Terkait Isu Pembiaran Jalan Rusak, Ombudsman: Laporkan atau Dihibahkan
DENPASAR, NusaBali.com - Tahun politik sudah mulai membuka tabir. Isu-isu akar rumput seperti infrastruktur khususnya jalan rusak tidak lepas dari bahan 'gorengan' politik.
Masyarakat yang tidak paham mengenai status jalan misalnya, hanya bisa meminta hak atas akses mereka agar diperbaiki terlepas instansi mana yang berkewenangan. Pembiaran jalan rusak ini bisa jadi menguntungkan dan merugikan rival politik.
Anggap saja, sebuah jalan provinsi yang melewati suatu kabupaten dibiarkan dalam kondisi usak selama bertahun-tahun. Kekecewaan masyarakat atas kondisi jalan ini bisa mengarah ke kepala daerah setempat sebab sebagian besar masyarakat memahami perbaikan jalan itu di bawah pemda terdekat mereka.
Secara elektoral, kepala daerah setempat yang memiliki ambisi politik lebih tinggi bisa saja terjegal atas ketidaktahuan masyarakat. Akan tetapi, kredibilitas sosok pemimpin yang membiarkan jalan rusak demi kepentingan pribadi juga menjadi pertanyaan.
Hal inilah yang tengah 'digoreng' dalam 'perang udara' (media sosial) simpatisan antara dua tokoh politik satu partai yang sudah lama dilihat sebagai rival. Masyarakat biasa yang hanya ingin mendapat hak akses jalan yang layak tentu tidak ingin terumbang-ambing di pusaran perseteruan lima tahunan ini.
Untuk itu, Ombudsman RI (ORI) sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik memberikan jalan tengah. Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Kepala Perwakilan ORI Provinsi Bali menjelaskan, masyarakat dapat melapor ke instansi setempat yang berwenang apabila masyarakat mengeluhkan kondisi jalan rusak.
"Bisa dilaporkan saja ke instansi berwenang dalam hal ini (Dinas) PUPR setempat terlepas dari status jalan. Kalau setelah dilaporkan kemudian dicek bahwa itu jalan kabupaten atau provinsi akan dialihkan ke instansi sesuai status jalannya," jelas Sri ketika dijumpai di Kantor ORI Perwakilan Bali, Rabu (3/5/2023).
Lanjut Sri, ORI Bali juga cukup sering menerima laporan jalan rusak. Setelah ditindaklanjuti ke instansi terkait, koordinasi Ombudsman biasanya dengan segera ditindaklanjuti. Ketika ditanya soal isu jalan rusak terkait kepentingan politik, Sri enggan berkomentar lantaran di hal ini di luar ranahnya.
Di samping itu, jalan yang tidak kunjung diperbaiki juga disebabkan oleh beberapa faktor. Salah duanya adalah soal penganggaran dan panjang ruas jalan rusak. Apabila ruas jalan yang rusak sangat panjang dan kondisinya rusak berat, biasanya memerlukan penghitungan yang lebih lama.
Namun demikian, masyarakat berhak mendapat klarifikasi terkait penyebab jalan rusak yang belum kunjung diperbaiki. Keterbukaan informasi ini pula merupakan satu indikator penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dan transparan.
Sementara itu, Robert Na Endi Jaweng, pimpinan ORI Pusat menekankan bahwa jalan yang berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi tidak boleh diambil alih perbaikannya oleh pemerintah kabupaten. Kata pemerhati pemerintahan kelahiran NTT, hal itu bisa menjadi temuan BPK di kemudian hari.
"Di (sistem) pemerintahan itu sudah ada level-level kewenangannya. Jadi, jalan provinsi itu tidak boleh kewenangannya atau penganggarannya diambil alih oleh kabupaten. Karena ini sama saja dengan kabupaten itu mengurusi dan menganggarkan sesuatu yang berada di luar kewenangan mereka," tutur mantan pimpinan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Akan tetapi ada alternatif lain yang sebenarnya sudah menjadi praktik lumrah di daerah. Ada satu mekanisme yang disebut hibah. Kata Robert, pemerintah kabupaten bisa menghibahkan sebagian anggaran perbaikan jalan provinsi yang berada di wilayah kabupaten bersangkutan kepada pemerintah provinsi.
"Banyak pemerintah kabupaten yang menghibahkan dana perbaikan jalan provinsi yang lokasi jalan rusaknya itu ada di kabupaten bersangkutan," imbuh jebolan Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada.
Namun lain ceritanya apabila ada kontestasi politik antara dua pemimpin di level pemerintahan yang berbeda. Robert mengingatkan apabila isu infrastruktur yang terkait kontestasi politik ini benar adanya, jangan sampai melampaui kewenangan, urusan, dan anggaran.
Jebolan Administrasi Publik Universitas Indonesia ini bahkan menyebut campuradukkan politik dan pelayanan publik ini bisa jadi temuan. Tidak tanggung-tanggung, 'gelar' koruptor jabatan pun bisa disandang. *rat
Komentar