Ada Apa dengan Yogi?
Tapasvibhyo’dhiko yogi jnānibhyo’pi mato’ dhikah, Karmibhyascādhiko yogi tasmādyogi bhavārjuna. (Bhagavad-gita, VI.46)
Seorang yogi lebih besar dibandingkan dengan pertapa, jnāni (terpelajar), dan pelaku karma (ritual). Maka dari itu, jadilah Yogi wahai Arjuna!
APA maksudnya Krishna membandingkan antara Yogi, pertapa, Jnani, dan karmin? Mengapa kemudian Krishna berkesimpulan bahwa yogi lebih tinggi dibandingkan yang lainnya? Apa kriterianya sehingga Yogi adalah yang tertinggi? Bahkan dalam sloka berikutnya (VI.47) disebutkan bahwa, di antara yogi, mereka yang berserah kepada-Ku (bhakta) adalah yang terbaik.
Sehingga, di antara yogi dan bhakta, menjadi bhakta lebih tinggi posisinya. Dan oleh karena perbandingan ini, para aspiran yang telah melaksanakan bhakti (kepada-Nya) merasa paling tinggi praktiknya dibandingkan orang lain. Mereka (sebagian) kemudian (atas dalih itu) mengejek atau merendahkan bentuk ajaran dan praktik lain. Mereka dengan begitu confidence-nya berkata: ‘caraku adalah yang terbenar’.
Apakah seperti itu maksudnya Krishna membuat perbandingan ini? Atau memaksakan niat kita dengan memanipulasi ajaran Krishna ini? Mari kita pelajari biar sederhana. Pemahaman kita sebagian besar seperti ini: karmin dengan bentuknya, Jnani dengan bentuknya, tapa dengan bentuknya, yogi dengan bentuknya, dan bhakta dengan bentuknya. Ketika Krishna menyatakan Yogi yang bhakti sebagai yang tertinggi, maka pikiran kita mengarah pada bentuk Yogi dan bhakti itu. Makanya, ketika mengambil ‘bentuk’ bhakti itu, kita merasa telah melakukan sesuatu yang tertinggi. Dan, konsekuensinya? Itu tampak pada kehidupan beragama sekarang, selalu merasa lebih baik dibandingkan yang lain.
Lalu bagaimana? Krishna sebenarnya menyebut tiga bentuk, yakni karmin, jnani, dan tapa. Krishna kemudian memerintahkan kepada Arjuna, ‘jadilah Yogi’, artinya lampauilah ketiga bentuk itu, jangan terjebak dengan bentuk dari ketiganya. Mengapa demikian? Karena yang bisa dipraktikkan ke dalam bentuk hanya ketiganya itu, yakni tindakan fisik (karma), tindakan mental (jnani), tindakan energi (tapa). Apa yang menjadi bentuk sadhana selain dari ketiga ini?
Jadi, Krishna menyatakan jangan terjebak dengan ketiga bentuk ini, lampauilah itu. Menjadi Yogi artinya, dia yang telah tidak terjebak dengan bentuk-bentuk tindakan, dia yang telah menyatu, manunggal dengan keseluruhan. Bahkan, setelah menjadi Yogi pun, orang bisa terjatuh lagi ke dalam bentuk, karena benihnya masih ada.
Kalau dibawa ke dalam Yoga Sutra Patanjali mungkin pernyataan Krishna setara dengan ini: ‘lewatilah sabija samadhi dengan meraih nirbija samadhi’. Makanya, Krishna menyebut, bahkan meskipun setelah menjadi yogi, yang terbaik adalah yogi yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Ku. Orang mungkin telah berada dalam kebebasan, telah menyatu dengan Kesadaran Teringgi, telah menjadi kosmos, namun imprint kemungkinan saja masih ada.
Seperti hutan yang dibabat bersih, tidak ada satu pohon pun, lapang sepenuhnya. Tetapi itu belum cukup, sebab benih kemungkinan masih ada di bawah tanah dan bisa tumbuh, membuat hutan kembali. Jadi, agar wilayah tersebut lapang selamanya, tidak lagi ditumbuhi pohon, maka benih-benih yang tersembunyi pun mesti disingkirkan.
Mengapa mesti dengan berpasrah diri kepada-Nya dapat melenyapkan semua benih yang tersembunyi? Karena, ketika orang telah berserah penuh kepapa-Nya, identitas yang ada hanya satu, yakni Beliau Hyang Tunggal saja.
Sementara dia yang berpasrah telah lebur ke dalam Hyang Tunggal itu sendiri, tidak lagi ada identitas, tidak ada benih-benih yang kemungkinan berkembang menjadi sebuah identitas baru yang berbeda dengan Hyang Tunggal itu. Yogi yang berpasrah total bukanlah sebuah bentuk, melainkan sebuah kondisi di mana identitas ‘diri’ atau ‘ego self’ itu telah lebur. Seperti itulah kira-kira sederhananya.
Lalu bagaimana sekarang dengan gerakan bhakti-isme itu yang semakin diminati di berbagai belahan dunia? Oleh karena gerakan itu mengusung bentuk, ‘bentuk bhakti’, tentu berbeda dengan apa yang dimaksudkan Krishna. Bentuk bhakti yang berkembang saat ini mungkin ada pada salah satu dari ketiga di atas (karma, jnana, dan tapa), atau gabungan dari ketiganya itu. Sehingga, ketika Krishna menyebut Yogi, Beliau tidak merujuk pada bentuk atau teknik Yoga tertentu, ketika menyebut bhakti, bukan pula bentuk atau teknik bhakti tertentu, melainkan kemanunggalan dan ketiadaan identitas ego. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
1
Komentar