. Seperti misalnya orang yang kelelahan saat mendaki gunung perlu teman lain untuk mendorong atau menariknya naik. Petani perlu bajak atau cangkul untuk menggemburkan ladangnya. Intensi dari teknik atau alat ini adalah sejalan. Intensi dari orang yang naik gunung adalah segera sampai pada puncak gunung. Kelelahan adalah masalahnya. Untuk mengatasi masalah itu perlu cara agar bisa sampai tujuan. Caranya dengan didorong, ditarik atau diangkut. Begitu pula petani memerlukan tanah yang gembur untuk bisa bercocok tanam. Tanah yang keras masalahnya. Untuk itu diperlukan cara, dengan menggemburkannya. Cangkul atau bajak alatnya. Antara masalah dan penyelesaiannya searah.
Orang terkena tekanan darah tinggi. Agar normal, maka menurunkan tekanannya adalah satu-satunya cara. Alat yang digunakan adalah obat atau jenis makanan tertentu penurun tekanan darah. Ini tergolong intensi yang berkebalikan. Jika tekanan tinggi adalah masalahnya, maka penyelesaiannya adalah dengan merendahkannya. Metode dari teks di atas juga intensinya berkebalikan. Ada empat metode disebutkan untuk mengatasi empat jenis masalah dengan intensi berkebalikan. Apa masalahnya? Kesombongan, keserakahan, kelesuan dan keraguan. Bagaimana mengatasinya? Tentu dengan kebalikannya. Kesombongan diselesaikan dengan welas asih, keserakahan dengan kepuasan, kelesuan dengan energi, dan keraguan dengan kepastian.
Solusi ini tampaknya sederhana, tetapi Sebagian besar tidak mampu mengerjakannya. Ketika teks di atas dibaca, bisa dengan mudah dipahami. Tetapi, ketika teks di atas dicoba untuk dipraktikkan, orang bingung bagaimana memulainya. Seperti masalah pertama, kesombongan. Agar tidak sombong, orang mesti menghilangkan kesombongannya. Bagaimana caranya? Dengan welas asih. Apa itu welas asih dan bagaimana cara menggunakan itu untuk menyingkirkan kesombongan? Jika orang sedang diliputi oleh kesombongan, maka apapun yang dipikirkan, dikatakan dan dikerjakan diselimuti olehnya. Tidak ada ruang bagi welas asih. Jikapun orang mencoba, artinya orang yang sombong tersebut mencoba menggunakan welas asih untuk menumbangkan kesombongannya, itu sia-sia. Mengapa? Karena alat berupa “welas asih” yang dibuatnya itu pun tidak luput dari kesombongan. Welas asih yang diperagakannya pun adalah produk dari kesombongan itu.
Lalu bagaimana caranya? Sama seperti tekanan darah tinggi di atas. Jika tekanan darah tinggi adalah masalah kita, maka menurunkannya adalah satu-satunya cara. Tentu alat yang digunakan bukanlah darah tekanan rendah sebagai solusinya untuk melawan. Masalah-masalah yang memerlukan cara berkebalikan untuk mengatasinya mesti melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan masalah itu, tetapi dengan melakukan itu, masalah secara otomatis teratasi. Hanya dengan makan makanan seperti labu siam dan yang sejenisnya, tekanan darah bisa diturunkan. Dengan cara yang sama, saat kesombongan menguasai seseorang, bukan antikesombongan yang bisa dihadirkan. Lalu bagaimana? Orang bisa melakukan meditasi, refleksi, belajar tentang kehidupan dan yang sejenisnya. Saat kesadaran orang meluas, merasakan adanya keterhubungan antara dirinya dengan orang lain, maka secara otomatis welas asih tumbuh. Ketika welas asih tumbuh, maka secara perlahan kesombongan itu juga menipis dan akhirnya sirna.
Kesombongan itu ibarat gelapnya malam hari. Saat matahari pagi bersinar, gelap itu sirna dengan sendirinya. Gelap dan terang tidak bisa berada dalam kotak yang sama. Berdampingan seperti muka mata uang mungkin, tetapi menempati kotak yang sama tidak mungkin. Ketika welas asih muncul, maka kesobongan akan dengan sendirinya lenyap. Oleh karena itu, jika kita merasa sombong, kemudian kita berupaya menghilangkan sombong itu tidaklah mungkin. Saat sadar bahwa kita berada dalam kegelapan, dan kita mencoba mengusirnya, tidaklah mungkin. Cahaya perlu dihadirkan. Jika kita sadar diri bahwa selama ini sombong, maka memahami kehidupan, melakukan refleksi dan membangun kesadaran bahwa orang lain secara prinsip tidak berbeda dengan kita adalah hal yang mesti dilakukan. Penjelasan yang sama juga bisa digunakan untuk tiga masalah lainnya di atas.
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
Komentar