Rumah Dokter Aborsi Dipasangi Police Line, Warga Ngaku Tak Tahu Ada Praktik Aborsi Ilegal
MANGUPURA, NusaBali - Pasca ditangkap oleh pihak kepolisian, rumah tersangka praktik aborsi, I Ketut Arik Wiantara,53, di Jalan Raya Padang Luwih, Gang Bajangan, Banjar Celuk, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung dipasangi police line. Rumah tersebut diduga menjadi tempat praktik ilegal aborsi.
Pantauan di lokasi, Selasa (16/5) rumah dengan luas sekitar 1,5 are itu tampak sepi karena terletak di pemukiman kecil. Rumah tersebut bernuansa hijau dan biru, dengan satu pintu utama bergaya ornamen Bali. Tampak di beberapa sudut rumah terpasang kamera CCTV. Sedangkan di belakang rumah maupun di depan rumah hanya terdapat beberapa rumah warga dan juga kos-kosan. Selain itu, hanya ada satu warung di sekitar rumah tersebut.
NusaBali mencoba mencari informasi pada pedagang di warung tersebut. Sayangnya, dia enggan memberikan keterangan. Pun dengan salah seorang warga yang tengah berbelanja saat itu, mengaku tak mengenal tersangka karena dirinya juga penduduk pendatang yang tergolong baru di lokasi itu. “Maaf, saya baru tinggal di sini. Status saya juga pendatang di sini, sehingga kurang tahu informasinya (tentang praktik aborsi, red),” ungkapnya sambil berlalu meninggalkan warung.
Sementara salah seorang warga mengaku bernama Suryani ditemui di lokasi mengatakan selama ini tidak mengenal dekat dengan Ketut Arik Wiantara yang kini telah jadi tersangka karena melakukan praktik aborsi. Tersangka tidak akrab dengan warga sekitar. "Pengontrak rumah itu tidak tinggal di sini. Selain itu dia tidak setiap hari datang ke sini. Kalau datang ke sini pasti pada sore hari. Pulangnya tidak tahu jam berapa. Beberapa kali ada orang datang ke rumah itu, tetapi saya mengira itu teman atau tamunya," ungkap Suryani.
Ibu rumah tangga ini pun kaget seminggu yang lalu banyak polisi datangi rumah tersebut. Polisi memasangi garis polisi di sekeliling rumah satu lantai tersebut. Pada saat itu dirinya masih belum tahu mengapa polisi datang dan pasang garis polisi. Setelah ada berita baru tahu kalau rumah itu jadi tempat prakteik aborsi oleh tersangka yang merupakan dokter gigi.
"Pemilik rumah itu hanya senyum saja setiap ketemu. Tidak pernah mengatakan kalau di rumah itu buka praktik. Selain itu tidak ada pasang plang atau spanduk dan lainnya. Makanya saya tidak curiga. Saya juga tidak tahu kalau pengontrak itu adalah dokter," pungkasnya.
Pecalang Banjar Adat Celuk, Agus Rai Putra Adnyana seizin Kelian Banjar Adat Celuk mengungkapkan tersangka selama ini berstatus pendatang, namun sudah lama memiliki rumah tersebut. Dulunya, tersangka membeli tanah kapling di wilayah tersebut untuk dibangun rumah. Agus Rai hanya mengetahui tersangka I Ketut Arik Wiantara ini adalah seorang dokter gigi. “Dia warga pendatang, yang saya tahu di sini tinggal dengan istrinya. Saya tahunya beliau dokter gigi, karena beliau mengenalkan diri seperti itu,” ungkapnya.
Terkait adanya dugaan praktik aborsi, Agus Rai mengaku tak pernah mendapatkan informasi selama ini. Pun dengan laporan dari warga selama ini tidak ada aktivitas yang mencurigakan. “Kita biasanya dapat laporan dari warga, tapi selama ini tidak pernah dapat laporan. Kalau terkait itu (praktik aborsi) saya tidak tahu sama sekali. Saya pun tahunya rumah ini hanya rumah tinggal. Sedangkan praktek dokter giginya saya kurang tahu di mana,” jelasnya.
Kendati demikian, Agus Rai menuturkan selama ini tersangka dalam bermasyarakat tidak terlalu tertutup. Walau jarang, tapi tersangka biasa bergaul dengan tetangga sekitar, meski bertegur sapa seadanya. “Bermasyarakat dia biasa di sini. Biasanya ada iuran, nah dia bayar tahunan. Jadi jarang komunikasi,” sebutnya.
Sementara Kelian Dinas Banjar Celuk, I Gede Sucaya mengatakan, pemukiman di tempat tersebut kebanyakan merupakan pendatang yang tidak ber-KTP Dalung. “Yang bersangkutan bukan warga tiang. Dia pendatang, punya rumah di situ, tapi tidak ber-KTP sini (Dalung). Jadi di Dalung ini heterogen, dan kompleks di sana pendatang semua,” terangnya.
