Sama-sama Berhutang
Yanmātāpitarau klesam sahete garbhadhārane, Na tasya niskrtih sakyā kartum varsasatairapi. (Sarasamucchaya, 196)
Besar rasa sakit yang dialami orang tua dalam mengasuh anak di dalam rahim, anak tidak dapat memberi balasan bahkan dalam seratus tahun.
Uraian ini mungkin bisa diperdebatkan. Kebenarannya tampak hanya terletak pada satu sudut pandang saja. Sementara, sudut-sudut lainnya menyisakan pertanyaan yang berimplikasi pada aspek etik dan yang lainnya.
Mari kita lihat! Saat orang tua mengandung dan melahirkan, rasa sakit dan susuahnya luar biasa. Demikian juga saat memelihara setelah lahir sampai remaja. Deritanya sangat panjang. Atas dasar itu, anak tampak sangat berhutang budi pada orang tua, terutama ibunya. Jika mereka tidak ada, maka anak tidak pernah ada. Hutang ini sungguh ta terbalaskan. Pernyataan teks di atas dibaca pada sudut pandang ini. Sehingga, prinsip etik yang berhubungan dengan orang tua sangat kuat. Anak mesti patuh pada orang tua, berbhakti dan siap berkorban apa saja demi mereka. Jadi, konsekuensi etik dari rasa hutang budi ini sangat jelas.
Sementara, persoalan lain muncul ketika ini menjadi standar pembenaran dari orang tua. Sesaat setelah dinyatakan bahwa hutang budi kepada orang tua tak terbayarkan, maka orang tua akan menjadikan dirinya patokan kehidupan. Anak akan menjadi sekedar property orang tua. Bagaimana dan kemana arah anak itu sepenuhnya ditentukan orang tua. Kebebasannya berada pada garis yang ditentukan oleh orang tua. Anak bisa seperti sapi yang dicocok hidungnya. Anak tidak bisa berbuat apa karena keberadaannya ditentukan sepenuhnya oleh orang tuanya. Ia akan bebas hanya ketika orang tuanya telah tiada, dan akan menjadi “diktator” baru saat memiliki anak. Kondisinya akan berantai seperti itu.
Pemberontakan atas “keterkungkungan” karena hutang itu dipertanyakan. Siapa sebenarnya berhutang, anak yang berhutang kepada orang tua atau sebaliknya orang tua yang berhutang kepada anak? Jika dikatakan anak berhutang kepada orang tua, lalu siapa yang meminta anak itu dilahirkan? Bukankah orang tua itu yang senang membuat anak? Anak tidak pernah minta dilahirkan. Anak lahir oleh karena “korban” dari perbuatan kedua orang tuanya. Jika orang tua tidak pernah berhubungan seksual, maka anak selamanya tidak akan ada. Pantaskah anak disebut berhutang yang kelahirannya itu terjadi oleh karena perbuatan orang tuanya semata? Jika anak itu lahir adalah “korban” perbuatan orang tuanya, dan kemudian setelah lahir menanggung hutang yang tak terbayarkan bahkan sampai seratus tahun, keadilan macam apa itu? Cara berpikir macam apa itu?
Oleh karenanya, kita harus membaca teks di atas tidak dalam konteks itu. Teks di atas mesti dibaca dari sudut pandang anak, bukan sudut pandang orang tua. Bagaimana maksudnya? Kita mesti mengetahui scenario semesta bahwa kelahiran orang itu sebetulnya adalah untuk menyelesaikan karma vasana-nya sampai pembebasan terjadi. Ini telah diamanatkan dalam dictum: “moksartham-jagadhita ya ca iti dharma”. Tujuan manusia lahir adalah menjalani dharmanya untuk kembali ke Sangkan Paran. Jadi, kelahiran kita ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki diri, sebab hanya kelahiran dalam badan manusia saja, perbaikan itu memungkinkan. Sehingga, siapapun yang melahirkan kita ini sangat berjasa. Jasa inilah hutang. Karena orang tua kita yang melahirkan, maka kita merasa berhutang budi kepadanya, sebab oleh karena perbuatan mereka, kita bisa ada dan berkesempatan memperbaiki diri.
Sementara dari perspektif orang tua, teks di atas mesti dibaca begini: “oleh karena keinginan dan kerinduan kita yang teramat sangat untuk memiliki anak, dan kemudian anak tersebut bisa lahir, maka kita berterimakasih kepada anak yang telah mau lahir dari rahim kita”. Jadi, orang tualah yang berhutang kepada anak, sebab ia mau lahir sebagai anaknya. Sehingga, orang yang yang berhutang tersebut wajib membesarkan anak dengan segala kemampuan sehingga bisa menjadi anak yang mandiri dan suputra. Teks di atas mesti dibaca dalam konteks kesaling-terhubungan, kesaling-tergantungan. Jika ini bisa dipraktikkan, maka etika kehidupan akan berjalan dengan sempurna. Tidak ada anak yang terpaksa mengikuti keinginan orang tua, dan tidak juga ada orang tua yang menderita karena terpaksa mengikuti keinginan anak.*
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
Komentar