Maskulin dan Feminin, Jangan Digradasi
‘PURUSA’ dan ‘pradana’ merupakan dua leksem dalam pewarisan hukum adat Bali. Purusa dimaknai sebagai ‘sentana rajeg’ yang memiliki hak sebagai pewaris.
Sedangkan, pradana adalah mereka yang ‘ninggal kedaton’, yaitu meninggalkan hak maupun kewajiban sebagai pewaris. Status purusa dan pradana tidak bersifat permanen seperti laki-laki atau perempuan. Status sangat terkait dengan bentuk perkawinan. Misalnya, mempelai perempuan yang ke luar dari keluarganya, lalu masuk ke keluarga mempelai laki-laki.
Dalam hal demikian, mempelai laki-laki berkedudukan sebagai purusa. Tetapi, dalam perkawinan ‘nyeburin’ mempelai laki-laki yang ke luar dari keluarganya dan masuk ke keluarga mempelai perempuan. Dalam hal ini, mempelai perempuan yang berkedudukan sebagai purusa. Status purusan dan pradana dinamis, sedangkan status laki-laki dan perempuan bersifat permanen.
Bentuk perkawinan lain seperti perkawinan untuk memeroleh keturunan kapurusa di keluarga mempelai perempuan. Hal ini terjadi karena di keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki. Laki-laki yang ‘nyentana’ di keluarga perempuan berstatus sebagai pradana. Purusa dan pradana dalam kaitan dengan di mana upacara perkawinan dilangsungkan. Jika menempuh kawin ke luar, maka pihak yang meminang adalah mempelai laki-laki, dan upacara pengesahan perkawinannya dilakukan di tempat mempelai laki-laki yang berkedudukan sebagai purusa. Bila mereka ‘ngerorod’, maka mempelai perempuan mengikuti mempelai laki-laki, upacara pengesahan perkawinan dilakukan di tempat mempelai laki-laki yang berstatus sebagai purusa.
Refleksi purusa dan pradana sebagai laki-laki dan perempuan adalah sebuah kekhilafan kultural. Kekeliruan ini berimplikasi terhadap ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Imbasnya, laki-laki dianggap memiliki ‘kedudukan lebih’ dari pada perempuan. Dalam banyak interaksi sosial dan peristiwa tutur, ekomaskulin–ekofeminin tidak mewujud secara berkeadilan dan berkesetaraan.
Secara ideologis Hindu, perempuan dimuliakan dan diatribusi memiliki kekuatan sakti dan peran penting dalam penciptaan alam semesta. Namun secara empiris, perempuan amat empuk menjadi objek hegemoni patriakis. Fritjof Capra, fisikawan Amerika kelahiran Austria, ahli teori sistem dan ekologi serta direktur pendiri Center for Ecoliteracy di Berkeley, California, mengatakan peradaban barat melilit laki-laki dengan ide tentang peran apa yang boleh dan tidak dimainkan oleh perempuan. Singkatnya, perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Budaya patriarki yang dikonstruksi sebagai hukum alam dan diperkuat dengan doktrin agama telah mewujud menjadi ‘laki-laki lebih’ daripada perempuan.
Untuk mengurangi ‘kedewaan’ laki-laki, ada baiknya melirik konsep ekomaskulin. Ekomaskulin merupakan pemikiran dan gerakan moral yang memuliakan perempuan dengan segala peran dan kemuliaannya. Senyampang itu, ekofeminin harus dikonsepsi sebagai pemikiran kaum perempuan untuk meraih kemuliaannya secara cerdas dan produktif, bukan karena pemberian atau privilese politis. Ekomaskulin–ekofeminin selaras dengan konsepsi purusa–pradana yang bersifat dinamis, tidak gradasional, atau merendahkan satu dengan lainnya. Laki-laki dan perempuan tidak dibelenggu konsep biologis yang stagnan, tetapi dibalut konstruksi moral yang dinamis dan produktif.
Ekomaskulin–ekofeminin merupakan alternatif kritis mendekonstruksi relasi laki-laki dan perempuan dengan lingkungan milenial. Relasi demikian bersifat saling menguatkan dan memberdayakan dalam membangun pandangan terhadap dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan dominasi tetapi keserasian dan keselarasan.
Keduanya dituntut untuk bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan dalam arti luas. Dominasi patriaki seringkali berdampak negatif terhadap perempuan. Gradasi kapitalis cenderung secara progresif memiliki dampak ‘marginalisasi’ terhadap perempuan. Perempuan sebelumnya amat berdaulat atas praktik pertanian, mulai dari pemilihan benih, menanam, menyiangi, membuat pupuk alami, memanen sampai menumbuk padi, yang kini tersingkir. Semoga status purusa–pradana dapat menjadi solusi terbaik dalam membentuk karakter karma Bali. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
1
Komentar