Sidang Praperadilan Rektor Unud vs Kejati Bali di PN Denpasar, Empat Saksi Ahli Sudutkan Jaksa
Rektor Unud
Kejati Bali
Prof Antara
PN Denpasar
Pengadilan Negeri (PN) Denpasar
Prof Dr Ir I Nyoman Gde Antara M Eng IPU
Hakim tunggal Agus Akhyudi menyatakan menolak eksepsi (keberatan) yang diajukan termohon Kejati Bali.
DENPASAR, NusaBali
Sidang Praperadilan yang diajukan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Ir I Nyoman Gde Antara MEng IPU dengan termohon Kejati Bali menghadirkan empat saksi ahli untuk didengar keterangannya. Keempat saksi ahli kompak menyudutkan Kejati Bali yang menjadikan Rektor Unud, Prof Antara sebagai tersangka korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Mahasiswa Baru Seleksi Jalur Mandiri tahun Akademik 2018/2019-2022/2022.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (27/4) mulai pukul 12.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita mengangendakan sidang duplik dari termohon Kejati Bali dilanjutkan putusan sela dan pemeriksaan bukti dan saksi ahli. Dalam putusan sela yang dibacakan hakim tunggal Agus Akhyudi menyatakan menolak eksepsi (keberatan) yang diajukan termohon Kejati Bali atas permohonan Praperadilan yang diajukan Rektor Unud, Prof Antara.
Dalam putusan juga disebutkan, Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Denpasar berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo. “Menolak eksepsi mengenai kewenangan absolut yang diajukan oleh termohon,” ujar hakim Agus Akhyudi.
Sementara itu dalam sidang lanjutan Praperadilan, Rektor Unud menghadirkan empat saksi ahli untuk memberikan keterangan. Empat saksi ahli tersebut masing-masing Dr Dian Puji Nugraha Simatupang (Ahli Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia), Dr Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn.(Ahli Hukum Administrasi Universitas Gajah Mada), Dr Mahrus Ali, S.H., M.H. ( Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia) dan Dewa Gede Palguna (Dosen Fakultas Hukum Unud).
Dr Dian Puji, ahli keuangan negara yang diperiksa pertama menyatakan yang berwenang melakukan perhitungan keuangan negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). “Kewenangan untuk itu (menghitung kerugian negara, red) hanya BPK. Dalam rangka menilai ada tidaknya kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian berdasarkan pasal 10 ayat 1 UU BPK,” ujar Dr Dian Puji.
“Kalo BPKP hanya berfungsi dalam menilai kerugian negara tapi dalam rangka pencegahan bukan dalam rangka penindakan, dan diluar itu tidak bisa karena tidak memiliki standar dan juga tidak punya kewenangan di dalam UU,” tambahnya.
Ditegaskan, Kejaksaan tidak punya kewenangan menghitung kerugian negara. “Saya tidak tahu di UU Kejaksaan apakah ada yang memberikan kewengangan untuk menilai menghitung kerugian negara. Yang saya tahu hanya BPK dalam pasal 10 ayat 1 UU BPK dan BPKP berdasarkan Penpres 192 tahun 2014 dalam rangka pencegahan saja,” lanjutnya.
Saksi ahli kedua, Dr Mahrus Ali, Ahli Hukum Acara Pidana mengatakan terkait penetapan tersangka, wajib didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang bersifat nyata dan faktual. “Bila suatu kasus memang belum ada perhitungan, yang mana hanya dilakukan oleh penyidik, sehingga penetapan tersangka ini menjadi tidak sah,” ujarnya.
Sedangkan, terkait penghitungan kerugian keuangan negara, memang harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang. "Kalau memang faktanya tidak ada penghitungan kerugian dari lembaga berwenang, artinya itu tidak sah penetapan tersangkanya,” terang Dr Mahrus.
Hal itu juga kemudian diperkuat dengan keterangan dari saksi ahli ketiga yakni Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., sebagai ahli hukum administrasi UGM. Ia menyebutkan kalau yang namanya kerugian keuangan negara, harus nyata dan pasti. Maka dari itu, barus benar-benar dibuktikan dan itu harus diaudit oleh lembaga yang berwenang. “Yakni lembaga BPK sebagai lembaga konstitusional yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan audit kerugian keuangan negara,” bebernya.
Saksi ahli terakhir, Dewa Gede Palguna, selaku Dosen Fakultas Hukum Unud menambahkan sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, dikatakan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Bahwa menurut konstitusi, kerugian negara itu harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang. "Oleh karena itu audit tidak boleh dilakukan sendiri diluar BPK, BPKP dan lembaga berwenang lain," tegas mantan hakim MK tersebut.
Sidang Praperadilan akan dilanjutkan pada Jumat (28/4) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari termohon Kejati Bali. 7 rez
1
Komentar