Ritual Melepaskan Penyakit Niskala dan Mensyukuri Kemakmuran
Aci Tatebahan dengan Ritual Matigtig di Desa Adat Bugbug, Karangasem
Sebanyak 12 banjar adat di Desa Adat Bugbug membawa persembahan berupa lawar ubi, lawar kacang, dan telengis ke Pura Bale Agung, sambil membawa seikat pelepah daun pisang untuk senjata ritual matigtig.
AMLAPURA, NusaBali
Aci tatebahan melalui ritual matigtig (saling pecut) menggunakan pelepah daun pisang, dalam upaya melepaskan penyakit niskala dan mensyukuri anugerah kemakmuran, kembali digelar di natar Pura Bale Agung, Banjar Puseh, Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem pada Wraspati Kliwon Kelawu. Tradisi niskala itu rutin diselenggarakan setahun sekali, pelaksanaannya di antara penanggalan 13-15 Sasih Desta, nemu hari Beteng. Kali ini hari Beteng jatuh pada penanggal 15, Sasih Desta, Wraspati Kliwon Kelawu, Kamis (4/5/2023).
Baga Parahyangan Desa Adat Bugbug Jro Wayan Artana, menuturkan aci tatebahan tersebut sebagai wujud syukur atas anugerah kemakmuran dari Ida Bhatara Gede Gumang yang berstana di Pura Gumang dan Ida Bhatara Gede Petak yang merupakan putra dari Ida Bhatara Gede Gumang yang berstana di Pura Kahuripan Tohjagat di Banjar Lumpadang, Desa Bugbug.
Sebelum puncak aci tatebahan, krama Desa Adat Bugbug tersebar di 12 banjar adat menggelar ritual di masing-masing banjar yakni, Banjar Puseh Mandala Puspa, Banjar Bancingah, Banjar Madia, Banjar Darmalaksana, Banjar Segaa, Banjar Celuk Kangin, Banjar Celuk Kauh, Banjar Dukuh Tengah, Banjar Baruna, Banjar Garia, Banjar Bukit Asah, dan Banjar Samuh.
Berlanjut utusan dari tiap banjar adat membawa persembahan berupa lawar ubi, lawar kacang, dan telengis. Sarana upakara itu mereka bawa ke Pura Bale Agung, sambil membawa seikat pelepah daun pisang untuk senjata ritual matigtig.
Foto: Mohon tirta wangsuh agar bersih dari penyakit niskala, di depan Pura Bale Agung, Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem pada Wraspati Kliwon Kelawu, Kamis (4/5). -NANTRA
Setiba di Pura Bale Agung, seluruh lawar ubi, lawar kacang, dan telengis, masing-masing dikumpulkan jadi satu bagian. Di Pura Bale Agung itulah, krama membuat karangan (kemasan) upakara di atas daun pisang, berupa wong-wongan (orang-orangan) ukuran besar.
Wujud wong-wongan di bagian kepala, badan, dan tangan terbuat dari lawar ubi, rambut terbuat dari lawar kacang, dan bagian mata, hidung, mulut, dan telinga terbuat dari telengis.
“Persembahan wong-wongan itu untuk pelancah Ida Bhatara Gde Praja Petak dan Ida Sang Taruna Bumi,” kata Jro Wayan Artana.
Seluruh prosesi tersebut dipuput Jro Mangku Desa, yakni, Jro Mangku Wit, Jro Mangku Wayan Merta, dan Jro Mangku Wayan Budiana.
Usai menggelar pamuspaan, seluruh krama mohon tirta wangsuh. Apabila dalam dirinya masih ada kotoran batin, maka nantinya setelah menerima pukulan gunakan pelepah daun pisang, penyakitnya bisa hilang dan kembali bugar.
Foto: Jro Wayan Artana. -NANTRA
Jro Wayan Artana selanjutnya memberi aba-aba pertanda memulai ritual matigtig. Masing-masing krama menggenggam senjata berupa pelepah daun pisang, kemudian berpasang-pasangan. Krama yang tidak mengenakan baju bergantian saling serang, dengan sasaran memukul bagian punggung menggunakan pelepah daun pisang. Serangan akan berakhir setelah pelepah daun pisang hancur.
Pihak krama yang menerima pukulan, berusaha menahan diri sekuat tenaga. Begitu juga yang memukul, berupaya memukul sekuat tenaga, sehingga pada akhirnya semua krama yang terlibat mengalami luka lebam di punggung dan tangan.
“Di akhir ritual, krama yang terlibat tidak ada yang merasakan sakit,” ucap Jro Wayan Artana.
Kelian Desa Adat Bugbug Jro Nyoman Ngurah Arsana mengatakan, aci tatebahan wajib terlaksana, sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Ida Bhatara Gede Gumang, yang telah memberikan berkah berupa kemakmuran.
“Karenanya kami wajib mempersembahkan kemakmuran itu dalam bentuk yadnya, dengan harapan di kemudian hari kembali mendapatkan anugerah yang sama,” kata Jro Ngurah Arsana. 7 k16
1
Komentar