Bahagia, Pura-pura atau Real?
Ya naiva vidyām na tapo na dānam na cāpi pujām kratubhiryyajante, Na cādhigacchanti sukhāma bhāgyāstesāmayam naiva parasca lokah. (Sarasamucchaya, 282)
Mereka yang tidak belajar ilmu pengetahuan, tidak melakukan tapa, tidak berderma, dan tidak melakukan puja, ialah orang-orang malang, tidak mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
MENGAPA mereka tidak bahagia? Apa korelasinya pengetahuan dengan kebahagiaan? Apa korelasinya berderma dengan kebahagiaan? Apa hubungannya puja dengan kebahagiaan? Di negara-negara yang tidak beragama rasanya jarang orang melakukan puja, tidak pernah melakukan tapa, lalu apakah di sana tidak ada orang bahagia? Kemudian di tengah-tengah orang yang super taat melaksanakan ajaran agama, mereka belajar dengan seksama, melakukan tapa-brata setiap saat, berderma terus dan melakukan puja tidak putus-putus, apakah semuanya bahagia?
Berdasarkan world happiness report, Finlandia dinyatakan sebagai negara terbahagia di dunia, padahal penduduknya tidak terlalu taat beragama. Sementara negara-negara agama yang penduduknya taat, tidak ada yang menduduki 10 besar. Tidak kah teks di atas berkebalikan?
Tentu kita tidak bisa membaca teks di atas an sich demikian. Secara sederhana pemahaman kita atas teks di atas seperti ini: ‘kebahagiaan muncul oleh karena belajar ilmu pengetahuan, melakukan tapa, berderma, dan melakukan puja’. Jadi, kebahagiaan adalah konsekuensi dari keempat tindakan tersebut. Jika keempat tindakan itu tidak dilakukan, maka malanglah orang itu, tidak mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Pemahaman kita sebagian besar seperti itu. Dan, karena kitab suci menyatakan demikian, kita meyakininya berdasarkan pemahaman kita.
Karena memiliki keyakinan penuh, lalu kita melakukannya. Setelah sekian lama melakukannya, dan kebahagiaan tidak kunjung datang, masihkah keyakinan kita kukuh? Fakta di lapangan tidak menunjukkan kebenarannya. Justru mereka yang hidup di negara-negara yang sedikit berpegang pada agama, indeks kebahagiaannya lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di negara beragama.
Oleh karena itu, kita harus membacanya dengan cara berbeda, dan jangan-jangan inilah yang dimaksudkan teks di atas. Kebahagiaan bukankah konsekuensi dari keempat tindakan tersebut, bukan dari belajar ilmu pengetahuan, bukan dari praktik tapa, dana maupun puja. Sebaliknya, oleh karena orangnya bahagia, lalu berkonsekuensi pada keempat tindakan tersebut. Jadi, kebahagiaanlah yang melahirkan semua tindakan itu, bukan sebaliknya. Jika tindakan itu yang melahirkan kebahagiaan, maka di setiap tindakannya dipastikan memiliki rasa pamrih, dan itu tidak akan pernah tercapai.
Jadi, tindakan menuntut ilmu, berdana, bertapa, dan puja karena motif untuk bahagia, dipastikan di tengah jalan berantakan. Bersyukur jika ini tidak sampai menimbulkan penyesalan. Jika kita membaca teks di atas: ‘bahagia adalah konsekuensi dari semua tindakan itu’, maka teks di atas tampak memberikan janji-janji. Ia akan menjadi dogma. Orang menjadi antusias melakukan keempat jenis tindakan itu oleh karena konsekuensinya, bukan karena senang melakukannya. Dan, di sini lah kesalahan fatal kita.
Bukan teks di atas yang salah, tetapi cara membaca kita yang salah sehingga pemahaman kita pun salah. Kita membaca teks lebih sering diselaraskan dengan nafsu-nafsu kita, keinginan-keinginan kita. Jika dirasa itu sesuai dengan keinginan kita, maka kita melakukannya. Oleh karena kita ingin bahagia, lalu kita melaksanakannya. Kita tahu bahwa bahagia itu sulit diraih. Ketika teks memberikan janji kebahagiaan, maka kita langsung meyakini dan melaksanakannya.
Namun, secara hukum tidak pernah demikian, dan teks di atas tidak pernah memberikan janji. Teks di atas hanya menyatakan kebenaran yang ada bahwa jika kita bahagia, maka kita pasti akan belajar ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh, pasti melakukan tapa secara serius, berdana secara tulus, dan puja dengan keteguhan hati. Mengapa orang bahagia melakukan keempat itu? Bukankah orang bahagia bisa melakukan hal lainnya yang hedonis dibandingkan tindakan seperti tapa, dana, puja, dan vidya yang sulit dan melelahkan? Jika orang benar-benar bahagia, tindakannya pasti altruis, dia melakukan tindakan hanya untuk tindakan itu sendiri, tidak untuk tujuan lainnya.
Jika ada orang mengaku bahagia dan kemudian melakukan tindakan hedonis, maka dipastikan ia berpura-pura bahagia, dan bahkan tindakannya itu sendiri menunjukkan dia kurang bahagia dan ingin mencari bahagia di dalamnya. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
1
Komentar