DPRD Bali Sepakat Tata dan Data Bendega di Bali
Pansus Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Bendega DPRD Bali sepakat dengan eksekutif untuk melakukan penataan dan pendataan terhadap keberadaan Bendega (kelompok nelayan) di Bali berikut dengan keberadaan parahyangan (Pura).
DENPASAR, NusaBali
Wakil Ketua Pansus Ranperda Bendega DPRD Bali I Wayan Rawan Atmaja dihadapan sidang paripurna DPRD Bali Rabu (13/6) menegaskan, keberadaan Bendega sebagai kearifan lokal harus terjaga.
Dalam sidang paripurna dengan agenda tanggapan Pansus DPRD Bali terhadapan penyampaian oleh eksekutif kemarin, dipimpin Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama didampingi Wakil Ketua DPRD Bali I Gusti Bagus Alit Putra, Wakil Ketua DPRD Bali Jro Nyoman Suastika. Sementara dari eksekutif langsung hadir Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Sekda Provinsi Bali Cokorda Ngurah Pemayun dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemprov Bali lainnya.
Wakil Ketua Pansus Ranperda Bendega DPRD Provinsi Bali I Wayan Rawan Atmaja, mengatakan DPRD Bali sepakat adanya pengkajian yang lebih mendalam terhadap hal-hal tentang keberadaan jumlah populasi bendega, yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. Selain itu, kata Rawan Atmaja, Pansus juga ingin membedah pengertian bendega. “Pengertian dan makna Bendega dan palemahannya, awig-awig (aturan), serta materi muatan tentang pengaturan, pengakuan dan perlindungan terhadap Bendega,” ujar politisi Golkar asal Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ini.
Menurut Rawan Atmaja, berdasarkan data yang sudah dikumpulkan Pansus, terdapat 114 Pura Segara di Bali yang menunjukkan keberadaan Bendega sebagai bentuk kelompok nelayan dengan kearifan lokal yang masih tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali. “Mereka ini masih ada dan eksis dan harus dilestarikan sebagai sebuah kelompok dengan kearifan lokal,” ujar Wakil Sekretaris DPD I Golkar Bali ini.
Rawan menyatakan, DPRD Bali sadar keberadaan Pura Segara menunjukkan eksistensi Bendega di Provinsi Bali terkait dengan adanya filosofi Tri Hita Karana, hubungan keseimbangan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. “Terkait dengan pengaturan awig-awig, adalah upaya pencapaian keadilan bagi bendega dalam kegiatan yang bersifat sosial religius sebagai cerminan dari konsep Tri Hita Karana. Dalam penyuratan awig-awig tidak dapat dilakukan penyeragaman agar kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah masih tumbuh dalam arti aspek budaya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,” kata Rawan Atmaja.
DPRD Bali juga sepakat dengan saran gubernur berkenaan dengan aspek legal drafting atau teknis penyusunan agar mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan akan diadakan penyesuaian-penyesuaian. “Saran dari gubernur supaya dilakukan penyesuain dengan Undang-Undang yang ada kita akan laksanakan,” tegas Rawan Atmaja. *nat
Dalam sidang paripurna dengan agenda tanggapan Pansus DPRD Bali terhadapan penyampaian oleh eksekutif kemarin, dipimpin Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama didampingi Wakil Ketua DPRD Bali I Gusti Bagus Alit Putra, Wakil Ketua DPRD Bali Jro Nyoman Suastika. Sementara dari eksekutif langsung hadir Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Sekda Provinsi Bali Cokorda Ngurah Pemayun dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemprov Bali lainnya.
Wakil Ketua Pansus Ranperda Bendega DPRD Provinsi Bali I Wayan Rawan Atmaja, mengatakan DPRD Bali sepakat adanya pengkajian yang lebih mendalam terhadap hal-hal tentang keberadaan jumlah populasi bendega, yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. Selain itu, kata Rawan Atmaja, Pansus juga ingin membedah pengertian bendega. “Pengertian dan makna Bendega dan palemahannya, awig-awig (aturan), serta materi muatan tentang pengaturan, pengakuan dan perlindungan terhadap Bendega,” ujar politisi Golkar asal Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ini.
Menurut Rawan Atmaja, berdasarkan data yang sudah dikumpulkan Pansus, terdapat 114 Pura Segara di Bali yang menunjukkan keberadaan Bendega sebagai bentuk kelompok nelayan dengan kearifan lokal yang masih tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali. “Mereka ini masih ada dan eksis dan harus dilestarikan sebagai sebuah kelompok dengan kearifan lokal,” ujar Wakil Sekretaris DPD I Golkar Bali ini.
Rawan menyatakan, DPRD Bali sadar keberadaan Pura Segara menunjukkan eksistensi Bendega di Provinsi Bali terkait dengan adanya filosofi Tri Hita Karana, hubungan keseimbangan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. “Terkait dengan pengaturan awig-awig, adalah upaya pencapaian keadilan bagi bendega dalam kegiatan yang bersifat sosial religius sebagai cerminan dari konsep Tri Hita Karana. Dalam penyuratan awig-awig tidak dapat dilakukan penyeragaman agar kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah masih tumbuh dalam arti aspek budaya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,” kata Rawan Atmaja.
DPRD Bali juga sepakat dengan saran gubernur berkenaan dengan aspek legal drafting atau teknis penyusunan agar mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan akan diadakan penyesuaian-penyesuaian. “Saran dari gubernur supaya dilakukan penyesuain dengan Undang-Undang yang ada kita akan laksanakan,” tegas Rawan Atmaja. *nat
1
Komentar