Foto: Dokter aborsi I Ketut Arik Wiantara diamankan Dit Reskrimsus Polda Bali. -YUDA
Terkait adanya praktik ilegal aborsi, dia mengaku baru mengetahuinya dari pemberitaan di media. Namun jauh sebelum itu, dia mengaku pernah mendengar rumor bahwa di Banjar Celuk, ada dokter aborsi. Hanya saja, pihaknya belum pernah membuktikan. Selain tidak pernah bertemu dengan yang bersangkutan, pihaknya dalam situasi seperti ini juga sangat berhati-hati dan tidak berani menuduh, apalagi sampai menggeledah tanpa ada bukti yang kuat. Kasus ini sepenuhnya menjadi ranah pihak kepolisian. Disinggung mengenai pengawasan penduduk pendatang, menurut Sucaya nantinya bergantung pada kebijakan para pengambil keputusan di desa dinas maupun adat.
Tertangkapnya residivis aborsi ilegal oleh aparat Polda Bali kembali menyita perhatian masyarakat Bali. Kasus ini ikut menghentak kesadaran untuk lebih mengintensifkan edukasi terkait kesehatan reproduksi khususnya di kalangan remaja. Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini SH, menyampaikan terkait tindakan aborsi telah diatur dalam Undang-undang Kesehatan.
Ia menjelaskan tindakan aborsi pada dasarnya tidak dibenarkan karena melanggar hak asasi manusia dalam hal ini hak untuk hidup. Namun demikian dalam UU Kesehatan telah diatur beberapa pengecualian tindakan aborsi bisa dilakukan secara legal. "Syaratnya ada kedaruratan medis dan kalau kekerasan seksual (pemerkosaan)," ujarnya, Selasa kemarin.
Lebih lanjut dijelaskannya, beberapa pengecualian tersebut juga diikuti beberapa syarat lanjutan seperti keterangan dari pihak berwenang hingga tindakan aborsi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kata Yastini, apapun alasan pelaku melakukan tindakan aborsi kepada para pasiennya, prosedur yang dilakukannya telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Sudah sering dilakukan sudah tidak ada alasan pembenar lagi. Karena sudah residivis polisi harus ada alasan pemberat juga," kata Yastini. Yastini juga mendesak pihak kepolisian untuk memperdalam dan mengembangkan penyelidikan untuk mengantisipasi apabila ada oknum lain yang juga melakukan praktik aborsi ilegal di Bali.
Pemerhati Anak dan Perempuan, Siti Sapurah alias Ipung mengapresiasi kepolisian dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Bali atas terungkapnya kasus aborsi ilegal itu. Ipung berharap penyidik yang menangani kasus ini bisa membongkar cara kerja tersangka. Menurutnya tersangka tidak bekerja seorang diri dan hanya hasil belajar otodidak. Pasti ada tempat di mana dia belajar menangani kehamilan.
"Dia (tersangka Ketut Ari Wiantara) adalah dokter gigi bagaimana dia bisa menangani aborsi. Biasanya dokter selesai sekolah mereka praktek. Selain itu polisi harus bongkar septic tank tempat pembuangan hasil aborsi di rumahnya," ungkap Ipung. Sedangkan Sosiolog Universitas Udayana (Unud), Wahyu Budi Nugroho menyampaikan pentingnya sosialisasi kesehatan reproduksi.
Ia menuturkan, adanya pelaku tindakan aborsi ilegal juga tidak akan ada jika 'pasarnya' dalam hal ini pasien yang terdesak juga tidak ada. "Saya kira yang paling penting soal pencegahan. Keluarga harusnya bisa berperan banyak. Negara harus hadir melakukan sosialisasi yang lebih masif soal reproduksi remaja, bisa lewat BKKBN dan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak," ujarnya.
Seperti diberitakan seorang dokter gigi bernama I Ketut Arik Wiantara,53, diringkus aparat Subdit V Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Bali di tempat praktek kedokteran ilegalnya di Jalan Padang Luwih, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Senin (8/5) pukul 21.30 Wita. Lulusan dokter gigi yang tidak punya izin praktek resmi sebagai dokter ini berurusan dengan polisi karena membuka praktek aborsi. Tersangka memasang iklan di internet untuk menawarkan jasanya selain dari mulut ke mulut para pasiennya.
Praktek terlarang dari tersangka yang tinggal di Jalan Tukad Petanu, Kelurahan Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar ini sudah lama dilakukannya. Dia merupakan residivis kasus serupa, sudah dua kali ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Pertama dia ditangkap tahun 2006. Pada waktu itu divonis 2,5 tahun. Selesai menjalani hukuman, tersangka kembali berpraktek dan ditangkap tahun 2009. Kala itu praktiknya terbongkar setelah salah seorang pasiennya meninggal dunia. Diapun dihukum 6 tahun penjara. 7 ind, pol, cr78
Komentar