Kemenkes Siapkan Rp 10M untuk Impor SABU
Nakes di Bali Diajarkan Penanganan Gigitan Ular Berbisa
Ahli Toksikologi Indonesia
Dr dr Tri Maharani MSi, Sp EM
Ular Berbisa
Ular
Serum Anti Bisa Ular
RSUD Buleleng
SINGARAJA, NusaBali - Jumlah kasus gigitan ular di Bali diklaim cukup tinggi. Kasus gigitan ular berbisa pun didominasi oleh jenis ular hijau, yang belum ada Serum Anti Bisa Ular (SABU) di Indonesia.
Kementerian Kesehatan pun sudah menyiapkan anggaran Rp 10 miliar untuk mengimport SABU khusus untuk gigitan ular hijau.
Hal tersebut dipaparkan oleh Ahli Toksikologi Indonesia Dr dr Tri Maharani, MSi Sp EM saat memberikan webinar tata cara penanganan gigitan ular yang benar standar WHO secara daring, Kamis (20/4) kepada tenaga kesehatan (nakes) di Bali. Dia yang juga staf ahli Kementerian Kesehatan RI ini mengungkapkan kasus gigitan ular berbisa di Indonesia menurut data yang dikumpulkannya rata-rata 135.000 gigitan pertahunnya. Resiko kematiannya pun cukup tinggi yakni mencapai 10 persen dari total jumlah kasus.
“Dari jumlah gigitan ini 60 persennya karena human bites yakni karena pemeliharaan, atraksi dan jual beli, sedangkan hanya 40 persen itu karena nature bite misalnya petani pergi ke ladang digigit ular karena kurang hati-hati. Salah satu daerah yang kasus gigitan tertinggi adalah Bali dengan jenis ular hijau,” jelas Tri Maharani.
Bahkan dia yang sempat melakukan pengamatan pada tahun 2017 tepatnya pada bulan November sebelum Gunung Agung erupsi ditemukan 127 kasus gigitan ular di Bali. Lalu, dalam pemaparannya Tri Maharani juga menyebut ada kesalahpahaman berjamaah yang terjadi selama ini tentang pemahaman dan tata cara penanganan gigitan ular berbisa. Termasuk oleh nakes yang berhadapan langsung dengan pasien.
Menurutnya dalam penanganan standar World Health Organization (WHO), ada dua fase gigitan ular berbisa. Fase pertama adalah fase lokal saat korban di tempat gigitan tidak menyebar ke seluruh tubuh dan tidak merusak organ vital. Pada fase ini pasien cukup diberikan penanganan imobilisasi di daerah gigitan. Namun jika sudah dalam fase kedua yakni fase sistemik maka wajib diberikan SABU yang sesuai dengan jenis bisa dan ularnya.
“Jadi sebenarnya tidak semua gigitan ular berbisa diberikan penanganan dengan SABU ini yang selama ini tidak dipahami dengan benar. Selain itu SABU buatan Indonesia yakni biosave dari biofarma hanya untuk gigitan ular kobra jawa, ular tanah dan ular welang, jadi kalau untuk ular hijau tidak efektif,” imbuh dia.
Dia pun menekankan kepada nakes di Bali kedepannya jika menemukan kasus gigitan harus melakukan pendataan jenis ular yang menggigit pasien. Sehingga penanganan bisa diberikan dengan tepat. “Selama ini kan selain pengetahuan kurang, tidak tahu ular apa yang menggigit. Bukan persoalan SABU tidak tersedia, tetapi lebih spesifik, ini tidak terjadi di Bali saja tetapi seluruh Indonesia terjadi kesalahan berjamaah,” tegas dia.
Persoalan pelik lainnya yang juga dihadapi dalam penanganan kasus gigitan ular yakni mistis dan mitos di masyarakat. Kasus gigitan ular yang sering dikaitkan dengan hal mistis dan mitos ini disebutnya berpengaruh pada angka kematian akibat gigitan ular. Rata-rata kasus kematian terjadi karena keterlambatan penanganan. Pasien baru membawa diri ke rumah sakit ketika sudah berada di fase sistemik. Tidak sedikit juag masyarakat masih percaya penanganan gigitan ular ditambal dengan bawang merah, bahkan diikat. Padahal pola itu tidak sesuai dengan standar WHO.
Setelah dilakukan webinar penguatan penanganan gigitan ular ini, Tri Maharani pun berharap nakes di Bali segera memakai ilmu baru yang didapatkan. Sementara itu penguatan nakes di Bali tentang penanganan kasus gigitan ular berbisa bermula dari kekosongan ketersediaan SABU di RSUD Buleleng sebulan terakhir. Penguatan ini pun merupakan hasil evaluasi dari penanganan yang dilakukan selama ini. Rencananya RSUD Buleleng kembali akan menghadirkan Tri Maharani di Buleleng, untuk memberikan pemahaman lebih mendalam terkait pertolongan dan penanganan pasien gigitan ular berbisa. 7 k23
1
Komentar