Apakah Orang Bali Suka Berkuasa?
SEORANG pemimpin tentu juga seorang penguasa. Mustahil ia sanggup memimpin dengan baik, jika ia tidak bisa menggenggam erat kekuasaan.
Jika seseorang berniat menjadi pemimpin, ia harus merebut kekuasaan. Tak ada kepemimpinan sanggup melangkah tanpa kekuasaan. Hasrat orangtua kepada anak-anaknya untuk kelak menjadi pemimpin sama artinya dengan anjuran dan dorongan, “Berkuasalah kau, Nak!”
Tapi, memimpin tidak berarti sama dengan menguasai. Jika seseorang memimpin mengandalkan kekuasaan, niscaya ia akan diruntuhkan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Karena sesungguhnya tak seorang pun senang dikuasai oleh orang lain. Bagaimana memimpin agar orang-orang yang dipimpin tak merasa dikuasai, begitulah seni memimpin, yang bisa dijelaskan panjang lebar oleh pakar-pakar kepemimpinan, oleh para negarawan dan tokoh-tokoh politik.
Acap kali terjadi, seseorang awalnya berkeinginan memimpin. Lambat laun, karena dengan memimpin memperoleh kekuasaan, ia pun ogah melepaskan kepemimpinannya. Ia sedih karena harus berpisah dengan kekuasaan. Ia bertahan tidak karena begitu cintanya pada tugas memimpin, tetapi karena mabuk dan tergila-gila pada kekuasaan. Ia pun kemudian tampil dengan lebih menunjukkan kekuasaan tinimbang kepemimpinannya. Pelawak Bagio menyebutnya dengan, “Kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Kekuasaan menjadi lebih penting tinimbang kepemimpinan.
Zaman dulu, orang Bali memimpin, seperti menjabat kelian banjar atau kepala desa, tidak karena dahaga akan kekuasaan, tidak juga karena ia berniat menjadi pemimpin. Tapi, karena lingkungannya, krama banjar, menginginkannya jadi pengurus. Bukan basa-basi jika lantas muncul kesan, menjadi pemimpin seka (kelompok) sungguh-sungguh tugas mengabdi dan melayani. Dulu, memimpin seka adalah pekerjaan ngayah (payah dan tidak mendapat upah). Karena itu, zaman dulu, orang Bali tidak pernah merasa memimpin, apalagi berkuasa. Mereka memang tidak suka berkuasa.
Itu dulu, kini tak lagi begitu. Sekarang orang Bali tampaknya lebih senang berkuasa tinimbang memimpin. Tengoklah hari-hari belakangan ini, tatkala kader-kader partai hiruk pikuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Mereka membutuhkan modal banyak uang, tenaga, dan pikiran agar bisa melenggang menduduki kursi jabatan. Adakah mereka memang hendak ngayah, seperti yang sering dikumandangkan kepada khalayak luas? Apa motif sesungguhnya mereka menjadi wakil rakyat? Hendak berkuasa atau memimpin? Mau cari uang, karena menjadi wakil rakyat terbuka lebar kesempatan bisa hidup sejahtera dan kaya? Punya pengaruh di kalangan teman dekat, karib, kelompok, karena bisa bagi-bagi uang rakyat bertampang bansos.
Sudah lazim, menjelang pemilu tampil sekian orang di panggung, berusaha keras menguasai mimbar, berusaha dekat di hati rakyat. Mereka jelas-jelas menyampaikan ingin berkuasa, karena kekuasaan sanggup mengantar zaman menuju kesejahteraan. Kepemimpinan, itu juga berarti kekuasaan, dibutuhkan untuk mengubah tatanan, dari yang lesu menjadi bergairah, yang minus menjadi surplus. Dan rakyat terbius, merelakan hak kepada partai.
Dulu, menampilkan diri untuk berkuasa dan memimpin tak pernah muncul. Krama bahkan sering bingung memilih memimpin, karena kebanyakan menolak menjadi kelihan banjar, kelihan seka, atau perbekel. Jika tetap saja Bali punya pemimpin, itu karena di dusun-dusun memang ada elite lokal. Hampir selalu elite lokal ini yang secara aklamasi dipilih jadi pemimpin. Tentu tak ada kampanye ketika itu. Yang ada adalah imbauan dan harapan krama agar seseorang sudi mengurus. Tukang urus ini tak ada sangkut paut dengan partai. Ya, benar-benar memimpin, tak harus berkuasa. Si pemimpin memang punya otoritas buat mengatur, tidak untuk menguasai.
Kini orang Bali semakin berkembang, pikiran kian maju. Mereka kemudian punya pandangan-pandangan lain tentang kepemimpinan dan kekuasaan, tidak lagi selugu dulu. Mereka pintar menggabungkan kekuasaan dan kepemimpinan, menjadi pegangan dan filosofi bertindak: jika memimpin bisa mengatur dan juga berkuasa, kenapa tidak?
Jika dulu orang Bali ogah memimpin, karena itu pekerjaan sungguh-sungguh ngayah, kini hampir semua ingin merengkuhnya. Kekuasaan itu bikin ketagihan, candu. Karena itu ia mesti dibatasi. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar