Ke Pengadilan setelah Musyawarah Buntu
Pengukuran ulang lahan dan kerelaan keluarga Nengah Koyan menyerahkan lahan 1 are tidak mendapat respons positif.
Soal Lahan Kantor Desa Pengelatan Digugat
SINGARAJA, NusaBali
Keluarga Nengah Koyan yang mengklaim sebagai pemilik lahan Kantor Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng, mengaku sudah menawarkan solusi terbaik sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Pihak keluarga Nengah Koyan sudah mengikhlaskan 1 are untuk kantor desa, dengan harapan sisa dari keseluruhan areal kantor desa ada ganti rugi. “Kami sudah menawarkan solusi, silakan ukur dulu berapa luas lahan yang dipakai kantor desa. Dari luas itu, kami dari pihak keluarga sudah sepakat menyumbangkan 1 are kepada desa. Nah sisanya itu, kami minta dinilai dengan uang sesuai harga yang berlaku,” ungkap Nyoman Supama, anak dari Nengah Koyan, dalam keterangan persnya, Senin (12/6).
Nyoman Supama menjelaskan, sesuai sertifikat hak milik No 113 yang terbit tahun 1982, luas tanah milik orangtuanya tercatat 19 are. Dari luas itu, sekitar 3 are dimanfaatkan sebagai areal Kantor Desa Pengelatan. Pihaknya ingin ada kejelasan soal pemanfaatan lahan tersebut, kerena selama ini tidak ada perjanjian apapun. “Usaha kami ini sudah lama, waktu Perbekel Kadek Nariasa (sebelum Perbekel saat ini,red), keluaga kami sudah meminta agar lahan kantor desa itu diukur. Tapi tidak pernah ada tanggapan dari pihak desa,” jelas pensiunan PNS Pemkab Buleleng ini.
Masih kata Nyoman Supama, setelah pergantian Perbekel dari Kadek Nariasa kepada Perbekel Nyoman Budarsa, pihaknya kembali mengajukan permohonan agar luas areal kantor desa diukur kembali baik lisan maupun surat. Permohonan itu ditanggapi dengan dua kali pertemuan musyawarah. Dalam pertemuan pertama itu, pihak keluarga pemilik lahan sudah mengungkapkan niatnya menyumbangkan 1 are dari luas areal lahan kantor desa berdasar hasil ukur. Sedangkan pihak desa berjanji memberi jawaban pada akhir tahun 2016. Namun setelah tahun 2016, jawaban itu tidak kunjung ada, hingga akhirnya pihak keluarga kembali menanyakan jawaban tersebut.
Akhirnya diadakan pertemuan yang kedua, dimana keputusan pihak desa melalui Perbekel Budarsa menolak permohonan ukur ulang. “Kami ini orang kecil, kemana lagi mencari keadilan, kami terpaksa mencari keadilan di pengadilan, karena usaha musyawarah kami tidak mendapatkan hasil. Kami tidak menunjuk kuasa hukum, kami hanya punya sertifikat saja,” ujarnya.
Sengketa lahan kantor desa ini sudah beberapa kali sidang di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Terakhir, sidang dilalaksanakan di lokasi sengketa dengan agenda sidang pemeriksaan setempat (PS). Dalam gugatan bernomor: 83/PDT.G/2017/PN SGR, pihak yang digugat adalah Kepala Desa Pengelatan, Camat Buleleng, Bupati Buleleng, Gubernur Bali, hingga Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dengan nilai gugatan mencapai Rp 1.670.000.000.
Perbekel Desa Penglatan Nyoman Budarsa dikonfirmasi, mengaku heran kalau ada sertifikat hak milik. Masalahnya sertifikat yang diklaim oleh Wayan Koyan itu terbit melalui proses Prona, tanpa sepengetahuan para tokoh dalam proses pengukuran. “Mengapa setelah kantor dibangun lantai dua dengan swadaya tulus ikhlas dari warga, justru digugat dengan bukti sertifikat tahun 1982. Padahal, dari tahun 1967, dan sampai gedunggnya dibangun dengan tuntas tahun 2014 tidak pernah dipermasalahkan,” jelasnya.
Perbekel Budarsa mengaku telah menunjuk Ketut Sulana sebagai kuasa hukum. Melalui Kuasa Hukum Ketut Sulana, menyebut objek sengketa adalah tanah milik negara yang dikuasai desa secara terus menerus oleh tergugat dari mulai membangun tahun 1966 sampai sekarang. Terkait pengalihan dari gedung poliklinik menjadi kantor perbekel, karena pada tahun 1970 ada lomba desa, sehingga warga pada masa itu menyepakati gedung poliklinik menjadi kantor perbekel. Apalagi, saat itu perbekel berkantor di rumah masing-masing.
Sidang sengketa tanah kantor perbekel ini rencananya dilanjutkan di PN Singaraja Kamis minggu depan. Agenda sidang akan mendengarkan keterangan saksi-saksi. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Keluarga Nengah Koyan yang mengklaim sebagai pemilik lahan Kantor Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng, mengaku sudah menawarkan solusi terbaik sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Pihak keluarga Nengah Koyan sudah mengikhlaskan 1 are untuk kantor desa, dengan harapan sisa dari keseluruhan areal kantor desa ada ganti rugi. “Kami sudah menawarkan solusi, silakan ukur dulu berapa luas lahan yang dipakai kantor desa. Dari luas itu, kami dari pihak keluarga sudah sepakat menyumbangkan 1 are kepada desa. Nah sisanya itu, kami minta dinilai dengan uang sesuai harga yang berlaku,” ungkap Nyoman Supama, anak dari Nengah Koyan, dalam keterangan persnya, Senin (12/6).
Nyoman Supama menjelaskan, sesuai sertifikat hak milik No 113 yang terbit tahun 1982, luas tanah milik orangtuanya tercatat 19 are. Dari luas itu, sekitar 3 are dimanfaatkan sebagai areal Kantor Desa Pengelatan. Pihaknya ingin ada kejelasan soal pemanfaatan lahan tersebut, kerena selama ini tidak ada perjanjian apapun. “Usaha kami ini sudah lama, waktu Perbekel Kadek Nariasa (sebelum Perbekel saat ini,red), keluaga kami sudah meminta agar lahan kantor desa itu diukur. Tapi tidak pernah ada tanggapan dari pihak desa,” jelas pensiunan PNS Pemkab Buleleng ini.
Masih kata Nyoman Supama, setelah pergantian Perbekel dari Kadek Nariasa kepada Perbekel Nyoman Budarsa, pihaknya kembali mengajukan permohonan agar luas areal kantor desa diukur kembali baik lisan maupun surat. Permohonan itu ditanggapi dengan dua kali pertemuan musyawarah. Dalam pertemuan pertama itu, pihak keluarga pemilik lahan sudah mengungkapkan niatnya menyumbangkan 1 are dari luas areal lahan kantor desa berdasar hasil ukur. Sedangkan pihak desa berjanji memberi jawaban pada akhir tahun 2016. Namun setelah tahun 2016, jawaban itu tidak kunjung ada, hingga akhirnya pihak keluarga kembali menanyakan jawaban tersebut.
Akhirnya diadakan pertemuan yang kedua, dimana keputusan pihak desa melalui Perbekel Budarsa menolak permohonan ukur ulang. “Kami ini orang kecil, kemana lagi mencari keadilan, kami terpaksa mencari keadilan di pengadilan, karena usaha musyawarah kami tidak mendapatkan hasil. Kami tidak menunjuk kuasa hukum, kami hanya punya sertifikat saja,” ujarnya.
Sengketa lahan kantor desa ini sudah beberapa kali sidang di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Terakhir, sidang dilalaksanakan di lokasi sengketa dengan agenda sidang pemeriksaan setempat (PS). Dalam gugatan bernomor: 83/PDT.G/2017/PN SGR, pihak yang digugat adalah Kepala Desa Pengelatan, Camat Buleleng, Bupati Buleleng, Gubernur Bali, hingga Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dengan nilai gugatan mencapai Rp 1.670.000.000.
Perbekel Desa Penglatan Nyoman Budarsa dikonfirmasi, mengaku heran kalau ada sertifikat hak milik. Masalahnya sertifikat yang diklaim oleh Wayan Koyan itu terbit melalui proses Prona, tanpa sepengetahuan para tokoh dalam proses pengukuran. “Mengapa setelah kantor dibangun lantai dua dengan swadaya tulus ikhlas dari warga, justru digugat dengan bukti sertifikat tahun 1982. Padahal, dari tahun 1967, dan sampai gedunggnya dibangun dengan tuntas tahun 2014 tidak pernah dipermasalahkan,” jelasnya.
Perbekel Budarsa mengaku telah menunjuk Ketut Sulana sebagai kuasa hukum. Melalui Kuasa Hukum Ketut Sulana, menyebut objek sengketa adalah tanah milik negara yang dikuasai desa secara terus menerus oleh tergugat dari mulai membangun tahun 1966 sampai sekarang. Terkait pengalihan dari gedung poliklinik menjadi kantor perbekel, karena pada tahun 1970 ada lomba desa, sehingga warga pada masa itu menyepakati gedung poliklinik menjadi kantor perbekel. Apalagi, saat itu perbekel berkantor di rumah masing-masing.
Sidang sengketa tanah kantor perbekel ini rencananya dilanjutkan di PN Singaraja Kamis minggu depan. Agenda sidang akan mendengarkan keterangan saksi-saksi. *k19
Komentar